Neraka terdalam dan paling dasar disediakan untuk
orang-orang munafik. Sangat pantas! Karena munafik
adalah iblis yang berpura-pura baik.
—@noffret
orang-orang munafik. Sangat pantas! Karena munafik
adalah iblis yang berpura-pura baik.
—@noffret
Jam dinding telah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Tapi kami masih asyik bercakap-cakap—di dekat perapian, sambil menghirup teh panas yang wangi. Kami sedang membicarakan moralitas, dan saya mendengarkannya dengan khusyuk seperti dalam kelas. Orang-orang menyebut dia “bajingan yang beradab”. Sementara saya menganggapnya sebagai guru, mengingat pengetahuan dan pengalamannya yang sangat luas.
Dini hari itu kami membahas Sartre, Spinoza, Iqbal, Huxley, sampai Nietzcshe dan Marx. Dia orang tua yang menyenangkan, dan—seperti yang dikatakan orang-orang—dia juga sangat beradab. Meski usianya jauh lebih tua, tapi dia memperlakukan saya dengan hormat.
Setelah dia mengisap pipa dan terdiam cukup lama, saya memberanikan diri bertanya, “Sir, maafkan saya. Kalau—sekali lagi, kalau—Anda mengetahui istri Anda berselingkuh, landasan moral apa yang akan Anda gunakan, dan apa yang akan Anda lakukan?”
Dia tersenyum seperti biasa, saat dihadapkan pertanyaan sulit, kemudian berkata perlahan-lahan, “Maka aku akan melakukan yang harus kulakukan, Nak.”
“Yaitu?”
“Mula-mula, aku akan memastikan istriku benar-benar berselingkuh. Karena dia berselingkuh, artinya dia melanggar dasar moral perkawinan. Karena kami menikah dengan diketahui orang banyak, maka begitu pula perselingkuhannya. Aku akan mengumpulkan orang-orang, dan kami akan menangkapnya saat berselingkuh, agar orang-orang tahu bahwa dia telah mengkhianati perkawinan kami.”
“Anda ingin istri Anda malu karena perbuatannya?”
“Benar,” dia menjawab. “Setelah itu, aku akan melaporkan perbuatannya kepada pihak berwenang, dengan tuduhan perzinahan, perselingkuhan, atau apa pun, dan aku akan memastikan dia serta selingkuhannya masuk penjara, untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.”
Saya mengangguk. “Setelah mereka selesai menjalani hukuman, Sir, apakah Anda akan memaafkan mereka?”
Dia menjawab dengan muka berkerut, “Kau tidak ingin mendengar jawabannya.”
Hening.
Suara detak jarum jam di dinding terdengar nyaring.
Setelah mengisap pipa sesaat, dia kembali berkata, masih dengan muka berkerut, “Apa yang lebih kejam dari pengkhianatan, Nak? Kau mempercayai seseorang yang kauyakini bisa dipercaya, tapi diam-diam menertawakanmu di belakang. Kau berbaik sangka pada seseorang, tapi dia melukaimu dari belakang. Kau mengulurkan kebaikan kepadanya, dan dia membalasnya dengan kebusukan di belakang. Kau menjaga nama baiknya, dan dia merusak namamu di belakang. Apa yang lebih kejam dari itu? Menggunakan standar moral apa pun, pengkhianatan adalah perbuatan yang paling menjijikkan.”
Saya terdiam, mendengarkan.
Dia kembali mengisap pipanya, lalu bertanya, “Kau tahu konsep Omerta?”
Saya menyahut, “Hukum tutup mulut di dunia mafia.”
“Benar.” Dia mengangguk. “Para mafia—sebajingan apa pun mereka—menyadari bahwa pengkhianatan adalah dosa tak terampuni. Karenanya, mereka lebih memilih mati daripada membuka mulut dan mengkhianati teman sendiri. Jika mereka mati demi menjaga keselamatan temannya, keluarga mereka akan dijaga dan diayomi. Sebaliknya, siapa pun yang melanggar sumpah Omerta, dan diketahui berkhianat, maka seluruh keluarganya akan dihabisi. Bahkan bagi para mafia yang jelas bajingan, pengkhianatan adalah kejahatan paling menjijikkan.”
Kembali dia mengisap pipa, diam sejenak, lalu berkata perlahan, “Jauh lebih baik kau menikam seseorang dari depan, Nak, daripada menusuk dari belakang.”
....
....
Saya tidak pernah melupakan kalimat terakhir itu.