Selasa, 15 Oktober 2019

Takut Ular atau Laba-Laba

Dan malam menjebak kegelapan,
gelepar teriak di antara jerat laba-laba.
@noffret


“Jangan pernah menjadikan fobia seseorang sebagai sarana lucu-lucuan.” Saya benar-benar mengingat hal itu setelah acara reuni SD, dan mendapati kenyataan yang tak terduga.

Di masa SD dulu, saya punya teman perempuan, bernama Uci. Dia seperti umumnya siswi lain, tak ada yang tampak berbeda. Yang khas dari Uci adalah ketakutannya yang luar biasa terhadap ular. Hal itu kami ketahui tanpa sengaja, saat suatu hari muncul ular di depan kelas. Ular itu tergolong kecil, dan entah muncul dari mana.

Murid-murid di sekolah waktu itu sempat menontonnya, dan mungkin menganggap kemunculan ular di sekolah sebagai semacam hiburan di jam istirahat. Uci juga sempat melihat ular itu, dan seketika berlari menjauh dengan ketakutan. Ular itu lalu diambil penjaga sekolah (yang biasa kami sapa Pak Bon), dan entah dibawa ke mana.

Di dalam kelas, beberapa murid ada yang menggoda Uci dengan menakut-nakuti seolah ada ular, dan Uci benar-benar ketakutan. Kami menganggap itu lucu, tanpa menyadari bahwa itu sama sekali tidak lucu bagi Uci.

Yang geblek, besoknya ada murid sekelas yang bela-belain bawa ular mainan, untuk menakut-nakuti Uci. Saya masih ingat betul peristiwa itu. Heri, nama teman kami, punya ular mainan di rumah. Ular mainan itu terbuat dari plastik lentur, dan sekilas benar-benar mirip ular asli, berwarna hijau kehitaman. Bagi yang tidak takut, ular mainan itu sama sekali tidak menakutkan. Tapi bagi yang takut, ular mainan itu tampak mengerikan.

Heri membawa ular mainan itu dari rumah, dan diperlihatkan ke teman-teman lelaki. Kami semua cekikikan, membayangkan reaksi Uci nantinya. Ketika waktu istirahat tiba, saat murid-murid keluar kelas untuk jajan, Heri memasukkan ular mainan tadi ke tas Uci. Tentu saja tujuannya untuk main-main, sekadar menakut-nakuti Uci, karena ketakutan Uci tampak lucu.

Tapi akibatnya ternyata mengerikan.

Saat jam istirahat selesai, dan jam pelajaran kembali dimulai, murid-murid sudah duduk di bangku masing-masing. Kami semua mengeluarkan buku dari dalam tas. Begitu pula Uci. Ketika dia memasukkan tangannya ke dalam tas, jari-jarinya menyentuh sesuatu yang kenyal, dan seketika dia menjerit ketakutan sambil melemparkan tasnya. Isinya pun berhamburan, termasuk ular mainan di dalamnya.

Reaksi Uci waktu itu memang tepat seperti yang kami—murid-murid lelaki—bayangkan, dan kami tertawa-tawa dengan kurang ajar. Tapi Uci lalu menangis histeris, dan belakangan seperti akan pingsan. Suasana kelas kacau. Guru yang mengajar waktu itu membawa Uci ke UKS (Usaha Kesehatan Sekolah).

Belakangan, setelah terungkap adanya ular mainan di tas Uci, guru kami pun marah, dan bertanya siapa yang melakukan. Heri, si pelaku, dibawa ke kantor guru, dan diceramahi macam-macam.

Besoknya, Uci tidak masuk sekolah beberapa hari.

Kisah itu terjadi bertahun-tahun lalu, dan mungkin akan terlupa dari memori saya, kalau saja tidak terjadi peristiwa baru. Bertahun-tahun kemudian, yakni tempo hari, teman-teman zaman SD mengadakan reuni. Teman-teman sekelas kami datang, termasuk Heri dan Uci.

Heri mungkin sudah lupa perbuatannya bertahun-tahun lalu, terkait ular mainan yang ia masukkan ke dalam tas Uci. Tetapi, Uci masih ingat... dan dia masih membenci Heri atas perbuatannya dulu.

Belakangan, Heri curhat pada saya, bahwa dia menyesali perbuatannya dulu, karena tidak menyangka akibatnya akan seperti itu. Saya percaya kepadanya, dan saya pun tidak menyalahkan, wong kami waktu itu masih anak-anak. Kami belum tahu, atau belum mengenal istilah “fobia”, jadi kami pun berpikir, “Masak sama ular mainan saja sampai segitu takutnya?”

Kenyataannya, orang yang mengalami fobia terhadap sesuatu memang takut—benar-benar ketakutan—terhadap benda-benda yang membuatnya takut, meski benda itu mainan. Terkait hewan, ada dua hewan yang sering membuat orang takut, yaitu ular dan laba-laba. Saya tahu soal ini gara-gara melihat sikap Uci pas reuni tempo hari, lalu mulai belajar soal fobia hewan.

Ternyata, ketakutan atau fobia terhadap ular dan laba-laba bukan sesuatu yang aneh. Sebaliknya, itu sangat manusiawi, bahkan ilmiah. Ketakutan itu rupanya diwariskan oleh nenek moyang kita, hingga kita bahkan sudah mengenal ketakutan pada ular dan laba-laba, sejak masih bayi. Dengan kata lain, ketakutan atau keengganan terhadap dua hewan itu merupakan sifat bawaan manusia.

Para ilmuwan dari Max Planck Institute for Human Cognitive and Brain Sciences di Jerman, melakukan penelitian soal ini pada bayi-bayi berusia 6 bulan. Menggunakan pendeteksi pupil inframerah, mereka mendapati bahwa pupil bayi akan melebar saat melihat foto ular dan laba-laba, dibanding saat melihat foto bunga atau foto ikan.

Dalam hasil studi yang dipublikasikan di jurnal Frontiers In Psychology, mereka menyatakan, “Bayi menunjukkan tanda stres yang lebih banyak saat melihat gambar ular dan laba-laba, dibandingkan saat melihat gambar lainnya.”

Penjabaran mereka masih panjang lebar, yang intinya menyatakan bahwa ketakutan sebagian orang terhadap ular dan laba-laba sama sekali bukan hal aneh, karena itu diwarisan nenek moyang kita sejak jutaan tahun lalu, yang terus terbawa manusia hingga era modern. Bedanya, sebagian kita ada yang mampu menumbuhkan keberanian untuk menghadapi hewan-hewan itu, sementara sebagian lain tidak.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, kenapa nenek moyang kita mewariskan ketakutan terhadap ular dan laba-laba, tapi tidak pada hewan lain? Kenapa mereka tidak mewariskan ketakutan (fobia) terhadap badak, atau beruang, atau godzilla, misalnya?

Jawabannya sederhana, yakni karena—dibandingkan hewan-hewan lain yang sama menakutkan—ular dan laba-laba adalah dua hewan yang paling dekat dengan manusia. Badak dan beruang memang menakutkan, tapi mereka hidup jauh dari manusia. Sementara ular dan laba-laba hidup berdampingan dengan nenek moyang kita selama jutaan tahun.

Diperkirakan, ada satu sampai lima persen dari populasi saat ini, yang secara klinis benar-benar mengalami fobia terhadap ular dan laba-laba. Mereka benar-benar takut pada dua hewan itu, dan mereka bisa mengalami gangguan fisik—semisal demam—hanya karena tersentuh dua hewan tersebut.

Mungkin ada yang berpikir, “Kok sampai segitunya, ya? Sepertinya tidak masuk akal kalau sampai segitu takutnya pada ular dan laba-laba.”

Kalau-kalau ada yang berpikir seperti itu, mungkin sekarang kita perlu tahu. Jika seluruh laba-laba di muka bumi bersatu dan menyerang manusia, mereka akan bisa menghabisi kita semua, hanya dalam waktu satu tahun! Para ilmuwan telah lama mempercayai hal ini, dan saya pun percaya.

Ya semoga saja laba-laba tidak sempat membaca penelitian para ilmuwan, sehingga mereka tidak sampai terpikir untuk melakukan penyerangan massal pada manusia. Karena kalau itu sampai terjadi, bisa modyar kita semua.

 
;