Senin, 20 April 2020

Jam Malam

Masalah laten; lapar jam segini.


Karena wabah corona yang saat ini melanda Indonesia, beberapa daerah memberlakukan jam malam. Salah satunya kota tempat saya tinggal. Sejak 1 April kemarin, warga tidak bisa bebas lagi menikmati malam hari, khususnya para pedagang kaki lima yang ada di hampir semua sudut kota.

Di hari-hari biasa, kawasan Simpang Lima, misalnya, menjadi salah satu tempat yang selalu ramai. Dari siang hingga malam, di sana berjejer para penjual aneka makanan, ada pula sarana hiburan yang biasa menjadikan kawasan itu selalu sesak tiap malam. Muda-mudi menikmati kebersamaan, remaja-remaja nongkrong bersama teman- temannya, anak-anak bermain gembira.

Kapan pun saya kebetulan lewat, jalanan sekitar Simpang Lima selalu ramai, hingga saya harus memperlambat laju kendara. Bahkan bukan hanya Simpang Lima, jalan-jalan lain yang terhubung kawasan itu juga dipenuhi para pedagang kaki lima yang selalu ramai dikerubuti pembeli.

Kini, semua keramaian lenyap. Memasuki pukul 21.00—saat jam malam mulai diberlakukan—Simpang Lima sesepi kuburan. Begitu pula tempat-tempat lain yang biasanya selalu ramai. Tidak ada lagi para pedagang yang berjejer, tidak ada lagi para remaja nongkrong, tidak ada lagi muda-muda bermesraan, tidak ada lagi anak-anak yang bermain. Mereka semua, mungkin, terkunci di rumah masing-masing.

Tujuan diberlakukan jam malam, sebagaimana dinyatakan dalam surat edaran pemerintah kota, adalah untuk mencegah kemungkinan penularan virus corona. Dengan adanya jam malam, masyarakat akan mengurangi kemungkinan berbaur dengan banyak orang, meminimalkan tingkat kerumunan, sehingga kemungkinan penularan virus corona bisa diturunkan.

Tentu saja itu tujuan bagus, dengan logika yang sama bagus. Tapi seberapa efektif pemberlakuan jam malam untuk tujuan itu?

Ketika jam malam diberlakukan di seluruh kawasan kota, kalangan pertama yang paling terdampak adalah para pedagang, khususnya yang biasa buka malam hari. Ada banyak pedagang yang mulai buka pukul 17.00, dan baru tutup tengah malam atau dini hari. Umumnya mereka pedagang makanan—warung-warung Lamongan, warung sate Madura, sampai para pedagang nasi goreng, dan lainnya.

Selama bertahun-tahun, jauh-jauh hari sebelum wabah corona muncul, mereka sudah biasa mencari nafkah dengan cara itu; membuka warung atau memulai dagangan sejak sore hari, dan tutup tengah malam atau dini hari. Ketika jam malam diberlakukan, mereka harus tutup pukul 21.00, terlepas apakah sudah mendapat pembeli atau belum. Karenanya, merekalah yang pertama terkena dampak jam malam.

Belakangan, saya melihat warung-warung dan para pedagang itu berusaha menyiasati keadaan dengan cara membuka warung lebih awal. Jika sebelumnya mereka membuka warung pukul 17.00, misalnya, kini telah mulai buka sejak usai zuhur, atau sekitar pukul 14.00. Tujuannya tentu agar punya lebih banyak waktu membuka warung, seiring diberlakukannya jam malam.

Terkait hal itu, saya pernah mengobrol dengan salah satu pemilik warung yang membuka warungnya lebih awal, sejak ada jam malam. Pemilik warung menyatakan, “Kami serba salah dengan aturan jam malam ini. Kalau mengikuti aturan, kami tidak dapat hasil. Karena warung baru buka (sore hari pukul 17.00), sudah harus tutup jam sembilan. Cuma empat jam. Belum tentu sudah ada pembeli dalam empat jam itu.”

Lebih lanjut, ia menuturkan, “Mestinya pemerintah tidak hanya memberlakukan jam malam, tapi juga memberikan kompensasi, agar para pedagang warung makan seperti saya bisa legawa mematuhi aturan. Misalnya, pemerintah ngasih semacam uang pengganti dari keuntungan kami yang hilang akibat jam malam. Kalau cuma begini (memberlakukan jam malam tanpa ada kompensasi), kami jadi merasa dirugikan.”

Sebenarnya, bukan hanya para pedagang yang merasa dirugikan dengan adanya jam malam. Masyarakat luas pun merasakan hal sama. Ada banyak orang yang semula nyaman kelayapan mencari makan saat lapar tengah malam, tapi kini tidak bisa lagi. Karena semua orang dilarang keluyuran, karena warung-warung makan sudah harus tutup pukul 21.00. “Orang tidak jelas” seperti saya jelas terdampak.

Biasanya, saya bisa keluar rumah kapan pun saat lapar, bahkan umpama pukul 02.00 dini hari. Ada warung-warung makan yang buka sampai pukul 03.00 subuh, dan biasanya saya datang ke sana. Warung-warung itu sudah populer di kalangan “anak-anak malam”, dan hampir bisa dipastikan saya akan bertemu bocah-bocah yang saya kenal sedang nyangkruk di sana, lalu saya ikut nyangkruk sambil udud, sampai tutupnya warung.

Kini, hal semacam itu tidak bisa saya—dan orang-orang lain—lakukan, karena adanya jam malam. Sekarang, boro-boro keluar pukul 02.00 dini hari, keluar rumah pukul 22.00 saja rasanya seperti melintasi kuburan. Sepi ngelangut. Itu pun masih ditambah kekhawatiran ke-gep polisi yang patroli.

Kembali ke warung-warung makan tadi, yang terpaksa bersiasat dengan buka lebih awal, karena adanya jam malam. Kini, warung-warung ala Lamongan di kota saya mulai buka usai zuhur, demi bisa menjaring pembeli sebanyak-banyaknya, sebelum datang pukul 21.00, saat mereka harus tutup. Di sisi lain, para pembeli tampaknya paham sendiri dengan hal itu, dan kini mereka pun mulai menyesaki warung-warung sebelum jam malam.

Ketika hal semacam itu terjadi, pertanyaan tadi mengemuka; seberapa efektif pemberlakuan jam malam, dalam upaya mencegah kemungkinan penularan corona?

Jam malam, bagi para pedagang dan para pembeli/pelanggannya, hanya serupa pengalihan waktu jual beli. Mereka tetap berjualan, dan para pembeli tetap makan di sana. Mereka tetap berkumpul dan berkerumun, meski kini dalam waktu berbeda.

Pemerintah mungkin berpikir, dengan adanya jam malam, kemungkinan orang-orang berkerumun akan dapat dikurangi. Dalam contoh mudah adalah warung-warung makan yang biasa buka sore hari dan tutup tengah malam. Jika sebelumnya ada 7-8 jam kemungkinan interaksi di warung, kini dipangkas menjadi hanya 4 jam setelah adanya jam malam. Tapi apakah pemerintah sempat memikirkan kemungkinan kalau mereka membuka warungnya lebih awal, seperti yang terjadi sekarang?

Sebenarnya, yang diinginkan pemerintah dengan adanya jam malam adalah mengurangi kemungkinan interaksi dan kerumunan. Tapi mereka mungkin melupakan sesuatu yang akan dianggap lebih penting daripada sekadar peraturan, yakni perut yang lapar.

Masyarakat tidak bisa dihentikan oleh aturan, jika aturan itu mengabaikan perut yang kelaparan.

Para pedagang butuh membuka warung, bukan hanya untuk mengisi perut para pelanggan, tapi juga karena butuh mengisi perut keluarganya. Para penyedia mainan di Simpang Lima tidak hanya ingin menghibur anak-anak, tapi juga berharap dapat mengisi perut keluarganya. Sebelas dua belas dengan para driver ojol yang tetap kelayapan siang malam—tidak semata karena pengabdian pada pekerjaan, tapi juga karena butuh mengisi perut keluarganya.

Mengabaikan hal mendasar itu, aturan apa pun akan diterabas. Orang butuh makan, masyarakat butuh memenuhi kebutuhan keluarga. Dan kebutuhan itu sering kali bahkan lebih besar dibanding ketakutan pada sesuatu yang tak kasatmata, seperti virus corona.

 
;