Kau bekerja agar bisa tetap melangkah seirama dengan jiwa Bumi.
Ketika kau bekerja, kau memenuhi sebagian mimpi Bumi yang tertinggi,
yang ditetapkan untukmu saat mimpi itu dilahirkan.
—Kahlil Gibran, The Prophet
Ketika kau bekerja, kau memenuhi sebagian mimpi Bumi yang tertinggi,
yang ditetapkan untukmu saat mimpi itu dilahirkan.
—Kahlil Gibran, The Prophet
Di Surabaya, ada makam dan masjid Sunan Ampel. Tempat itu tidak hanya menyimpan sejarah Islam di tanah Jawa, namun juga menyimpan kisah-kisah menarik, bahkan menakjubkan, yang mungkin sulit dipercaya.
Enam ratus tahun yang lalu, pada abad ke-15, Sunan Ampel masih hidup, dan memiliki beberapa murid. Salah satu muridnya bernama Sonhaji, atau yang biasa disebut Mbah Sonhaji. Orang ini juga punya sebutan populer di masanya, yaitu Mbah Bolong. Nama populer itu memiliki latar kisah yang sangat menakjubkan.
Ceritanya, Sunan Ampel berencana membangun masjid, dan Sonhaji diserahi tugas yang sangat penting, yaitu mengatur lokasi pengimaman. Dalam tugas itu, Sonhaji harus memastikan arah kiblat pengimaman masjid benar-benar tepat menghadap Ka’bah, dan tidak boleh melenceng satu milimeter derajat pun.
Itu tugas yang sangat sulit. Sebegitu sulitnya, hingga banyak orang meragukan kemampuan Sonhaji dalam melaksanakan tugas tersebut. Tapi Sonhaji seorang yang penuh tanggung jawab, dan dia tak peduli orang lain meragukan kemampuannya. Tanpa banyak ribut, dia menjalankan tugasnya dengan baik, dan berusaha benar-benar agar pekerjaan yang diserahkan kepadanya dilakukan dengan sempurna.
Ketika akhirnya masjid itu selesai dibangun, arah kiblat pengimaman pun dibuat sesuai arahan Sonhaji. Tetapi, orang-orang tetap belum yakin arah kiblat telah sesuai perintah Sunan Ampel, yaitu tepat menghadap Ka’bah. Orang-orang saling kasak-kusuk, dan meremehkan. Apa benar arah kiblat itu telah tepat menghadap Ka’bah?
Menjawab kasak-kusuk itu, Sonhaji tidak buang-buang waktu menjawab atau menghabiskan energi sia-sia untuk berdebat. Yang ia lakukan adalah mengajak orang-orang yang tak percaya itu ke tempat pengimaman masjid, kemudian ia melubangi dinding pengimaman yang ada di sana. Setelah itu, ia mempersilakan orang-orang yang tak percaya untuk melihat ke dalam lubang.
Ajaib. Orang-orang itu bisa melihat Ka’bah melalui lubang di dinding pengimaman masjid! Padahal, Ka’bah ada di Makkah, dan masjid tempat mereka mengintip ada di Surabaya! Sejak itulah, Mbah Sonhaji mendapat julukan Mbah Bolong, yakni orang yang membolongi (melubangi) dinding masjid untuk mengintip Ka’bah. Sekarang, makam Mbah Sonhaji atau Mbah Bolong bisa ditemukan di depan Masjid Agung Sunan Ampel di Surabaya.
Kisah tentang Mbah Bolong mungkin mencengangkan bagi kita. Tapi ada kisah lain yang lebih mencengangkan, menyangkut murid Sunan Ampel yang lain. Namanya Soleh, atau yang biasa disebut Mbah Soleh. Jika Mbah Bolong bisa melubangi dinding masjid untuk mengintip Ka’bah yang ada di Makkah, Mbah Soleh bisa hidup sembilan kali, mati sembilan kali, dan memiliki sembilan makam.
Semasa hidupnya, Mbah Soleh ditugaskan Sunan Ampel untuk menjaga kebersihan masjid. Mbah Soleh melaksanakan pekerjaan itu dengan baik, bahkan sempurna. Jika dia menyapu, hasilnya bukan hanya bersih, tapi bersih sekali. Pada masa itu, orang-orang kadang shalat di masjid tanpa membawa sajadah. Tapi mereka tidak khawatir kotor, karena lantai dan halaman masjid telah bersih tanpa debu setitik pun.
Tidak ada orang lain yang mampu menyapu dengan bersih melebihi Mbah Soleh. Dia adalah manusia yang menyadari bahwa pekerjaan—apa pun pekerjaannya—adalah tugas agung yang dibebankan alam semesta ke pundaknya. Melakukan pekerjaan dengan baik adalah tugas mulia yang bisa dilakukan setiap manusia. Dan karena dia diserahi tugas menyapu, maka dia pun memastikan diri menjadi tukang sapu terbaik di dunia.
Sampai kemudian Mbah Soleh meninggal. Kematiannya mengundang tangis banyak orang. Semasa hidupnya, orang-orang tahu Mbah Soleh adalah orang yang mengabdikan dirinya pada pekerjaan, orang yang melakukan tugasnya dengan ikhlas, tanpa ribut-ribut, tanpa pamer atau merasa bangga. Sebagai penghormatan untuknya, Mbah Soleh pun dimakamkan di depan masjid.
Setelah Mbah Soleh tiada, masjid mulai tak sebersih sebelumnya. Memang ada orang-orang yang menggantikan tugas Mbah Soleh menyapu masjid, tapi hasilnya tak pernah sebersih Mbah Soleh. Seiring bergantinya hari, masjid yang semula sangat bersih mulai kotor. Debu ada di mana-mana, lumut mulai tumbuh di dinding, dan kadang sampah berserakan.
Sunan Ampel prihatin menyaksikan hal itu. Hingga suatu hari, di depan murid-murid yang lain, Sunan Ampel berbisik, “Kalau saja Soleh masih hidup, masjid ini pasti selalu bersih seperti dulu.”
Keesokan harinya, orang-orang menyaksikan Mbah Soleh sudah sibuk menyapu masjid—seperti dulu, seperti biasa, seperti tak ada yang berubah. Oh, well, seperti dia tak pernah mati sebelumnya. Seperti hari-hari yang lalu, Mbah Soleh tekun menyapu dan membersihkan seluruh bagian masjid, tanpa ribut-ribut, tanpa banyak bicara. Dan masjid yang semula kotor pun kembali bersih, sangat bersih, seperti biasa.
Dan waktu-waktu berlalu. Sampai suatu hari, Mbah Soleh meninggal dunia. Masyarakat kembali menangisinya, Sunan Ampel kembali berduka. Orang-orang pun kemudian menguburkan jasad Mbah Soleh di depan masjid, tepat di samping makamnya yang dulu. Maka dua makam pun berdampingan—semuanya milik Mbah Soleh.
Sepeninggal Mbah Soleh, kondisi masjid mulai tak sebersih semula. Debu mulai berdatangan, daun-daun berserakan, lumut mulai tumbuh. Beberapa orang ditugasi menyapu dan membersihkan masjid, tapi hasilnya tak pernah sebersih Mbah Soleh. Sampai suatu hari, Sunan Ampel yang prihatin kembali berbisik, “Kalau saja Soleh masih hidup, masjid ini pasti selalu bersih seperti dulu.”
Keesokan harinya, Mbah Soleh tampak asyik menyapu dan membersihkan masjid—seperti biasa, seperti dulu, seperti tak pernah mati sebelumnya. Lalu masjid kembali bersih. Tidak ada tukang sapu di dunia ini yang lebih hebat dibanding Mbah Soleh, dan orang-orang kembali nyaman beribadah di sana tanpa khawatir kotor meski tanpa alas sajadah.
Dan waktu-waktu berlalu. Kemudian Mbah Soleh kembali meninggal dunia. Orang-orang menangisinya, dan mereka memakamkan jasad Mbah Soleh di samping kedua makamnya yang terdahulu. Lalu kisah berulang. Masjid kembali kotor. Sunan Ampel prihatin, dan kembali berbisik membayangkan Mbah Soleh masih hidup, dan keesokan harinya Mbah Soleh sudah muncul kembali dengan sapunya di masjid.
Kisah itu berulang hingga sembilan kali. Selama sembilan kali Mbah Soleh hidup, menjadi tukang sapu di masjid, dan sembilan kali pula orang itu meninggal dunia, ditangisi masyarakatnya, dan dimakamkan sembilan kali.
Pada kehidupannya yang kesembilan, tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Tidak lama setelah sang Sunan wafat, Mbah Soleh menyusulnya. Karena itu pula, Mbah Soleh memiliki sembilan makam yang berjajar. Sembilan makam itu masih ada hingga saat ini, dan bisa kita temukan di sebelah timur Masjid Sunan Ampel di Surabaya.
Dua kisah di atas mungkin terdengar ajaib bagi kita yang hidup di masa kini. Namun—terlepas kisah itu fakta atau hanya legenda—bagi saya kedua kisah itu menyimpan pesan luhur yang layak kita ikuti, yakni, “Cintailah pekerjaanmu.”
Mbah Sonhaji maupun Mbah Soleh adalah cermin orang-orang yang melakukan pekerjaannya dengan baik—sebegitu baiknya, hingga bisa dibilang tak ada orang lain yang mampu melakukan pekerjaan sebaik mereka melakukannya.
Ketika diminta Sunan Ampel agar meluruskan arah kiblat masjid dengan tepat, Mbah Sonhaji melakukan tugas itu dengan baik dan tepat—sebegitu baik dan tepat, hingga orang bisa mengintip Ka’bah yang letaknya bermil-mil jauhnya dari dinding masjid yang dilubangi.
Begitu pun Mbah Soleh. Ketika ditugaskan menyapu masjid, dia melakukan tugas itu dengan sepenuh hati. Sebegitu penuhnya ia mencurahkan hatinya pada pekerjaan, hingga alam semesta memberinya kesempatan hidup sembilan kali untuk melakukan dan meneruskan pekerjaannya.
Pekerjaan adalah hak mulia yang bisa diambil manusia. Apa pun pekerjaan yang dipilih, itulah tugas yang dibebankan alam semesta kepada masing-masing kita, yang di dalamnya terdapat tanggung jawab untuk mengerjakan sebaik-baiknya. Tidak ada pekerjaan yang lebih baik atau lebih buruk, lebih hebat atau lebih hina, karena ukuran menyangkut pekerjaan hanya ada pada sebaik apa kita mengerjakannya.
Dunia menangisi kematian seorang tukang sapu yang baik, sebagaimana dunia menangisi kematian seorang presiden yang baik.