Akhirnya ada yang mengatakan sesuatu yang sejak dulu ingin kukatakan... maaf, ingin kuteriakkan. Dalih "main sama cucu" itu sejak dulu sudah tidak masuk akal. Tapi entah bagaimana jutaan orang (pura-pura) percaya. Itu jelas "eksploitasi", kalau kita mau jujur.
Satu hal yang hampir bisa dipastikan ada pada jutaan orang waras adalah menyukai anak kecil. Siapa pun bisa mendapat simpati dalam waktu singkat jika menunjukkan kedekatan/kecintaan pada anak kecil, sebagaimana siapa pun bisa dibenci banyak orang jika menunjukkan hal sebaliknya.
Tidak ada satu pun politisi waras yang akan menunjukkan ketidaksukaan pada anak kecil—bahkan jika aslinya dia tidak menyukai anak kecil. Karenanya, kita pun sering melihat politisi yang menunjukkan sikap mesra/kesukaan pada anak kecil, khususnya saat berinteraksi dengan rakyat.
Tim Jokowi tampaknya paham teknik persuasi semacam itu, dan kebetulan "diuntungkan" karena memiliki cucu yang masih kecil. Dalam hal ini, orang-orang—termasuk oposisi—kesulitan menyerangnya terang-terangan, karena si cucu seperti tameng baginya. Itulah yang kumaksud eksploitasi.
Kita telah membuktikan, selama ini, bahwa kapan pun Jokowi tampak asyik dengan cucunya di depan umum, tidak ada orang yang cukup berani bicara terang-terangan "menyerang" hal itu. Dalih "main sama cucu" terdengar tak terbantah, meski sering kali tak relevan.
Kita tidak bisa menyerang orang yang menyukai anak kecil—itu kenyataan yang sulit dibantah siapa pun yang waras. Dan kalau kita melakukannya, kita akan diserang banyak orang. Ini lebih terdengar seperti Captain America dengan tamengnya, daripada seorang kakek dengan cucunya.
Syukurlah, dalih "main sama cucu" itu akhirnya membentur batu keras kenyataan (dalih yang keterlaluan), hingga orang-orang tidak lagi segan untuk ngomong terang-terangan. Aku lebih percaya pada tukang sapu yang mengemong cucunya, daripada politisi dengan segala tingkahnya.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 September 2019.