Sebenarnya, Aunt May tahu siapa Spiderman.
Tapi dia pura-pura tak tahu. Dan siapakah yang tahu
sosok sebenarnya Batman? Seorang mbakyu.
—@noffret
—@noffret
Semua superhero memiliki mbakyu—kecuali Captain America. Bahkan Captain America pun sebenarnya punya mbakyu, tapi hubungan mereka sangat rumit, akibat perbedaan fisiologis. Karena kekuatan yang dimilikinya, Captain America tidak pernah tua. Fisiknya terus muda, meski usia biologisnya semakin tua. Kenyataan itu menimbulkan masalah. Sementara pasangannya menua dan fisiknya makin renta, Captain America tetap muda dan segar bugar. Jadi, semua superhero punya mbakyu—kecuali Captain America.
Coba lihat. Batman memiliki mbakyu bernama Rachel Dawes. Spiderman memiliki mbakyu bernama Mary Jane Watson. Superman memiliki mbakyu bernama Lois Lane. Iron Man memiliki mbakyu bernama Pepper Potts. Bahkan Hulk pun memiliki mbakyu bernama Elizabeth Ross.
Sudah melihat yang saya maksud? Lebih penting lagi, sudah melihat pola yang terjadi? Semua wanita yang menjadi pasangan superhero memiliki karakter sama—dewasa dan bijaksana, mendamaikan dan menenteramkan—sosok seorang mbakyu!
Semula, Spiderman sempat menjalin hubungan dengan Gwen Stacy, sebagaimana yang kita lihat dalam seri Amazing Spiderman. Mungkin Gwen perempuan istimewa, tapi bagaimana pun kita tidak bisa yakin dia seorang mbakyu. Bagaimana pun, Gwen masih terkesan kekanak-kanakan dan belum bisa dikatakan matang. Dan apa yang kemudian terjadi? Oh, well, takdir merenggutnya... agar Spiderman menemukan pasangan yang tepat, sosok seorang mbakyu sejati, yakni Mary Jane Watson.
Sekilas, kisah kematian Gwen Stacy mungkin terkesan kejam. Tapi kisah itu menunjukkan pola yang sama—yang terus terjadi pada kisah-kisah serupa—bahwa pasangan superhero harus benar-benar seorang mbakyu!
Kenapa pasangan superhero harus seorang mbakyu? Karena semua superhero adalah bocah!
Pernahkah kita bertanya-tanya, mengapa Bruce Wayne menjadi Batman? Sebagai lelaki, dia sosok sempurna—ganteng, pintar, kaya-raya, dunia ada di telapak tangannya. Jika Bruce Wayne mau, dia bisa menikmati hidup dengan mengasyikkan, ngebut di jalanan dengan mobil sport, main golf dengan sesama orang kaya, atau keluyuran di mal sambil ngecengin cewek-cewek. Lalu kawin. Lalu poligami. Lalu selingkuh. Oh, well.
Tapi tidak. Alih-alih menikmati kehidupan hedonis semacam itu, Bruce Wayne justru menjadi Batman, dan menghabiskan hidupnya untuk sesuatu yang bisa dibilang tidak enak—memerangi penjahat di Gotham, bertarung dengan para bajingan, demi memastikan warga kotanya aman dari kejahatan. Mengapa dia mau melakukan itu? Karena dia seorang bocah!
Atau coba lihat Peter Parker. Dia anak malang, ditinggal orangtuanya sejak kecil, dan hidup bersama paman-bibinya yang miskin. Saat pamannya meninggal, kehidupan Peter Parker bersama Aunt May sangat pas-pasan. Sementara itu, kita tahu, Peter Parker memiliki kekuatan dan kemampuan luar biasa, karena tergigit laba-laba. Jika Peter Parker bukan bocah, dia pasti akan memanfaatkan kekuatannya untuk hal-hal yang menguntungkan diri sendiri.
Kalau mau, sangat mudah bagi Peter Parker untuk menyamar atau menyembunyikan identitasnya, kemudian merampok bank atau semacamnya, dan kemungkinan besar dia tidak akan tertangkap atau ketahuan. Sebagai anak miskin, dia bisa saja berdalih, “Aku miskin, dan aku punya kekuatan. Apa salahnya kalau aku mengambil sedikit harta orang-orang kaya?”
Tapi apakah dia melakukan hal semacam itu? Tidak! Alih-alih menggunakan kekuatannya untuk tujuan menguntungkan diri, Peter Parker justru menjadi Spiderman, dan memanfaatkan karunia yang dimilikinya untuk membantu orang lain. Mengapa dia mau melakukan itu? Karena Peter Parker seorang bocah! Dia tidak berpikir dalam kerangka orang dewasa yang cenderung praktis dan pragmatis, tapi berpikir sebagai bocah.
Begitu pula para superhero lain—Iron Man, Superman, Captain America, Green Lantern, atau lainnya. Mereka menghadapi hidup yang memungkinkan untuk melakukan hal-hal menyenangkan bahkan menguntungkan dengan mudah, tapi tidak dilakukan. Bukan karena bodoh, tapi karena mereka memilih. Dan mereka memilih untuk menjadi bocah. Dengan pakaian besi. Dengan kostum. Atau dengan topeng dan jubah.
Jadi, para superhero adalah bocah. Dan pasangan para bocah adalah mbakyu. Karena itulah para superhero memiliki mbakyu.
Mengapa para superhero memiliki mbakyu? Point itulah yang ingin saya bicarakan.
Disadari atau tidak, kita hidup dalam kultur patriarkhi yang menempatkan pria sebagai pihak dominan, dan wanita di pihak yang tersubordinasi. Posisi itu tidak selamanya menguntungkan bagi pria dan merugikan bagi wanita. Dalam banyak kasus, bahkan dalam kehidupan kita, kultur patriarkhi semacam itu bisa berbalik menjadi senjata makan tuan.
Karena terbiasa hidup dalam kultur patriarkhi, pria sering memandang wanita sebagai makhluk kelas dua (lebih rendah), sementara wanita juga tanpa sadar sering menilai pria seolah makhluk super. Penilaian semacam itu akan sangat terasa ketika pria dan wanita menjalin hubungan, membangun keluarga dan berumah tangga. Padahal, masing-masing penilaian itu bukan hanya keliru, tapi juga dapat merusak hubungan di antara keduanya.
Di radio, saya pernah mendengar iklan tolol yang menyuarakan seorang wanita berkata, “Lelaki kok lemah!” Di lain waktu, saya juga mendengar iklan tolol lain yang menyuarakan seorang pria berkata, “Ah, wanita tahu apa!”
Iklan-iklan tolol dengan kata-kata tolol semacam itu bisa muncul dalam ruang kehidupan kita... kenapa? Karena kita hidup dalam kultur patriarkhi! Yang wanita menilai pria terlalu tinggi, sementara yang pria menilai wanita terlalu rendah. Padahal penilaian atau persepsi itu bukan hanya salah... tapi sangat salah!
Sekarang, coba tebak. Secara biologis, lebih kuat manakah antara pria dan wanita? Oh, ini bukan tebak-tebakan konyol dengan jawaban yang sama konyol. Tapi jika kalian menjawab bahwa pria dan wanita lebih kuat pria, kalian salah! Secara biologis, wanita jauh lebih kuat dibanding pria. Kenyataan itulah yang menjadikan para pria lebih cepat mati, dan seiring dengan itu jumlah wanita di planet ini semakin mengungguli jumlah pria.
Selama ini, para aktivis poligami berdalih, bahwa poligami perlu dilakukan, karena jumlah wanita tiga kali lipat lebih banyak dibanding pria. Memang benar bahwa jumlah wanita tiga kali lipat dari pria—tapi bukan wanita muda! Dua pertiga wanita yang saat ini mendominasi jumlah mereka adalah para wanita tua yang telah ditinggal suaminya. Rata-rata suami meninggal lebih dulu, karena—secara biologis—pria memang lebih lemah dibanding wanita, sehingga mereka lebih cepat mati.
Jadi, sebenarnya, pria sama sekali tidak lebih kuat dibanding wanita. Tapi kultur patriarkhi mendoktrin sebaliknya! Kenyataannya, pria tidak sekuat yang dibayangkan rata-rata wanita, dan—sebaliknya—wanita juga tidak selemah yang dibayangkan rata-rata pria.
Oh, well, tentu saja ini bukan berarti wanita perlu jadi tukang becak, dan pria harus pintar memasak. Jangan salah paham. Ilustrasi di atas hanya untuk menunjukkan bahwa persepsi kita terhadap lawan jenis belum tentu benar, dan kenyataannya memang tidak benar. Karenanya, dalam hubungan antara pria dan wanita, kultur patriarkhi sebenarnya menyimpan masalah, karena kultur itu telah mendoktrin dengan cara salah.
Itulah sebabnya, saya sangat menggemari film-film superhero, karena film-film itu menyampaikan pelajaran terselubung mengenai hubungan ideal antara pria dan wanita. Bahwa sekuat dan sehebat apa pun seorang superhero, mereka tetap membutuhkan mbakyu. Karena kesadaran itu pula, para superhero tidak menilai wanita sebagai subordinasi. Sebaliknya, mereka memandang wanita pasangannya secara sejajar, kalau tidak lebih tinggi.
Dan bukankah seperti itu sebenarnya hubungan yang ideal? Dalam konteks superhero dan mbakyunya, kita melihat suatu hubungan yang tidak hanya saling membangun, tapi juga saling mengisi dan saling menyadari. Meski para wanita itu menjalin hubungan dengan para superhero, tapi mereka tetap memandang pasangan sebagaimana mestinya, tanpa penilaian berlebihan.
Pepper Potts menjalin hubungan dengan Tony Stark—genius kaya-raya, sosok superhero di balik baju besi Iron Man. Meski begitu, Pepper Potts tetap menyadari bahwa pria hebat itu tetaplah seorang bocah yang kadang suka seenaknya sendiri, dan Pepper Potts terus berusaha sabar serta bijaksana menghadapinya. Mengapa Pepper Potts mampu melakukan hal semacam itu? Karena dia menyadari posisinya dalam hubungan itu, bahwa dia seorang mbakyu!
Mary Jane Watson menjalin hubungan dengan Peter Parker—sosok cerdas dan introver yang bersembunyi di balik kostum Spiderman. Meski tahu pacarnya superhero, Mary Jane Watson menyadari bahwa Peter Parker tetap seorang bocah yang sering dilanda keraguan, kegalauan, dan Mary Jane Watson menempatkan dirinya untuk menguatkan. Mengapa Mary Jane Watson mampu memosisikan dirinya seperti itu? Karena dia seorang mbakyu!
Rachel Dawes menjalin hubungan dengan Bruce Wayne—miliuner cerdas yang merahasiakan identitasnya di balik jubah dan topeng Batman. Meski tahu bahwa lelaki yang dicintainya sosok hebat, bahkan superhero, Rachel Dawes tidak menilai Bruce Wayne secara berlebihan. Sebaliknya, dia sangat menyadari jati diri Bruce Wayne sebagai sosok bocah terluka, dan dia menghadapinya dengan bijaksana. Lagi-lagi, karena Rachel Dawes adalah mbakyu!
Dalam konteks hubungan pria dan wanita, hubungan semacam itulah sebenarnya yang ideal. Bahwa sekuat apa pun pria, dia tetap butuh penopang. Dan selemah apa pun wanita, dia bisa menjadi sandaran yang menenteramkan. Yang pria tidak menilai rendah wanita, dan yang wanita tidak menilai pria secara tidak semestinya.
Bruce Wayne adalah bocah terluka yang trauma akibat kematian orangtuanya, dan Rachel Dawes memberi kedamaian. Peter Parker adalah bocah introver yang sering dirundung keraguan, dan Mary Jane Watson memberi ketenteraman. Tony Stark adalah bocah yang senang bertingkah seenaknya, dan Pepper Potts tahu cara menghadapinya. Bahkan Bruce Banner alias Hulk yang sangat kuat pun sebenarnya bocah kesepian, dan Elizabeth Ross memberinya perasaan aman.
Jika para superhero memiliki kelemahan serta butuh penopang, apalagi para lelaki biasa di sekeliling kita?
Dan, well, sekarang kalian paham siapa sebenarnya yang saya maksud dengan Mbakyu, yang sering saya sebut setiap waktu. Mbakyu adalah wanita bijaksana yang tahu cara menghadapi bocah!