Selasa, 01 Oktober 2019

Filsafat Udud

Dini hari, secangkir cokelat hangat,
sebatang udud, dan sejumput kegelisahan.
@noffret


Udud adalah istilah yang biasa digunakan orang Jawa untuk menyebut aktivitas merokok. Terus terang saya tidak tahu dari mana asal usul istilah “udud”, hingga menjadi kata ganti aktivitas merokok.

Terkait udud, saya sering penasaran dengan orang-orang terkenal; apakah mereka merokok atau tidak. Sebagai misal, dari dulu saya penasaran, “Apakah Rhoma Irama merokok?”

Sejak lama, saya tahu Iwan Fals seorang perokok. Itu sangat mudah diketahui, karena beberapa foto atau poster Iwan Fals dengan jelas menunjukkan dia sedang merokok. Tapi Rhoma Irama...? Sejak kecil, saya belum pernah menemukan satu foto pun yang memperlihatkan Rhoma Irama merokok. Jadi, selama bertahun-tahun, saya bertanya-tanya, apakah Rhoma Irama merokok?

Butuh waktu sangat lama bagi saya untuk menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Ini jenis keingintahuan yang bahkan tidak bisa dijawab Google atau Wikipedia. Saya sudah pernah mencoba dua situs itu untuk menemukan jawaban apakah Rhoma Irama merokok. Tapi Google atau Wikipedia, yang terkenal tahu segalanya, nyatanya tidak tahu!

Sampai kemudian, saya menemukan video lama Rhoma Irama, yang akhirnya menjawab pertanyaan dan penasaran saya. Dalam sebuah video yang mungkin dibuat pada era ’70-an, Rhoma Irama menyanyikan lagu berjudul “Generasi Muda”. Dia menyanyi bersama Soneta, seperti biasa. Bedanya, dalam lagu itu, gitar yang digunakan Rhoma Irama bukan gitar buntung seperti yang sekarang kita kenal. Selain itu, saat memainkan gitarnya... Rhoma Irama memegang rokok!

Terjawab sudah penasaran saya selama bertahun-tahun. Ternyata sang Raja Dangdut juga merokok!

Jika ingin membuktikan ocehan ini, coba cari video Rhoma Irama di YouTube, yang menyanyikan lagu “Generasi Muda”. Pada bagian permulaan lagu, perhatikan benar-benar. Dengan jelas, ada sebatang rokok terselip di bibir Rhoma Irama!

Apa merek rokok yang diisap Rhoma Irama, terus terang saya tidak tahu, dan itu tidak penting. Karena terkait rokok, masing-masing orang punya selera dan pilihan sendiri. Seperti kita tahu, ada beragam merek rokok, dan orang-orang yang suka udud bisa memilih mana yang dianggap cocok. Saya juga begitu. Selama bertahun-tahun udud, saya sudah beberapa kali berganti merek, karena mencari yang cocok.

Terkait rokok, ada cerita menarik yang ingin saya ceritakan.

Hishamudin, teman saya, biasa menghabiskan 2 bungkus rokok, yang harga per bungkusnya Rp20 ribu. Artinya, dia harus menganggarkan Rp40 ribu untuk urusan udud. Dia sudah menikah, dan selama ini tidak ada masalah keuangan dalam rumah tangga. Artinya, meski dia menghabiskan uang cukup banyak untuk udud, namun istri tetap mendapat uang belanja secara layak.

“Aku tidak bilang uangku berlebihan,” ujar Hishamudin, “yang jelas, kami (dia dan istrinya) bisa menjalani hidup berkecukupan.”

Lalu suatu hari, Hishamudin dan istrinya bercakap-cakap santai, dan sang istri memberi pandangan mengenai kemungkinan Hishamudin berhenti merokok. Istri Hishamudin menyodorkan perhitungan matematis yang logis dan sistematis, sehingga akal sehat Hishamudin bisa mencerna dengan mudah.

Waktu itu, istri Hishamudin kira-kira menyodorkan pertimbangan seperti ini, “Kamu menghabiskan Rp40 ribu per hari untuk rokok. Kalau kamu tidak merokok, artinya kamu bisa menabung Rp40 ribu per hari. Jika rutin, dalam sebulan tabunganmu sudah mencapai Rp1,2 juta. Dalam setahun, jumlah tabunganmu sudah naik menjadi Rp14,4 juta. Dengan uang sejumlah itu, kamu bisa membeli banyak hal lain yang kamu inginkan.”

Itu jelas pertimbangan yang logis, matematis, dan akademis. Hitung-hitungan itu jelas tidak bisa dibantah, karena kalkulasinya memang tepat. Dan Hishamudin terpengaruh. Dia membayangkan uang rokoknya ditabung, Rp40 ribu per hari. Dari yang sedikit itu, dalam setahun bisa menjadi belasan juta. Itu hebat, pikirnya.

Hishamudin tidak langsung memutus kebiasaan merokoknya. Yang ia lakukan adalah mengurangi jumlah rokok, perlahan-lahan. Jika sebelumnya dua bungkus, berkurang jadi satu setengah, lalu berkurang lagi menjadi sebungkus, dan terus berkurang lagi hingga setengah bungkus... sampai akhirnya benar-benar tidak lagi merokok. Saat saya menulis catatan ini, Hishamudin sudah tidak merokok sekitar tiga tahun. Benar-benar prestasi yang layak diapresiasi.

Jadi, apakah Hishamudin saat ini sudah memiliki tabungan puluhan juta, dari uang rokoknya yang ditabungkan?

Nah, itulah masalahnya.

Meski sudah berhenti merokok sekitar tiga tahun, Hishamudin sama sekali tidak punya uang tabungan seperti yang dulu ia bayangkan! Ketika mengisahkan pengalaman ini kepada saya, dia menyatakan, “Ada saja hal-hal yang perlu dibayar, tagihan yang perlu dilunasi, dan lain-lain. Akibatnya, uang tabunganku (yang berasal dari uang rokok) terus tersedot.”

Dengan heran, Hishamudin menceritakan, “Dulu, waktu masih merokok, aku memang harus membayar beberapa tagihan tertentu, jadi uangku biasanya habis—untuk rokok, dan untuk bayar tagihan. Tapi sekarang, meski sudah berhenti merokok, uangku tetap saja habis! Iki piye, kalau dipikir-pikir?”

Semula, saya pikir kisah Hishamudin hanya kasuistis. Artinya, bisa jadi hanya dia seorang yang mengalami hal absurd semacam itu. Tetapi, ternyata, ada beberapa teman lain yang mengalami hal serupa. Semula, mereka aktif udud. Lalu, karena pertimbangan ingin menabung, mereka pun berhenti udud. Tapi uang tabungan yang dikhayalkan itu—entah kenapa—tidak juga terwujud. Uang yang semula dipakai untuk beli udud, seperti berganti untuk membayar hal lain. Akibatnya, tak peduli udud atau tidak udud, uang tetap habis.

Ketika menceritakan hal itu, rata-rata mereka seperti Hishamudin, “Dulu, waktu masih udud, aku juga bisa membayar hal-hal itu (aneka tagihan dan kebutuhan). Kalau uangku habis, ya wajar, karena untuk udud dan membayar aneka keperluan. Tapi setelah berhenti udud, uangku tetap saja habis, dan aku tidak paham bagaimana hal itu bisa terjadi.”

Terus terang, saya juga tidak paham bagaimana hal absurd semacam itu bisa terjadi.

Padahal, kalkulasi di atas sebenarnya matematis dan logis. Kalau kau berhenti merokok, uangmu bisa ditabung. Sekian puluh ribu per hari berubah menjadi sekian ratus ribu dalam sebulan, lalu beberapa juta dalam setahun. Itu hitung-hitungan matematis yang bisa diterima akal sehat siapa pun. Tapi hidup, nyatanya, tidak semudah hitungan matematika.

Dalam bayangan saya, kehidupan setiap orang ditentukan oleh “wadah” yang mereka miliki untuk menerima karunia. Orang yang membawa cangkir akan mendapat karunia sebanyak cangkir. Orang yang membawa ember akan mendapat karunia sebanyak ember. Orang yang menyiapkan kolam akan mendapat karunia sebanyak kolam. Tergantung kesadaran dan kemampuan orang per orang, sebesar itulah karunia yang kita dapatkan.

Orang tidak mungkin mendapat karunia sebanyak ember kalau dia membawa cangkir, karena akan luber dan sia-sia... dan alam semesta membenci kesia-siaan. Sebaliknya, orang juga tidak akan mendapat karunia sebanyak cangkir kalau dia membawa ember, karena akan menciptakan ruang hampa... dan alam semesta membenci kehampaan.

Yang lebih penting dari keberlimpahan adalah pikiran keberlimpahan.

 
;