Makin hari, makin sulit mendapatkan keheningan. Setidaknya, itulah yang saya rasakan. Di masa lalu, saya masih dapat mengingat betapa dunia—setidaknya lingkungan saya—begitu hening seusai magrib. Di masa kecil saya, usai magrib adalah saat “sakral”, karena pada waktu itu orang-orang khusyuk beribadah. Seusai shalat magrib, orang-orang membaca Al-Qur’an di rumah masing-masing. Tidak ada kebisingan. Yang terdengar hanya sayup-sayup suara orang mengaji.
Orang-orang di lingkungan saya waktu itu bahkan melarang anak-anaknya keluar rumah seusai magrib. Bukan hanya anak-anak, bahkan orang dewasa pun akan berusaha tetap tinggal di rumah seusai magrib. Karena itu waktu sakral, dan masyarakat di lingkungan saya menggunakannya untuk mengaji atau belajar. Karena itulah, di masa lalu, setiap usai magrib, saya merasakan keheningan yang menenangkan.
Saat tumbuh makin besar, saya masih menganggap usai magrib adalah waktu keheningan, saat orang-orang berdiam di rumah, mengaji, atau belajar. Tidak ada suara apa pun yang mengganggu. Tidak ada televisi yang menyala, apalagi bising TOA dari masjid dan mushala. Karena usai magrib adalah waktu hening.
Tetapi, kini, usai magrib tidak ada bedanya dengan waktu-waktu lain. Selalu terdengar bising. Jika dulu saya bisa menikmati keheningan seusai magrib, sekarang sulit. Karena masjid dan mushala memperdengarkan suara TOA.
Memang suara yang dikeraskan TOA itu suara pengajian. Tetapi telah merenggut keheningan yang biasa saya nikmati usai magrib. TOA di sini saling bersahutan dengan TOA di sana, sama-sama mengeraskan suara pengajian. Usai magrib, yang dulu saya anggap waktu sakral keheningan, sekarang berubah seperti pasar malam.
Tidak ada lagi keheningan... oh, well, tidak ada lagi keheningan.
Saya tidak ingat sejak kapan orang-orang mulai memuja kebisingan, dan saling berebut unjuk suara melalui TOA. Yang jelas, sekarang, masjid dan mushala di sekitar nyaris tak pernah henti memperdengarkan kebisingan melalui TOA. Suara rekaman tilawah dikeraskan melalui TOA. Pengajian yang hanya dihadiri segelintir orang, dikeraskan lewat TOA. Apa saja dikeraskan melalui TOA.
Itu jauh berbeda dengan masa lalu yang saya tahu. Di masa lalu, orang-orang menjalani ibadah dan ritual agama dalam keheningan. Tidak ada yang terganggu. Semua orang tetap nyaman menjalani aktivitas masing-masing. Kini, orang-orang mengaku menjalani ibadah agama dalam kebisingan. Hasilnya, ibadah mereka bisa jadi mengganggu orang-orang lain yang mungkin ingin belajar, atau setidaknya ingin menikmati keheningan.
Aturan mengenai TOA di masjid atau mushala sebenarnya telah ditetapkan oleh pemerintah, yang salah satunya tidak sampai mengganggu lingkungan sekitar. Tapi tampaknya pemerintah tidak (atau tidak bisa) tegas dalam menerapkan aturan tersebut, karena ini persoalan sensitif. Jangankan pemerintah, bahkan orang-orang Islam sendiri pun segan menegur masjid atau mushala di lingkungannya, meski mungkin mereka terganggu.
Selalu ada kemungkinan orang-orang merasa terganggu dengan kebisingan TOA dari masjid atau mushala di lingkungannya. Tapi apakah mereka berani mengatakan terang-terangan? Kemungkinan besar tidak! Karena, sekali lagi, ini persoalan sensitif.
Orang bisa dituduh kafir atau murtad kalau berani memprotes TOA dari mushala, karena kebanyakan orang menganggap apa pun yang keluar dari masjid atau mushala adalah hal benar. Karenanya, bagi mereka, kalau kau terganggu dengan TOA mushala, yang salah bukan mushala, tapi kaulah yang salah!
Sekali lagi, kenyataan yang saya hadapi hari ini jauh berbeda dengan kenyataan yang saya nikmati di masa lalu. Kadang saya khawatir, di masa depan, lingkungan tempat tinggal kita akan jauh lebih bising, akan lebih banyak TOA, karena orang-orang akan semakin memuja kebisingan... hingga makin jauh dari keheningan.
Saya khawatir, di masa depan, orang-orang akan meyakini bahwa yang benar adalah yang paling keras, yang paling bising, hingga mereka makin sulit menerima kebenaran dalam hening.