Ada sekelompok orang, yang ketika kau berbeda pendapat
dengan mereka, maka mereka menganggapmu menyelisihi Allah
dan Rasul-Nya. Hal semacam itu tentu saja tidak benar.
—Syaikh Abdullah bin Bayyah
dengan mereka, maka mereka menganggapmu menyelisihi Allah
dan Rasul-Nya. Hal semacam itu tentu saja tidak benar.
—Syaikh Abdullah bin Bayyah
Grafiti di dinding-dinding pinggir jalan pernah menjadi musim atau tren, khususnya ketika saya masih SMA. Di masa itu, nyaris di mana pun ada dinding kosong di pinggir jalan, selalu terdapat tulisan (grafiti) yang dibuat menggunakan cat semprot. Biasanya, grafiti yang tertulis adalah nama gank, nama perkumpulan sekolah, atau kata-kata mutiara yang nyeleneh.
Sekitar lima puluh meter dari SMA saya, ada dinding di pinggir jalan yang cukup panjang—sekitar 30-35 meter. Dinding itu merupakan sisi samping sebuah ruko. Selain cukup panjang, dinding kosong itu cukup tinggi. Di masa itu, dinding di sana dicat kuning cerah. Ketika grafiti mulai tren, dinding itu menjadi sarana ekspresi bocah-bocah “tukang semprot” grafiti. Dalam waktu singkat, dinding yang semula bersih segera penuh coretan/semprotan aneka tulisan.
Yang masih saya ingat sampai sekarang, salah satu grafiti yang tercetak di sana adalah sebuah “kata mutiara”, berbunyi, “Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut setan”.
Dulu, ketika masih SMA, saat pertama kali mendapati tulisan itu, saya cuma nyengir, dan berpikir tulisan itu hasil karya orang iseng. Tetapi, ketika dewasa, lama-lama saya berpikir tulisan itu tidak sesederhana yang saya pikirkan. Pembuat tulisan itu—siapa pun dia—bisa jadi tidak sekadar iseng, tapi sengaja menulis kalimat itu sebagai sindiran, atau bahkan mungkin bahan renungan.
“Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut setan.”
Kalau dipikir-pikir, kalimat itu sebenarnya benar. Yang benar menurut kita, kemungkinan besar, belum tentu benar menurut setan. Menurut kita, bersikap jujur itu benar. Tapi setan pasti tidak setuju, karena dia—maksud saya setan—lebih suka kita berbuat curang. Menurut kita, berbuat baik itu benar. Tetapi, lagi-lagi, setan pasti tidak setuju, karena dia lebih suka kita berbuat kejahatan.
Jadi, yang benar menurutmu memang belum tentu benar menurut setan. Lebih dari itu, jika saya pikirkan lebih mendalam, kalimat itu bahkan lebih baik—dan lebih rendah hati—dibanding kalimat populer lain yang berbunyi, “Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut Tuhan.”
Mungkin kita pernah—atau bahkan sering—mendapati orang sok alim atau sok suci, yang suka sekali ngemeng, “Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut Allah!”
Saya pernah mendapati orang semacam itu. Orang ini senang sekali menampilkan atau mengesankan dirinya orang yang alim, lalu sangat hobi menyebut-nyebut agama. Dikit-dikit, agama. Dikit-dikit, agama. Ngemeng apa pun, selalu dihubungkan agama. Temannya ngoceh soal bluetooth, dia menghubungkan dengan agama. Kawannya ngemeng soal robot, atau valas, atau dildo, dia menghubungkan dengan agama. Pokoknya, apa pun dihubungkan agama.
Tentu saja itu hak dia. Wong itu cocot, cocotnya sendiri.
Suatu hari, ada orang yang mungkin risih dengan orang tadi (yang hobi ngemeng agama). Agar saya lebih mudah menuliskannya, kita sebut saja si orang tadi—yang hobi ngemeng agama—dengan sebutan Si A. Sementara orang yang menegurnya, kita sebut saja Si B.
Si B mungkin risih dengan ulah Si A yang sangat hobi nyebut-nyebut agama, padahal konteks yang dibicarakan belum tentu terkait agama. Seperti bluetooth, misalnya. Wong kita lagi ngomongin bluetooth, Si A menghubungkan itu dengan agama. Apa hubungannya bluetooth dengan agama? Tentu saja ada hubungannya, kalau memang dipaksa dihubung-hubungkan. Tapi itu kan lebay!
Begitu pula soal robot, atau valas, atau dildo. Apa hubungannya robot atau dildo dengan agama? Oh, mungkin saja ada, tapi mbok dilihat dulu konteksnya! Wong kita lagi membahas kemungkinan robot di masa depan, eh Si A langsung ngemeng agama. Mungkin masih asyik didengarkan, kalau saja ocehan Si A memang bermutu, dalam arti Si A benar-benar orang alim yang sungguh-sungguh tahu soal agama.
Kalau memang seperti itu yang terjadi, orang justru akan senang mendengarkan, karena setidaknya akan bertambah pengetahuan dan wawasan. Misalnya, kalau orang semacam Gus Mus atau Quraish Shihab atau Buya Syafi’i membahas robot dengan perspektif agama, saya pun akan senang hati mendengarkan. Karena tahu kualitas Gus Mus atau Quraish Shihab atau Buya Syafi’i. Bahkan, mereka mau ngomong apa pun, saya akan senang mendengarkan.
Ironisnya, Si A yang hobi ngoceh soal agama tadi sama sekali tidak tahu apa-apa soal agama. Si A ini tipe orang yang baru kemarin sore kenal agama, lalu sedang “kemaruk-kemaruknya” ngomong agama. Kalian tahulah, orang semacam itu.
Balik ke cerita tadi.
Si B, yang mungkin risih dengan Si A, suatu hari menegur Si A agar tidak perlu seagresif itu menghubungkan apa pun dengan agama. “Mbok dilihat dulu sikon atau konteksnya,” ujar Si B. “Tidak semua hal harus dikait-kaitkan dengan agama, karena kenyataannya memang tidak semua hal berkaitan dengan agama.”
Mendapat teguran itu, Si A tidak terima. Si A lalu menyemburkan ceramah panjang lebar, lalu—dengan jumawa—dia menyatakan, “Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut Allah!”
Mendengar kalimat itu, Si B terdiam. Saya tahu, dia terdiam bukan karena tidak bisa menjawab atau tidak bisa mendebat, tapi karena Si B menyadari sungguh sia-sia melanjutkan percakapan. Bagaimana pun, Si A yang sok alim itu sebenarnya tidak paham yang diucapkannya sendiri, jadi percuma berbicara dengan orang semacam itu.
Nah, kalimat Si A itulah, yang mengingatkan saya pada grafiti yang tertulis di dinding, yang saya lihat ketika SMA dulu.
Si A mengatakan, “Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut Allah!”
Oh, well, kedengarannya hebat. Yang jadi masalah, bagaimana Si A tahu apa menurut Allah? Memangnya siapa Si A, sampai-sampai dia merasa memiliki legitimasi untuk menyatakan bahwa dia paham betul apa pendapat Allah?
Kalimat ini—“Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut Allah!”—memang terdengar hebat, bahkan terkesan benar. Tetapi, sebenarnya, itu kalimat berbahaya. Sebegitu berbahaya, sampai para wali dan orang-orang yang sangat alim tidak pernah menggunakan kalimat semacam itu. Karena mengatakan kalimat itu sama artinya bersikap kurang ajar kepada Tuhan.
Apakah kita pernah mendengar Gus Dur mengatakan kalimat itu? Tidak! Apakah Gus Mus pernah mengatakan kalimat itu? Juga tidak! Apakah Quraish Shihab pernah mengatakan kalimat itu? Sama, tidak! Begitu pula Buya Syafi’i Ma’arif atau orang-orang alim lain, yang benar-benar memahami agama. Mereka sangat hati-hati dalam menjaga lisan dan perbuatannya, hingga tidak pernah mengucapkan kata-kata tolol dan tinggi hati seperti orang-orang yang baru kenal agama.
Sebaliknya, orang sok alim dan sok suci—yang sebenarnya baru kenal agama—suka sekali menggunakan kalimat itu, yang mengesankan kalau pendapatnya sesuai pendapat Tuhan, sambil berusaha membungkam pendapat orang lain. Yang jadi masalah, memangnya dia siapa, kok sampai sok-sokan merasa Tuhan pasti sependapat dengannya? Lha mbok ngaca dikit, napa? Kenal agama juga baru kemarin sore, sudah sok-sokan merasa Tuhan pasti sependapat dengannya.
Di zaman kuno, ketika para ulama mulai menuliskan ilmu pengetahuan yang merupakan kristalisasi pemikiran-pemikirannya, mereka akan memulai proses penulisan dengan berdoa, kira-kira seperti ini, “Ya Allah, aku memohon bimbingan-Mu, untuk pengerjaan kitab ini. Bukan hanya bimbingan agar aku bisa menulis dengan benar sesuai kehendak-Mu, namun juga agar aku bisa menulis dengan ikhlas.”
Lalu mereka mulai menulis siang malam, dengan sepenuh hati, dengan segenap keikhlasan. Tak berharap apa pun, selain kesadaran ingin mewariskan ilmu yang mereka miliki dalam bentuk tulisan. Mereka tidak berharap royalti, tidak menginginkan popularitas, tidak mengimpikan tampil di televisi, apalagi berharap diundang ceramah dengan tarif berjuta-juta.
Berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun kemudian, setelah sang ulama selesai menulis hingga menjadi kitab yang utuh, mereka masukkan kitab yang selesai ditulis ke dalam sebuah peti. Peti itu dikunci. Setelah itu, mereka masukkan peti tersebut ke dalam lemari, dan lemarinya kembali dikunci.
Kemudian, ulama yang baru selesai menulis kitab tersebut beribadah siang malam kepada Tuhan, bermunajat dan berdoa, kira-kira seperti ini, “Ya Allah, jika dalam penulisan kitab tadi ada satu huruf saja yang kutulis tidak dengan keikhlasan, jika ada kata atau kalimat yang kutulis bukan karena-Mu tapi karena egoku, bukan karena kehendak-Mu melainkan karena nafsuku, maka hapuskanlah huruf itu, hilangkanlah tulisan itu.”
Berbulan-bulan kemudian, setelah hati merasa mantap, ulama tadi akan membuka lemari yang terkunci, mengeluarkan peti, dan mengambil kitab yang mereka tulis dari dalam peti. Itulah asal usul kitab-kitab salaf yang menjadi warisan abadi dari zaman ke zaman, dari generasi ke generasi. Yaitu kitab-kitab yang ditulis orang yang benar-benar alim, orang-orang yang menulis pengetahuan dengan sepenuh hati, dengan keikhlasan.
Kita tentu bisa menakar kualitas orang-orang semacam itu, yaitu orang-orang alim dengan jiwa yang bersih, sosok-sosok yang dijamin “memiliki derajat lebih tinggi” dibanding orang kebanyakan. Tapi apakah orang-orang yang sungguh alim itu pernah ngoceh, “Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut Allah”? Tidak! Mereka terlalu mulia untuk mengatakan kalimat yang sombong itu. Mereka terlalu luhur untuk menyatakan kalimat yang angkuh dan tak tahu diri itu!
Kalimat ini—“Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut Allah!”—mungkin terdengar benar, bahkan terkesan hebat bagi orang-orang sok alim. Karena mereka tidak pernah berpikir bahwa kalimat semacam itu adalah bentuk kekurangajaran kepada Tuhan. Menjalani hidup sebagai manusia saja belum tentu benar, sudah sok-sokan menganggap cocotnya pasti sesuai kehendak Tuhan.
Ketika berdebat, dan terdesak tak bisa menjawab, orang-orang sok alim itu pun menggunakan senjata pamungkas, “Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut Allah!”
Lha raimu sopo?
Berbeda dengan orang-orang sok alim yang tinggi hati dan kurang ajar, orang yang sungguh-sungguh alim justru sangat hati-hati dan berbudi. Ketika berdiskusi, atau berdebat dengan sesama orang alim, mereka tidak mengatakan, “Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut Allah!”
Sebaliknya, mereka mengatakan, “Ini yang sebatas kuketahui. Namun, kita tahu, aku orang daif yang bisa saja keliru. Bagaimana pun, Allah yang lebih tahu.”
Begitulah perbedaan orang alim, dengan bangsat yang sok alim. Begitulah perbedaan manusia luhur dan berbudi, dengan keparat yang sok suci. Yang benar-benar alim sangat berhati-hati, dan menempatkan kebenaran Tuhan di tempat tertinggi. Yang sok alim dan sok suci sangat tinggi hati, dan menempatkan kebenaran Tuhan senilai cocotnya sendiri.
Jadi, saya pun teringat pada grafiti di dinding yang berbunyi, “Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut setan.” Kalimat itu sepertinya memang tidak ditulis secara iseng, melainkan sebagai sindiran bagi orang-orang yang mau menyadari. Dan, tiba-tiba, saya berpikir pembuat grafiti itu mungkin seorang wali.