Membicarakan psikologi manusia sering membuat kita tak bisa
melepaskan topik moralitas. Karena dibelokkan dengan cara apa pun,
pembelajaran atas psikologi manusia pada akhirnya
akan tetap sampai pada topik moralitas.
—KSU, Manhattan, Juli 2010
melepaskan topik moralitas. Karena dibelokkan dengan cara apa pun,
pembelajaran atas psikologi manusia pada akhirnya
akan tetap sampai pada topik moralitas.
—KSU, Manhattan, Juli 2010
Kuliah psikologi selalu menyenangkan. Bukan hanya karena kuliah ini menjadikan mahasiswa semakin mengenali diri sendiri, namun juga mulai belajar melihat sesuatu yang sebelumnya tidak pernah mereka lihat. Selain itu, dosen yang mengajar juga menyenangkan—tahu bagaimana menjelaskan sesuatu yang abstrak terdengar konkrit, yang rumit menjadi mudah dipahami.
Di kelas, sang dosen biasanya akan menggunakan separuh waktu mengajarnya untuk menjelaskan teori kuliah, dan menggunakan separuhnya lagi untuk berinteraksi dengan para mahasiswa. Itu saat-saat yang sangat disukai mahasiswa di kelas, karena interaksi tanya jawab itu biasanya tidak hanya terbatas pada materi kuliah hari itu, tapi juga “melantur” ke mana-mana, meski tetap dalam koridor ilmiah.
Seperti hari itu, seusai menjelaskan materi kuliahnya, sang dosen duduk dengan santai di depan kelas, dan tersenyum pada para mahasiswa. “So,” katanya, “ada yang ingin diobrolkan?”
Beberapa mahasiswa, seperti biasa, serentak mengacungkan tangan ingin bertanya.
“Ya, my friend,” ujar sang dosen pada mahasiswi yang duduk di deret agak belakang. “Apa yang ingin kautanyakan?”
“Terima kasih, Profesor,” ujar si mahasiswi dengan nada hormat. “Saya ingin tahu, bagaimana cara mengetahui seseorang cukup baik atau buruk. Adakah teori praktis untuk mengetahuinya?”
“Yang kautanyakan pasti orang yang baru kenal, benar?”
“Benar, Profesor.”
“Well...” ujar sang dosen perlahan-lahan, “kadang-kadang penampilan memang menipu. Seseorang yang tampak baik ternyata memiliki hati busuk, sedang yang tampak jahat ternyata berjiwa malaikat. Kita tak bisa melihat hati orang per orang, padahal mengetahui seseorang baik atau buruk cukup penting bagi kita untuk mempertimbangkan hubungan dengannya—dari sekadar berteman, sampai menjalin hubungan yang lebih serius.”
Para mahasiswa khusyuk mendengarkan.
Sang dosen melanjutkan, “Jadi, bagaimana cara mengetahui kepribadian seseorang yang mungkin tersembunyi dari penampilan dan tingkah lakunya? Sebenarnya tak terlalu sulit, karena watak dasar manusia adalah ingin menyatakan tentang dirinya. Itulah psikologi dasar manusia—setiap orang ingin membicarakan tentang dirinya, ingin menunjukkan diri pada dunia—setidaknya pada orang lain. Karena itu, dengan membiarkannya berbicara, kita akan melihat seperti apa sesungguhnya orang itu.”
“Membiarkannya berbicara?” tanya seorang mahasiswa, ingin memastikan.
“Ya, pal, membiarkannya berbicara. Ingat psikologi dasar—setiap orang suka berbicara, senang didengarkan. Karena itu, ketika bertemu seseorang, dan kita ingin mengetahui seperti apa watak atau kepribadiannya, dengarkanlah ia berbicara. Pancing ia membicarakan sesuatu, kemudian diamlah dan dengarkan. Apa pun yang kemudian keluar dari mulutnya dapat kita gunakan untuk menilai seperti apa kepribadian orang itu.”
Mahasiswa yang lain bertanya dengan ragu. “Uhmm... Profesor. Tapi saya pikir agak cukup sulit bagi kita—uhm, khususnya bagi saya—untuk menilai seseorang cukup baik atau buruk dengan hanya mengajaknya berbicara seperti itu.”
Sang dosen tersenyum. “Sebenarnya, ada cara mudah untuk melakukannya, my friend. Ajak dia berbicara tentang seseorang yang kalian kenal, tapi orangnya tak ada di sana. Tanyakan pendapatnya tentang orang itu. Jika dia membicarakan hal-hal baik tentang orang tersebut, kau bisa percaya dia memang orang baik. Sebaliknya, jika dia membicarakan hal-hal buruk—atau dia mencari-cari keburukan—tentang orang tersebut, kau bisa mengambil kesimpulan sebaliknya. Kita tahu, nilai kepribadian seseorang dilihat dari pendapatnya tentang orang lain, ketika orang yang dibicarakannya tidak ada.”
“Profesor,” ujar mahasiswa di deretan depan, “bagaimana kalau orang yang kami bicarakan itu kenyataannya memang buruk?”
“Maka itu eksperimen yang sempurna,” sahut sang dosen sambil tersenyum lebar. “Jika orang yang kalian bicarakan ternyata memang buruk, maka kita bisa melihat secara langsung apakah orang yang berbicara dengan kita orang baik atau orang buruk. Orang baik tidak akan membicarakan hal-hal buruk orang lain di belakang punggungnya—tak peduli kalau orang yang dibicarakannya memang buruk. Itu konsep dasar moralitas. Karenanya, itu cara mudah menilai kepribadian seseorang. Setiap orang bisa memburuk-burukkan orang lain di belakang punggungnya—itu mudah, setiap orang bisa melakukannya. Tapi tidak setiap orang mampu tulus memuji orang lainnya ketika orang yang dipuji tidak ada di sana.”
Sesaat, kelas hening.
Keheningan itu dipecahkan seorang mahasiswa yang duduk di dekat dinding. “Profesor,” ujarnya hati-hati, “kalau boleh saya simpulkan, artinya baik-buruknya seseorang bisa kita nilai dari pendapatnya tentang orang lain?”
Sang dosen mengangguk. “Selengkapnya, baik-buruknya seseorang bisa kita nilai dari pendapatnya tentang orang lain yang tidak ada di sana.” Setelah terdiam sesaat, sang dosen melanjutkan, “Kalau saya berteman denganmu, kemudian suatu hari saya memburuk-burukkan seseorang di hadapanmu, kira-kira apa yang akan muncul dalam benakmu? Benar, kau akan berpikir saya juga akan memburuk-burukkanmu jika saya berselisih denganmu. Oh, well, kita tidak ingin berteman dengan orang semacam itu. Kita ingin berteman dengan orang baik, yang tetap menjaga nama baik kita di depan orang lain, bahkan ketika kita berselisih dengannya.”
Para mahasiswa di kelas mengangguk-anggukkan kepala. Dan sekali lagi kelas hening sesaat. Kalimat terakhir itu seperti menyadarkan mereka semua. Kita ingin berteman dengan orang baik, yang tetap menjaga nama baik kita di depan orang lain, bahkan ketika kita berselisih dengannya.
Setelah keheningan itu mengendap, seorang mahasiswa di bagian depan berkata perlahan, “Profesor, apakah standar nilai semacam itu bisa kita terapkan untuk menilai seseorang yang akan kita ajak menjalin hubungan spesial? Maksud saya, sebagai lelaki, apakah saya bisa menilai baik buruknya seorang wanita dari standar nilai seperti yang Anda jelaskan tadi?”
Sang dosen tersenyum, “Sepertinya obrolan kita mulai mengerucut.”
Para mahasiswa pun tersenyum lebar, beberapa ada yang tertawa kecil.
“Sebelum melanjutkan,” ujar sang dosen, “kalian tak keberatan saya merokok?”
Itu sudah menjadi semacam “adat” yang telah dihafal semua mahasiswa. Dosen satu ini biasa merokok di sela-sela kuliah, dan para mahasiswa tak punya alasan untuk keberatan. Karena, jika diperhatikan, semakin dosen itu menikmati rokoknya, semakin memukau penjelasan yang diberikannya. Jadi, ketika sang dosen mulai menyulut rokok, para mahasiswa pun bersiap mendengarkan kejutan.
“Ehmm...” sang dosen memulai. “Ada yang tahu siapa nama istri Socrates?”
“Xanthippe,” jawab seorang mahasiswa berkacamata.
“Exactly,” sahut sang dosen senang. “Xanthippe adalah wanita yang tak bisa dibilang cantik. Tapi yang membuatnya dibenci banyak orang adalah kebiasaan buruknya yang suka membicarakan keburukan orang lain. Ke mana-mana wanita itu pergi, yang ia bicarakan hanyalah keburukan orang. Yang lebih parah lagi, dia berhati jahat, penuh dengki, dan yang ia lihat pada orang lain hanyalah keburukan. Xanthippe adalah perawan tua yang kecewa dengan kondisi dirinya sendiri, dan ia memuntahkan kekecewaannya dengan cara membenci dunia. Di Yunani, waktu itu, tidak ada lelaki cukup waras yang mau menikahi wanita seperti dirinya.”
Sang dosen mengisap rokoknya sesaat, kemudian melanjutkan, “Seperti di Yunani berabad-abad lalu, begitu pula yang terjadi di zaman kita hari ini. Tidak ada orang yang senang menjalin hubungan dengan seseorang yang akan memburuk-burukkan kita di depan orang lain. Tidak untuk berteman, apalagi untuk hubungan spesial. Bahkan, kalau kita mau jujur, kita lebih mudah menoleransi beberapa kekurangan pribadi semacam penampilan yang kurang cantik, atau kurang pintar, atau kurang lainnya, tapi kita sulit menoleransi perilaku suka menggunjingkan keburukan orang. Karena itu standar moralitas—diakui atau tidak.”
Mahasiswa yang tadi mengajukan pertanyaan kini tampak mengangguk-angguk. Kemudian, karena dosennya terdiam setelah mengisap rokoknya, si mahasiswa kembali berkata, “Profesor, uhm... kalau memang Xanthippe punya kepribadian buruk seperti yang Anda ceritakan, mengapa Socrates yang terkenal bijak mau menikahinya?”
Jawabannya sangat mengejutkan. “Karena dia Socrates.”
Kelas hening.
Sang dosen kembali mengisap rokoknya.
Seorang mahasiswa memberanikan diri. “Karena dia Socrates?”
“Ya, fellas, karena dia Socrates,” jawab sang dosen. “Filsuf itu memiliki kebijaksanaan yang amat luas—sebegitu luasnya hingga kita sulit memilikinya. Mengetahui Xanthippe akan menjadi perawan tua karena tidak ada lelaki yang menginginkannya, Socrates pun memutuskan untuk menikahinya. Dari kisah itu pulalah, kemudian Socrates memiliki kalimat terkenal yang tetap dihafal banyak orang hingga saat ini. Ada yang tahu apa kalimat terkenal itu?”
Seorang mahasiswa menjawab, “Bagaimana pun, menikahlah. Kalau kau menikah dengan wanita yang baik, kau akan bahagia. Kalau kau menikah dengan wanita jahat, kau akan menjadi ahli filsafat.”
Sang dosen tersenyum bersama asap rokoknya yang mengepul. “Itulah kalimatnya. Yang jadi masalah kita hari ini, kita bukan Socrates. Selain itu, di sekeliling kita ada banyak wanita cantik yang memiliki hati sama cantiknya—jauh lebih banyak dibanding masa ketika Socrates hidup di Yunani. Karenanya, bahkan umpama hari ini ada lelaki sehebat dan sebijaksana Socrates, dia tidak perlu menikah dengan wanita semacam Xanthippe.”
Itu dalam, pikir para mahasiswa. Oh, well, sangat... sangat dalam.
Semula, para mahasiswa mengira pembicaraan mereka telah selesai. Tapi kemudian seorang mahasiswa di bagian belakang mengangkat tangannya, dan bertanya, “Profesor, maafkan saya. Dengan membicarakan sisi buruk Xanthippe di sini, bukankah kita juga sedang membicarakan keburukan orang lain? Meminjam penjelasan Anda tadi, bukankah kita juga telah melanggar standar moralitas?”
Sang dosen tersenyum. “Saya senang kau berpikir sekritis itu. Dan saya pun akan senang menjawabnya. Pertanyaanmu akan membawa kita pada topik lain yang sama penting tentang psikologi manusia, yakni konteks moralitas. Itu yang membedakan antara ‘membicarakan keburukan orang di depan umum secara terbuka’ dan ‘membicarakan keburukan orang secara pribadi dengan bisik-bisik dan rahasia’. Namun, karena jam kuliah kita sudah habis, bagaimana kalau kita bicarakan di pertemuan mendatang?”
Dalam hati, para mahasiswa bersumpah tidak akan bolos di pertemuan mendatang.