***
Ehmm... mengulang pertanyaan tadi. Artinya, Anda sebenarnya memaklumi aktivitas copy paste di internet, asal menyebutkan sumber?
Istilah copas atau copy paste di internet sebenarnya masih ambigu, Mbak Nana. Sebagai contoh, Anda menulis suatu artikel di blog, dan merasa perlu menyisipkan suatu penjelasan yang Anda ambil dari Wikipedia, misalnya. Anda pun meng-copy satu alinea dari Wikipedia, untuk Anda masukkan ke artikel, dan Anda menyebutkan bahwa alinea tersebut berasal dari Wikipedia. Yang Anda lakukan itu kan juga copas. Tapi apakah itu salah? Tentu saja tidak, karena Anda jujur menyebutkan bahwa bagian yang Anda copas berasal dari Wikipedia.
Contoh lain. Situs KapanLagi.Com, misalnya, memiliki ribuan posting yang berisi lirik-lirik lagu Indonesia maupun luar negeri. Lirik-lirik lagu di situs KapanLagi juga bisa digolongkan copas, karena hanya memindahkan lirik yang semula ada di sampul kaset atau CD ke situs mereka.
Tapi KapanLagi tidak mengklaim bahwa lirik-lirik lagu itu milik mereka. Dengan jelas dan gamblang, KapanLagi menyebutkan bahwa lirik lagu itu milik penyanyi A atau penyanyi B. Itu jenis copas yang bisa ditoleransi. Lebih dari itu, si penyanyi atau pemilik lagu tersebut juga tidak mempermasalahkan lirik lagunya dipublikasikan di tempat lain, bahkan hal semacam itu bisa dianggap sebagai promosi gratis.
Yang tidak bisa ditoleransi adalah copas yang dilakukan tanpa menyebutkan sumber, bahkan diklaim atau diakui sebagai milik si peng-copas. Itu yang menjadikan iklim di internet tidak sehat. Sebagian orang mati-matian mikir demi bisa menulis suatu artikel, lalu orang lain meng-copas artikel itu dan diakui sebagai miliknya. Itu kan jahat. Copas semacam itulah yang saya benci, karena merugikan orang lain.
Berdasarkan penjelasan Anda, artinya Anda tidak mempermasalahkan jika ada orang yang ingin berbagi tulisan Anda di blog?
Tidak masalah, selama hal itu dilakukan dengan cara benar, yakni jujur menyebutkan sumbernya. Membagikan suatu tulisan, atau membagikan link suatu tulisan yang kita anggap bermanfaat, itu kan termasuk berbagi pengetahuan atau menyebarkan wawasan bagi orang lain. No problem. Itu bahkan hal yang positif. Asal dilakukan dengan cara benar dan saling menghormati, pihak yang artikelnya dibagikan pun pasti tidak masalah. Mereka justru akan merasa dihargai, karena tulisannya diapresiasi orang lain.
Sebagai blogger, saya memahami hal-hal semacam itu. Bisa jadi, ada pembaca blog yang mungkin menyukai, atau terinspirasi oleh suatu tulisan saya, kemudian membagikannya ke orang lain melalui blognya, atau melalui sosial media miliknya—tidak masalah. Itu hal biasa di internet, yang dilakukan banyak orang. Asal, ya itu tadi... lakukan dengan cara terhormat.
Baik. Sekarang kita beralih ke topik lain. Di dunia maya, Anda terkenal sebagai orang yang tidak ingin terkenal. Bisakah Anda menjelaskan latar belakang itu?
Sebenarnya saya ingin tertawa setiap mendengar pertanyaan itu. Kita—atau bahkan masyarakat kita—tampaknya lebih bisa menoleransi apa pun yang mayoritas, tapi sering kesulitan memahami yang minoritas. Ada banyak orang yang ingin terkenal, dan kita bisa memaklumi mereka. Tapi ketika ada orang yang tidak ingin terkenal, kita justru ribut.
Padahal, ini kan hanya soal pilihan. Tak jauh beda dengan menikah atau tidak, punya anak atau tidak, itu hak dan pilihan masing-masing orang. Saya tidak mempermasalahkan siapa pun yang ingin terkenal, sebagaimana saya juga tidak ingin dipermasalahkan hanya karena tidak ingin terkenal.
Jadi?
Jadi, bagi saya, ini hanya soal pilihan. Kenapa kita tampaknya kesulitan memahami pilihan orang lain, ketika pilihan yang dipilih tergolong minoritas, atau berbeda dengan pilihan kita?
Sebagai pribadi, saya menyadari kurang bisa bersosialisasi dengan orang lain, kurang bisa beramah-tamah dengan orang lain. Kondisi itu menjadikan saya lebih nyaman jika tidak dikenal.
Tapi kecenderungan Anda yang semacam itu bisa menjadikan orang lain—khususnya di dunia maya—jadi segan jika ingin mendekati Anda?
Well, siapalah saya ini, Mbak Nana? Saya bukan siapa-siapa.
Anda pasti sedang merendah.
Tidak. Anda bisa lihat bio di akun Twitter saya, di situ tertulis bahwa saya bukan siapa-siapa.
Kebetulan Anda menyebut soal Twitter. Ada desas-desus yang menyebutkan bahwa Anda tidak suka jika tweet-tweet Anda di-retweet orang lain. Ada pula desas-desus yang mengatakan Anda tidak suka di-follow banyak orang, karena Anda tidak ingin terkenal.
Hahaha... kadang saya heran bagaimana desas-desus semacam itu bisa muncul dan beredar di belakang saya. Mungkin itu gara-gara catatan iseng yang pernah saya tulis di sini. Well, mari kita urai satu per satu dengan akal sehat.
Di Twitter disediakan fitur mention, juga retweet. Artinya, pengguna Twitter tentu berhak menggunakan fitur itu di sana. Kalau kita menyukai tweet seseorang, tersedia fitur retweet yang bisa digunakan. Kalau kita ingin berinteraksi dengan seseorang, kita bisa menggunakan fitur mention yang disediakan. Sebagai pengguna Twitter, saya tentu memahami hal-hal itu. Di Twitter juga ada tombol follow yang bisa digunakan untuk mem-follow siapa pun. Jadi, kalau ada orang mengirim mention atau me-retweet tweet saya, atau bahkan mem-follow akun saya, sama sekali bukan masalah.
Lagi-lagi, yang menjadi masalah adalah copas. Seseorang meng-copas tweet seseorang, padahal di Twitter sudah disediakan fitur retweet. Kalau memang menyukai tweet seseorang, kenapa harus meng-copas, wong sudah disediakan fitur retweet? Itu yang saya persoalkan. Jadi, kalau orang lain mau me-retweet tweet saya, silakan. Atau mau me-mention atau mem-follow, juga silakan. Asal kita bisa saling menghormati, dan berinteraksi secara wajar, saya pikir tidak masalah.
Dari blog dan Twitter, sekarang kita beralih ke diri Anda. Bagaimana orang seperti Anda—yang terkesan serius—menggunakan nama pena Hoeda Manis, yang sekilas terdengar main-main?
Hahahaha....
Anda tidak bersedia menjelaskan?
Well, apa yang saya harus jelaskan?
Banyak spekulasi yang muncul, bahwa nama Hoeda Manis sebenarnya anagram atau semacam itu. Anda mau memberikan penjelasan?
Saya tahu ada cukup banyak orang kurang kerjaan yang mencoba mengutak-atik huruf-huruf dalam nama saya, karena mereka pikir saya menyembunyikan sesuatu pada nama itu. Saya juga berkali-kali menerima e-mail yang menanyakan atau bahkan menegaskan hal itu. Mereka tanya, apakah nama saya sebenarnya anagram? Apa yang saya sembunyikan di dalam nama itu?
Biasanya, kepada mereka, saya tidak mengatakan ya atau tidak. Saya hanya menjawab, bahwa mereka hampir mendekati kebenaran. Oh, saya tentu menyadari bahwa orang-orang yang “terusik” dengan nama saya pasti bukan orang kebanyakan, karena orang kebanyakan akan menganggap nama saya sebatas main-main.
Artinya, Anda memang menyembunyikan sesuatu pada nama yang Anda gunakan?
Maafkan saya, Mbak Nana, saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Yang jelas, kapan pun, para pencari akan menemukan yang mereka cari. Ketika itu terjadi, mereka akan menemukan, dan tahu, dan menyadari, apa sebenarnya yang ada pada nama itu.
Baiklah, sekarang tinggalkan soal nama. Dalam kehidupan pribadi Anda, bagaimana sih seorang Hoeda Manis menjalani kehidupan sehari-hari?
Well... tidak jauh beda dengan kebanyakan orang lain. Bikin kopi saat bangun tidur, merokok, menjalankan aktivitas dan kesibukan sehari-hari, nyuci piring dan gelas di dapur, keluar rumah kalau ada keperluan, dan terkadang misuh-misuh kalau lagi jengkel. Tidak beda, lah, dengan kebanyakan orang.
Meski begitu, Anda dikenal memiliki prinsip-prinsip yang berbeda dengan kebanyakan orang. Misalnya, Anda tampaknya tidak tertarik pada pernikahan, sementara kebanyakan orang lain justru mengimpikan pernikahan.
Itu kan soal pilihan, Mbak Nana. Dalam hidup, saya tentu menjalani kehidupan sebagaimana umumnya manusia lain—makan, tidur, bekerja, dan semacamnya. Tetapi, di luar itu, masing-masing orang kan punya pilihan dalam menghadapi kehidupan, dan pilihan-pilihan yang diambil sering kali sangat berkaitan dengan cara berpikirnya, dan cara berpikir orang per orang sangat dipengaruhi oleh pengalaman serta latar belakangnya.
Meski sama-sama berwujud manusia, kita kan memiliki latar belakang, pengalaman, serta berbagai hal yang berbeda. Semua perbedaan itu membentuk cara berpikir kita, dan cara berpikir kita menentukan pilihan-pilihan kita. Karena itulah, sampai jutaan kali saya mengatakan bahwa hidup adalah soal pilihan. Kita mengambil dan menentukan pilihan dalam hidup berdasarkan yang kita pahami, yang kita jalani, juga dipengaruhi berbagai pengalaman serta latar belakang yang kemudian membentuk kita hingga seperti sekarang.
Bahwa kita sama-sama manusia—ya. Tetapi kita, masing-masing kita, memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbeda, dan dari perbedaan itulah kita kadang memiliki perbedaan pilihan dalam hidup. Saya pikir tidak masalah, selama kita bisa saling menghormati pilihan orang lain. Yang jadi masalah, ketika orang merasa lebih baik atau bahkan lebih benar dari orang lain yang berbeda pilihan.
Termasuk soal pernikahan?
Termasuk soal pernikahan. Sebagian orang memilih untuk menikah, karena memang itu pilihan, dan sebagian lain memilih tidak menikah karena juga pilihan. No problem. Apa yang salah?
Bahkan, yang sama-sama menikah pun punya pilihan berbeda. Sebagian pasangan memilih punya anak, sementara sebagian lain memilih tidak punya anak. Sekali lagi, no problem. Jika ini mau diteruskan, bahkan yang sama-sama punya anak pun bisa berbeda pilihan. Sebagian ingin punya banyak anak, sebagian lain hanya ingin punya satu atau dua anak. Itu kan juga perbedaan pilihan, dan... sekali lagi, no problem. Kita toh tidak bisa menyalahkan pilihan atau memaksakan suatu pilihan kepada orang lain.
Tapi tampaknya masyarakat kita belum mampu menerima perbedaan-perbedaan pilihan semacam itu?
Well, sepertinya itu tugas Anda untuk mengatakan kepada mereka.
Maksud saya begini. Anda memiliki prinsip yang jelas-jelas berbeda dengan prinsip kebanyakan masyarakat. Seperti soal pernikahan, misalnya. Anda jelas minoritas di antara mayoritas orang lain yang menganggap pernikahan penting dilakukan. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana Anda mampu menghadapi hal semacam itu?
Seperti kaum minoritas lain, saya pun membutuhkan resistensi untuk tetap bertahan dalam pilihan yang saya ambil. Terus terang saja, memilih untuk menikah—khususnya bagi saya—jauh lebih mudah dibandingkan memilih untuk tidak menikah. Tetapi saya tetap bertahan untuk tidak menikah, karena beberapa alasan. Alasan itulah yang mampu membuat saya tetap bergeming meski menyadari saya berbeda dengan mayoritas orang, dengan masyarakat.
Nah, saya sering berpikir, di sekeliling kita sebenarnya banyak orang yang tak jauh beda dengan saya—mereka memiliki pilihan-pilihan tertentu yang berbeda dengan pilihan masyarakat, namun hanya memendam diam-diam. Latar belakang pemikiran semacam itulah yang menjadikan saya terang-terangan menyatakan bahwa saya tidak tertarik menikah. Tujuannya untuk menunjukkan pada orang-orang lain bahwa mereka tidak perlu khawatir jika berbeda pilihan dengan masyarakat, sekaligus memberitahu masyarakat agar mereka mulai bisa menyadari dan memahami pilihan orang lain yang mungkin minoritas.
Anda tadi menyebut, bahwa karena suatu alasan, Anda memilih untuk tidak menikah. Boleh tahu alasan apa yang mendasari?
Dalam hidup, kita tentu memiliki prioritas-prioritas. Selain pengalaman dan latar belakang, prioritas itulah yang menuntun pilihan yang kita ambil. Orang yang memilih menikah, misalnya, mungkin karena pernikahan masuk dalam prioritas hidupnya. Sementara yang memilih tidak menikah—atau tidak buru-buru menikah—karena memiliki prioritas lain yang dianggap lebih penting.
Begitu pula saya. Dalam hidup, saya punya beberapa prioritas yang saya anggap lebih penting dari pernikahan. Jika saya menikah, maka saya akan memiliki tanggungan, dan itu jelas akan menghambat langkah saya menuju prioritas yang saya inginkan. Selama saya sendirian, saya memiliki waktu, pikiran, energi, dan kebebasan sepenuhnya, untuk mengejar yang ingin saya capai. Hal semacam itu jelas tidak akan saya miliki jika saya menikah, karena saya harus berbagi dengan pasangan—dari berbagi tempat tidur sampai berbagi waktu dan kebebasan.
Jadi, itulah alasan yang mendasari pilihan saya kenapa sampai sekarang tetap tidak tertarik pada pernikahan. Saya masih menginginkan kebebasan dalam menggunakan seluruh waktu, energi, dan pikiran, untuk mengejar sesuatu yang saya anggap penting. Dan saya tidak ingin diganggu apa pun atau siapa pun, termasuk oleh pasangan.
Meski begitu, Anda sering menyebut-nyebut “Mbakyu”....
Ahahahaha... itu sebenarnya refleksi hati saya yang mungkin gersang, Mbak Nana. Sebagai lelaki normal, saya tentu mendambakan kasih lawan jenis. Tapi kebutuhan itu harus berbenturan dengan pilihan hidup saya yang belum memungkinkan. Karena itu, “Mbakyu” jadi semacam katarsis untuk menyalurkannya.
Oh, ya, Anda sering menyatakan terang-terangan, bahwa Anda kesulitan saat bersosialisasi dengan orang lain. Tapi dari tadi kita mengobrol dengan lancar dan tidak ada masalah. Anda bisa asyik menjelaskan apa pun, dan tampaknya normal-normal saja.
Benar, saya memang kurang mampu bersosialisasi dengan orang lain. Yang saya maksud “bersosialisasi” adalah berbasa-basi dengan orang yang belum terlalu kenal, atau menyapa orang lain terlebih dulu, atau semacamnya.
Di dunia nyata atau dunia maya, misalnya di Twitter, saya sering merasakan hal itu. Saat ingin menyapa orang—khususnya yang belum terlalu kenal—saya sering bingung. Karenanya, saya sering kali baru menyapa orang lain saat ada suatu hal tertentu yang memungkinkan saya mengatakan sesuatu kepadanya. Jika tidak ada alasan atau latar belakang apa pun, saya sering kesulitan, dan tidak tahu apa yang harus saya katakan.
Nah, dari tadi kita bisa mengobrol lancar, bahkan asyik—kenapa? Karena Anda bertanya, dan saya menjawab. Sesederhana itu. Dan Anda juga bertanya bukan untuk basa-basi, melainkan murni ingin bertanya. Lebih dari itu, Anda fokus kepada saya, dan bisa menjaga percakapan ini terus mengalir, sehingga tidak membosankan. Maka saya pun menjawab dengan baik, sebagaimana yang Anda inginkan. Artinya, jika saya disapa atau ditanya, saya bisa menghadapi sapaan atau pertanyaan itu dengan baik. Tetapi, saya sering kebingungan jika sayalah yang diminta untuk menyapa atau bertanya lebih dulu.
Jadi, kepada siapa pun yang ingin berkomunikasi dengan saya, sapalah saya. Sesederhana itu. Jika kalian menunggu saya menyapa terlebih dulu, kalian akan menunggu lama, karena saya sering kebingungan saat akan menyapa orang lain.
Ooh, jadi begitu masalahnya. Mas Hoeda, tak terasa kita sudah mengobrol cukup banyak. Dari blog, tulisan-tulisan Anda, juga Twitter, sampai kehidupan Anda sebagai pribadi. Semoga obrolan ini bisa memberikan penjelasan bagi orang-orang yang mungkin ingin tahu.
Sebenarnya, masih banyak yang bisa kita obrolkan, tapi waktu kita tampaknya sudah habis. Sekarang, pertanyaan terakhir. Dalam perspektif Anda, apakah saya termasuk Mbakyu?
Ahahaha... tentu saja Anda seorang Mbakyu!
Istilah copas atau copy paste di internet sebenarnya masih ambigu, Mbak Nana. Sebagai contoh, Anda menulis suatu artikel di blog, dan merasa perlu menyisipkan suatu penjelasan yang Anda ambil dari Wikipedia, misalnya. Anda pun meng-copy satu alinea dari Wikipedia, untuk Anda masukkan ke artikel, dan Anda menyebutkan bahwa alinea tersebut berasal dari Wikipedia. Yang Anda lakukan itu kan juga copas. Tapi apakah itu salah? Tentu saja tidak, karena Anda jujur menyebutkan bahwa bagian yang Anda copas berasal dari Wikipedia.
Contoh lain. Situs KapanLagi.Com, misalnya, memiliki ribuan posting yang berisi lirik-lirik lagu Indonesia maupun luar negeri. Lirik-lirik lagu di situs KapanLagi juga bisa digolongkan copas, karena hanya memindahkan lirik yang semula ada di sampul kaset atau CD ke situs mereka.
Tapi KapanLagi tidak mengklaim bahwa lirik-lirik lagu itu milik mereka. Dengan jelas dan gamblang, KapanLagi menyebutkan bahwa lirik lagu itu milik penyanyi A atau penyanyi B. Itu jenis copas yang bisa ditoleransi. Lebih dari itu, si penyanyi atau pemilik lagu tersebut juga tidak mempermasalahkan lirik lagunya dipublikasikan di tempat lain, bahkan hal semacam itu bisa dianggap sebagai promosi gratis.
Yang tidak bisa ditoleransi adalah copas yang dilakukan tanpa menyebutkan sumber, bahkan diklaim atau diakui sebagai milik si peng-copas. Itu yang menjadikan iklim di internet tidak sehat. Sebagian orang mati-matian mikir demi bisa menulis suatu artikel, lalu orang lain meng-copas artikel itu dan diakui sebagai miliknya. Itu kan jahat. Copas semacam itulah yang saya benci, karena merugikan orang lain.
Berdasarkan penjelasan Anda, artinya Anda tidak mempermasalahkan jika ada orang yang ingin berbagi tulisan Anda di blog?
Tidak masalah, selama hal itu dilakukan dengan cara benar, yakni jujur menyebutkan sumbernya. Membagikan suatu tulisan, atau membagikan link suatu tulisan yang kita anggap bermanfaat, itu kan termasuk berbagi pengetahuan atau menyebarkan wawasan bagi orang lain. No problem. Itu bahkan hal yang positif. Asal dilakukan dengan cara benar dan saling menghormati, pihak yang artikelnya dibagikan pun pasti tidak masalah. Mereka justru akan merasa dihargai, karena tulisannya diapresiasi orang lain.
Sebagai blogger, saya memahami hal-hal semacam itu. Bisa jadi, ada pembaca blog yang mungkin menyukai, atau terinspirasi oleh suatu tulisan saya, kemudian membagikannya ke orang lain melalui blognya, atau melalui sosial media miliknya—tidak masalah. Itu hal biasa di internet, yang dilakukan banyak orang. Asal, ya itu tadi... lakukan dengan cara terhormat.
Baik. Sekarang kita beralih ke topik lain. Di dunia maya, Anda terkenal sebagai orang yang tidak ingin terkenal. Bisakah Anda menjelaskan latar belakang itu?
Sebenarnya saya ingin tertawa setiap mendengar pertanyaan itu. Kita—atau bahkan masyarakat kita—tampaknya lebih bisa menoleransi apa pun yang mayoritas, tapi sering kesulitan memahami yang minoritas. Ada banyak orang yang ingin terkenal, dan kita bisa memaklumi mereka. Tapi ketika ada orang yang tidak ingin terkenal, kita justru ribut.
Padahal, ini kan hanya soal pilihan. Tak jauh beda dengan menikah atau tidak, punya anak atau tidak, itu hak dan pilihan masing-masing orang. Saya tidak mempermasalahkan siapa pun yang ingin terkenal, sebagaimana saya juga tidak ingin dipermasalahkan hanya karena tidak ingin terkenal.
Jadi?
Jadi, bagi saya, ini hanya soal pilihan. Kenapa kita tampaknya kesulitan memahami pilihan orang lain, ketika pilihan yang dipilih tergolong minoritas, atau berbeda dengan pilihan kita?
Sebagai pribadi, saya menyadari kurang bisa bersosialisasi dengan orang lain, kurang bisa beramah-tamah dengan orang lain. Kondisi itu menjadikan saya lebih nyaman jika tidak dikenal.
Tapi kecenderungan Anda yang semacam itu bisa menjadikan orang lain—khususnya di dunia maya—jadi segan jika ingin mendekati Anda?
Well, siapalah saya ini, Mbak Nana? Saya bukan siapa-siapa.
Anda pasti sedang merendah.
Tidak. Anda bisa lihat bio di akun Twitter saya, di situ tertulis bahwa saya bukan siapa-siapa.
Kebetulan Anda menyebut soal Twitter. Ada desas-desus yang menyebutkan bahwa Anda tidak suka jika tweet-tweet Anda di-retweet orang lain. Ada pula desas-desus yang mengatakan Anda tidak suka di-follow banyak orang, karena Anda tidak ingin terkenal.
Hahaha... kadang saya heran bagaimana desas-desus semacam itu bisa muncul dan beredar di belakang saya. Mungkin itu gara-gara catatan iseng yang pernah saya tulis di sini. Well, mari kita urai satu per satu dengan akal sehat.
Di Twitter disediakan fitur mention, juga retweet. Artinya, pengguna Twitter tentu berhak menggunakan fitur itu di sana. Kalau kita menyukai tweet seseorang, tersedia fitur retweet yang bisa digunakan. Kalau kita ingin berinteraksi dengan seseorang, kita bisa menggunakan fitur mention yang disediakan. Sebagai pengguna Twitter, saya tentu memahami hal-hal itu. Di Twitter juga ada tombol follow yang bisa digunakan untuk mem-follow siapa pun. Jadi, kalau ada orang mengirim mention atau me-retweet tweet saya, atau bahkan mem-follow akun saya, sama sekali bukan masalah.
Lagi-lagi, yang menjadi masalah adalah copas. Seseorang meng-copas tweet seseorang, padahal di Twitter sudah disediakan fitur retweet. Kalau memang menyukai tweet seseorang, kenapa harus meng-copas, wong sudah disediakan fitur retweet? Itu yang saya persoalkan. Jadi, kalau orang lain mau me-retweet tweet saya, silakan. Atau mau me-mention atau mem-follow, juga silakan. Asal kita bisa saling menghormati, dan berinteraksi secara wajar, saya pikir tidak masalah.
Dari blog dan Twitter, sekarang kita beralih ke diri Anda. Bagaimana orang seperti Anda—yang terkesan serius—menggunakan nama pena Hoeda Manis, yang sekilas terdengar main-main?
Hahahaha....
Anda tidak bersedia menjelaskan?
Well, apa yang saya harus jelaskan?
Banyak spekulasi yang muncul, bahwa nama Hoeda Manis sebenarnya anagram atau semacam itu. Anda mau memberikan penjelasan?
Saya tahu ada cukup banyak orang kurang kerjaan yang mencoba mengutak-atik huruf-huruf dalam nama saya, karena mereka pikir saya menyembunyikan sesuatu pada nama itu. Saya juga berkali-kali menerima e-mail yang menanyakan atau bahkan menegaskan hal itu. Mereka tanya, apakah nama saya sebenarnya anagram? Apa yang saya sembunyikan di dalam nama itu?
Biasanya, kepada mereka, saya tidak mengatakan ya atau tidak. Saya hanya menjawab, bahwa mereka hampir mendekati kebenaran. Oh, saya tentu menyadari bahwa orang-orang yang “terusik” dengan nama saya pasti bukan orang kebanyakan, karena orang kebanyakan akan menganggap nama saya sebatas main-main.
Artinya, Anda memang menyembunyikan sesuatu pada nama yang Anda gunakan?
Maafkan saya, Mbak Nana, saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Yang jelas, kapan pun, para pencari akan menemukan yang mereka cari. Ketika itu terjadi, mereka akan menemukan, dan tahu, dan menyadari, apa sebenarnya yang ada pada nama itu.
Baiklah, sekarang tinggalkan soal nama. Dalam kehidupan pribadi Anda, bagaimana sih seorang Hoeda Manis menjalani kehidupan sehari-hari?
Well... tidak jauh beda dengan kebanyakan orang lain. Bikin kopi saat bangun tidur, merokok, menjalankan aktivitas dan kesibukan sehari-hari, nyuci piring dan gelas di dapur, keluar rumah kalau ada keperluan, dan terkadang misuh-misuh kalau lagi jengkel. Tidak beda, lah, dengan kebanyakan orang.
Meski begitu, Anda dikenal memiliki prinsip-prinsip yang berbeda dengan kebanyakan orang. Misalnya, Anda tampaknya tidak tertarik pada pernikahan, sementara kebanyakan orang lain justru mengimpikan pernikahan.
Itu kan soal pilihan, Mbak Nana. Dalam hidup, saya tentu menjalani kehidupan sebagaimana umumnya manusia lain—makan, tidur, bekerja, dan semacamnya. Tetapi, di luar itu, masing-masing orang kan punya pilihan dalam menghadapi kehidupan, dan pilihan-pilihan yang diambil sering kali sangat berkaitan dengan cara berpikirnya, dan cara berpikir orang per orang sangat dipengaruhi oleh pengalaman serta latar belakangnya.
Meski sama-sama berwujud manusia, kita kan memiliki latar belakang, pengalaman, serta berbagai hal yang berbeda. Semua perbedaan itu membentuk cara berpikir kita, dan cara berpikir kita menentukan pilihan-pilihan kita. Karena itulah, sampai jutaan kali saya mengatakan bahwa hidup adalah soal pilihan. Kita mengambil dan menentukan pilihan dalam hidup berdasarkan yang kita pahami, yang kita jalani, juga dipengaruhi berbagai pengalaman serta latar belakang yang kemudian membentuk kita hingga seperti sekarang.
Bahwa kita sama-sama manusia—ya. Tetapi kita, masing-masing kita, memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbeda, dan dari perbedaan itulah kita kadang memiliki perbedaan pilihan dalam hidup. Saya pikir tidak masalah, selama kita bisa saling menghormati pilihan orang lain. Yang jadi masalah, ketika orang merasa lebih baik atau bahkan lebih benar dari orang lain yang berbeda pilihan.
Termasuk soal pernikahan?
Termasuk soal pernikahan. Sebagian orang memilih untuk menikah, karena memang itu pilihan, dan sebagian lain memilih tidak menikah karena juga pilihan. No problem. Apa yang salah?
Bahkan, yang sama-sama menikah pun punya pilihan berbeda. Sebagian pasangan memilih punya anak, sementara sebagian lain memilih tidak punya anak. Sekali lagi, no problem. Jika ini mau diteruskan, bahkan yang sama-sama punya anak pun bisa berbeda pilihan. Sebagian ingin punya banyak anak, sebagian lain hanya ingin punya satu atau dua anak. Itu kan juga perbedaan pilihan, dan... sekali lagi, no problem. Kita toh tidak bisa menyalahkan pilihan atau memaksakan suatu pilihan kepada orang lain.
Tapi tampaknya masyarakat kita belum mampu menerima perbedaan-perbedaan pilihan semacam itu?
Well, sepertinya itu tugas Anda untuk mengatakan kepada mereka.
Maksud saya begini. Anda memiliki prinsip yang jelas-jelas berbeda dengan prinsip kebanyakan masyarakat. Seperti soal pernikahan, misalnya. Anda jelas minoritas di antara mayoritas orang lain yang menganggap pernikahan penting dilakukan. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana Anda mampu menghadapi hal semacam itu?
Seperti kaum minoritas lain, saya pun membutuhkan resistensi untuk tetap bertahan dalam pilihan yang saya ambil. Terus terang saja, memilih untuk menikah—khususnya bagi saya—jauh lebih mudah dibandingkan memilih untuk tidak menikah. Tetapi saya tetap bertahan untuk tidak menikah, karena beberapa alasan. Alasan itulah yang mampu membuat saya tetap bergeming meski menyadari saya berbeda dengan mayoritas orang, dengan masyarakat.
Nah, saya sering berpikir, di sekeliling kita sebenarnya banyak orang yang tak jauh beda dengan saya—mereka memiliki pilihan-pilihan tertentu yang berbeda dengan pilihan masyarakat, namun hanya memendam diam-diam. Latar belakang pemikiran semacam itulah yang menjadikan saya terang-terangan menyatakan bahwa saya tidak tertarik menikah. Tujuannya untuk menunjukkan pada orang-orang lain bahwa mereka tidak perlu khawatir jika berbeda pilihan dengan masyarakat, sekaligus memberitahu masyarakat agar mereka mulai bisa menyadari dan memahami pilihan orang lain yang mungkin minoritas.
Anda tadi menyebut, bahwa karena suatu alasan, Anda memilih untuk tidak menikah. Boleh tahu alasan apa yang mendasari?
Dalam hidup, kita tentu memiliki prioritas-prioritas. Selain pengalaman dan latar belakang, prioritas itulah yang menuntun pilihan yang kita ambil. Orang yang memilih menikah, misalnya, mungkin karena pernikahan masuk dalam prioritas hidupnya. Sementara yang memilih tidak menikah—atau tidak buru-buru menikah—karena memiliki prioritas lain yang dianggap lebih penting.
Begitu pula saya. Dalam hidup, saya punya beberapa prioritas yang saya anggap lebih penting dari pernikahan. Jika saya menikah, maka saya akan memiliki tanggungan, dan itu jelas akan menghambat langkah saya menuju prioritas yang saya inginkan. Selama saya sendirian, saya memiliki waktu, pikiran, energi, dan kebebasan sepenuhnya, untuk mengejar yang ingin saya capai. Hal semacam itu jelas tidak akan saya miliki jika saya menikah, karena saya harus berbagi dengan pasangan—dari berbagi tempat tidur sampai berbagi waktu dan kebebasan.
Jadi, itulah alasan yang mendasari pilihan saya kenapa sampai sekarang tetap tidak tertarik pada pernikahan. Saya masih menginginkan kebebasan dalam menggunakan seluruh waktu, energi, dan pikiran, untuk mengejar sesuatu yang saya anggap penting. Dan saya tidak ingin diganggu apa pun atau siapa pun, termasuk oleh pasangan.
Meski begitu, Anda sering menyebut-nyebut “Mbakyu”....
Ahahahaha... itu sebenarnya refleksi hati saya yang mungkin gersang, Mbak Nana. Sebagai lelaki normal, saya tentu mendambakan kasih lawan jenis. Tapi kebutuhan itu harus berbenturan dengan pilihan hidup saya yang belum memungkinkan. Karena itu, “Mbakyu” jadi semacam katarsis untuk menyalurkannya.
Oh, ya, Anda sering menyatakan terang-terangan, bahwa Anda kesulitan saat bersosialisasi dengan orang lain. Tapi dari tadi kita mengobrol dengan lancar dan tidak ada masalah. Anda bisa asyik menjelaskan apa pun, dan tampaknya normal-normal saja.
Benar, saya memang kurang mampu bersosialisasi dengan orang lain. Yang saya maksud “bersosialisasi” adalah berbasa-basi dengan orang yang belum terlalu kenal, atau menyapa orang lain terlebih dulu, atau semacamnya.
Di dunia nyata atau dunia maya, misalnya di Twitter, saya sering merasakan hal itu. Saat ingin menyapa orang—khususnya yang belum terlalu kenal—saya sering bingung. Karenanya, saya sering kali baru menyapa orang lain saat ada suatu hal tertentu yang memungkinkan saya mengatakan sesuatu kepadanya. Jika tidak ada alasan atau latar belakang apa pun, saya sering kesulitan, dan tidak tahu apa yang harus saya katakan.
Nah, dari tadi kita bisa mengobrol lancar, bahkan asyik—kenapa? Karena Anda bertanya, dan saya menjawab. Sesederhana itu. Dan Anda juga bertanya bukan untuk basa-basi, melainkan murni ingin bertanya. Lebih dari itu, Anda fokus kepada saya, dan bisa menjaga percakapan ini terus mengalir, sehingga tidak membosankan. Maka saya pun menjawab dengan baik, sebagaimana yang Anda inginkan. Artinya, jika saya disapa atau ditanya, saya bisa menghadapi sapaan atau pertanyaan itu dengan baik. Tetapi, saya sering kebingungan jika sayalah yang diminta untuk menyapa atau bertanya lebih dulu.
Jadi, kepada siapa pun yang ingin berkomunikasi dengan saya, sapalah saya. Sesederhana itu. Jika kalian menunggu saya menyapa terlebih dulu, kalian akan menunggu lama, karena saya sering kebingungan saat akan menyapa orang lain.
Ooh, jadi begitu masalahnya. Mas Hoeda, tak terasa kita sudah mengobrol cukup banyak. Dari blog, tulisan-tulisan Anda, juga Twitter, sampai kehidupan Anda sebagai pribadi. Semoga obrolan ini bisa memberikan penjelasan bagi orang-orang yang mungkin ingin tahu.
Sebenarnya, masih banyak yang bisa kita obrolkan, tapi waktu kita tampaknya sudah habis. Sekarang, pertanyaan terakhir. Dalam perspektif Anda, apakah saya termasuk Mbakyu?
Ahahaha... tentu saja Anda seorang Mbakyu!