Minggu, 06 Oktober 2019

Percakapan di Dapur

Selalu menyenangkan bertemu teman lama.
@noffret


Travel yang saya tumpangi berhenti di depan sebuah rumah, tepat pukul 1.30 dini hari. Saya turun dari travel, dan pintu rumah yang saya datangi seketika terbuka. Seseorang tersenyum lebar, dan berkata menyambut, “Aku sudah menunggu kedatanganmu.”

Saya membalas senyumnya. “Sori, kalau sudah mengganggu istirahatmu.”

“Sama sekali tidak.”

Dia menutup pintu rumah, membiarkan saya melepas sepatu dan meletakkan tas, lalu berkata, “Mari ke dapur.”

Di dapurnya yang bersih dan nyaman, saya duduk di sebuah kursi, dan dia menawari, “Kopi? Teh?”

“Teh saja.”

Lalu kami duduk berdampingan di dapur, dipisahkan sebuah meja, dengan dua gelas teh hangat. Saya menyulut rokok. Dia melakukan hal sama. Selama sesaat, kami membicarakan perjalanan jauh yang saya tempuh, dan percakapan-percakapan ringan seperti umumnya sepasang teman.

“Aku senang kamu datang ke sini,” ujarnya.

Saya tersenyum kecut, “Sebenarnya, aku merasa kehabisan teman, karena rata-rata mereka sudah menikah dan sibuk dengan keluarga masing-masing. Jadi, saat ingin bercakap-cakap dengan seseorang secara bebas—bertukar pikir dan meminta saran sebagai teman—aku agak kesulitan. Aku bersyukur bisa menemuimu sekarang.”

“Hidup yang aneh, ya,” ujarnya sambil mengembuskan asap rokok. “Dulu, kita memiliki begitu banyak teman—orang-orang yang selalu ada di sekeliling kita dalam senang maupun sedih—dan kita percaya akan bersama selamanya. Kita bahkan pernah mengangankan untuk hidup bersama di satu kompleks, sebagai tetangga, jika masing-masing telah menikah. Agar bisa tetap bersama sebagai teman. Tapi ternyata kehidupan punya alur sendiri, yang jauh menyimpang dari angan-angan kita.”

Lalu kami mengenang satu per satu teman-teman kami yang sudah menikah dan punya anak. Sambil bernostalgia ke masa lalu, saat kami masih sama-sama lajang dan bebas, berpikir akan bersama selamanya. Di masa itu, kami merasa memiliki teman di mana-mana, berpikir betapa hidup mudah dijalani karena masing-masing orang tersambung oleh tali tak kasatmata bernama pertemanan, persahabatan, persaudaraan.

Bertahun lalu, kami bersama teman-teman yang lain pernah mengangankan bisa hidup bersama di satu kompleks, sebagai tetangga—jika kami semua telah menikah—agar hubungan pertemanan tetap terjaga sampai tua. Tapi kehidupan punya skenario sendiri, dan kami harus menerima kenyataan. Bukannya berkumpul dalam satu kompleks perumahan sebagai tetangga sebagaimana yang dulu diangankan, kami semua justru hidup terpencar-pencar.

Dia tersenyum kecut, dan berkata, “Siapa yang mengira kita akan mengalami fase seperti yang sekarang kita alami?”

Saya memahami maksudnya. Entah kami semua menyadari atau tidak, nyatanya hubungan pertemanan kami memang merenggang setelah satu per satu menikah. Karena kami semua memang terpencar-pencar, sementara sebagian lain hidup di tempat-tempat jauh. Juga karena waktu semakin sempit, karena tanggung jawab semakin banyak, karena prioritas hidup telah jauh berubah.

Dia kembali berkata, “Dulu, kamu pernah membayangkan suatu ketika kita akan menghadapi kenyataan seperti sekarang?”

Saya tersenyum. “Sejujurnya tidak. Mungkin terdengar naif, tapi aku benar-benar tidak tahu bahwa kita akan tiba pada fase kehidupan seperti yang sekarang kita jalani.”

Dia ikut tersenyum. “Masa dewasa yang aneh dan absurd! Kenapa tidak ada yang memberi tahu kita, kalau suatu saat kehidupan akan sangat aneh seperti ini?”

Sesaat kami terdiam, dan dapur terasa begitu hening.

Saya berkata menerawang, “Mungkin, kamu tidak akan merasa atau menganggap hidupmu sekarang aneh, kalau kamu menikah dan punya keluarga—istri dan anak-anak.”

“Bagaimana kamu tahu?”

“Aku tidak tahu. Aku bilang mungkin.” Setelah mengisap rokok, saya melanjutkan, “Maksudku, kalau kamu menikah dan punya keluarga, mau tak mau energi dan pikiranmu akan terkuras habis untuk istri dan anak-anakmu, hingga kamu tidak sempat memikirkan kehidupan seperti yang sekarang kita jalani.”

Dia mengangguk. “Ya, aku paham maksudmu. Kalau aku punya istri dan anak-anak, mungkin, kehidupanku akan terasa wajar, karena dari bangun tidur sampai mau tidur lagi akan selalu ada hal yang harus kukerjakan, hingga tidak punya waktu untuk berpikir dan diam sejenak untuk menatap kehidupan.”

“Itulah yang kumaksud.”

Dia mengisap rokoknya, lalu berkata, “Bagaimana denganmu? Saat di rumah sendirian, apakah kamu juga kadang menyadari hidupmu aneh?”

“Aku bersyukur karena waktu serta pikiranku terus tersita untuk belajar dan bekerja, hingga tidak sempat mikir macam-macam. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, selalu ada yang kukerjakan, jadi pikiranku tidak pernah menganggur apalagi melantur. Kamu tentu juga menjalani rutinitas semacam itu?”

Dia kembali mengangguk. “Ya, aku juga menjalani hari yang padat, hingga tidak sempat mikir macam-macam. Meski, kadang-kadang, aku juga sempat memikirkannya. Saat kebetulan selo, tidak ada kegiatan, atau saat akan tidur, sambil menunggu lelap, kadang aku berpikir... kok aneh sekali hidup ini?”

Saya mengetukkan abu rokok ke asbak, lalu berkata perlahan-lahan, “Sebenarnya, aku juga kadang mengalami hal semacam itu—menganggap ada yang aneh dengan hidup... atau mungkin aku yang aneh. Maksudku, sejak bangun pagi sampai larut malam, aku terus bekerja, dan pikiranku terus tercurah pada pekerjaan. Tapi setelah tengah malam, saat selesai kerja, lalu mandi... bikin cokelat hangat dan menikmatinya sambil merokok... kadang pikiranku melantur, dan kadang pula berpikir betapa hidup ini sangat aneh.”

“Mungkin benar ucapanmu tadi,” dia menyahut. “Mungkin kalau kita punya istri dan anak-anak, kita tidak akan menganggap hidup ini aneh. Karena di rumah ada istri dan anak-anak—beserta segala masalah dan kesibukan—yang akan terus menyita waktu, energi, dan pikiran, hingga kita tidak sempat berpikir macam-macam.”

Saya tersenyum. “Kamu bisa mencobanya, kalau mau.”

Dia tertawa. “Kenapa tidak kamu saja yang mencoba?”

Saya ikut tertawa. “Aku tidak tertarik menikah—atau belum. Jangankan menikah, pacaran saja aku tidak tertarik!”

Seperti umumnya percakapan antarteman, topik percakapan sering melompat-lompat dari satu hal ke hal lain. Ketika percakapan kami menyinggung pernikahan dan lawan jenis, kami pun lalu membicarakan topik itu.

Dia bertanya, “Ada perempuan yang dekat denganmu, saat ini?”

“Tidak ada,” saya menjawab jujur. “Sebenarnya, bahkan teman perempuan pun aku tidak punya! Sudah lama sekali aku tidak berinteraksi dengan perempuan secara dekat—maksudku sebagai teman—hingga aku kadang menyadari begitu canggung saat berinteraksi dengan perempuan. Aku seperti lupa bagaimana menghadapi perempuan, tidak yakin bagaimana bersikap serta bercakap secara wajar dengan mereka...”

Dia tertawa seperti orang kegelian. “Benar-benar pengakuan yang aneh!”

Saya paham maksudnya, dan saya pun ikut tertawa—menertawakan diri sendiri. Dia tentu masih ingat, sekian tahun lalu—saat kami masih kuliah—saya biasa dekat dengan banyak perempuan.

Saya pun mencoba menjelaskan, “Ini seperti kemampuan menyetir mobil, kemampuan menari, atau kemampuan lain. Kalau kamu lama tidak melakukan, kamu akan merasa kaku atau canggung, bahkan kadang tidak pede melakukannya. Zaman kuliah dulu, kita biasa dikelilingi teman-teman perempuan, dan kita pun sangat tahu berinteraksi dengan mereka secara luwes. Tapi aku sudah tidak berinteraksi dengan perempuan sampai bertahun-tahun, hingga kadang bingung saat memulai interaksi dengan mereka...”

Dia mengangguk-angguk. “Di tempat kerjaku ada beberapa teman perempuan, jadi aku masih biasa menghadapi lawan jenis.”

“Syukurlah,” saya menyahut. “Sepertinya, kemampuan berinteraksi dengan orang lain, khususnya lawan jenis, bukan kemampuan bawaan—itu sesuatu yang dipelajari. Dan jika kita lama tidak mempraktikkannya, kemampuan itu bisa hilang.”

Sekali lagi dia tertawa seperti kegelian. “Kedengarannya seperti orang kena Alzheimer.”

Saya tertawa terpingkal-pingkal.

Dia lalu berkata dengan serius, “Mungkin kita memang tidak bisa meraih semuanya. Aku masih ingat, dulu, kamu ingin meneladani Plato, Isaac Newton, hingga Grigori Perelman. Kamu mungkin berhasil meneladani mereka—dan sejujurnya aku mengagumi itu—tapi kamu juga menghadapi dampak yang mereka hadapi. Plato membangun pusat pendidikan paling berpengaruh di Eropa, tapi tidak punya keluarga. Newton menghasilkan banyak karya, tapi hidup selibat dan tidak kenal perempuan. Sementara Perelman... yeah, dia memang hebat, tapi hidup seperti orang gila yang mengisolasi diri.”

Saya menyahut, “Kedengarannya kamu ingin menyarankan, agar aku meneladani Hugh Hefner atau Cassanova.”

Dia cekikikan. “Aku tidak bermaksud begitu. Maksudku, dampak yang sekarang kamu alami—kecanggungan saat berinteraksi dengan perempuan—mungkin karena terlalu lama mengisolasi diri sendiri. Seperti yang kamu bilang tadi, kemampuan berinteraksi dengan lawan jenis adalah hasil latihan. Dan kemampuan itu bisa hilang saat tidak lagi dipraktikkan. Aku jadi yakin kalau Plato, Newton, atau Perelman, sama-sama canggung saat menghadapi perempuan, meski mereka hebat dalam bidang akademis. Kenyataannya kita memang tidak mungkin meraih semua hal secara sempurna.”

Saya mengangguk-angguk, memahami maksudnya.

Dia mematikan puntung rokok di asbak, menyesap minuman di gelas, lalu berkata, “Jadi, apa rencanamu saat ini?”

Saya tersenyum. “Rencanaku tak pernah berubah. Meruntuhkan peradaban!”

Dia tertawa. “Menjadi Magneto?”

“Sekarang aku ingin menjadi En Sabah Nur.”

Lalu kami cekikikan, seperti dua bocah yang membicarakan tokoh kartun favorit.

Saya mematikan puntung rokok di asbak, dan berkata perlahan, “Akhir tahun ini, kontrak kerjaku akan berakhir. Aku berencana untuk berhenti, dan tidak memperpanjang lagi.”

Dia menatap saya. “Kamu mau kembali ke lapangan?”

“Tidak. Aku hanya berpikir... ingin menikmati kehidupan baru—maksudku, suasana hidup baru, yang berbeda. Meski aku juga belum yakin apa yang akan kulakukan.”

“Kenapa tiba-tiba kamu punya pikiran begitu?”

“Sebenarnya tidak tiba-tiba.” Saya meraih gelas, menyesap minuman di dalamnya, dan menjelaskan, “Dua tahun lalu, ketika kontrak berakhir, aku sudah punya rencana untuk berhenti. Tapi mereka ingin aku terus bekerja, dan... yeah, kupikir tidak ada salahnya. Jadi dua tahun lagi berjalan, sampai sekarang. Aku menikmatinya, tentu saja, tapi seperti yang kubilang tadi... aku merasa perlu suasana hidup baru, dan kupikir inilah saatnya.”

Dia mengambil sebatang rokok, dan menyulutnya. Lalu kami berbicara panjang lebar tentang kehidupan kami, tentang pekerjaan, tentang harapan-harapan. Kami saling memberikan pertimbangan, saling mendengarkan, saling melempar canda dan menikmati tawa.

Di akhir percakapan, saya berkata, “Aku senang masih memiliki teman yang bisa kudatangi dini hari seperti ini. Bisa bercakap dan bertukar pikir dengan teman yang dipercaya adalah harta yang berharga.”

Dia tersenyum. “Kamu selalu bisa menemuiku, kapan pun.”

“Dan aku tidak yakin sampai berapa lama aku masih bisa menemuimu seperti sekarang.”

Dia tertawa, memahami maksud saya. “Aku tidak punya rencana menikah dalam waktu dekat.”

“Semoga saja begitu.”

Di kejauhan, azan pertama terdengar.

 
;