Minggu, 01 Mei 2011

My Heart’s Diary (4)

Inilah tanganku, rengkuhlah dengan halusnya jemarimu.
Inilah bibirku, ciumlah dengan manisnya kecupanmu.
Inilah mataku, tataplah dengan keteduhan pandanganmu.
Inilah tubuhku, peluklah dengan kelembutan dekapanmu.
Inilah diriku, cintailah jika memang itu hasratmu...

namun kau tak akan pernah memiliki aku,
karena sayap-sayap kematian telah lebih dulu
merengkuhkan jemarinya dalam kehidupanku.

Untuk Jiwa Terkasih


“Kalau kalian ingin melihat seperti apa aslinya seorang laki-laki, lihatlah selagi dia tidur,” ujar si pembicara sambil tersenyum pada peserta perempuan dalam acara seminar itu. “Ekspresi seorang laki-laki ketika sedang tidur akan memperlihatkan siapakah dirinya sesungguhnya…”

Sebenarnya, acara seminar itu tidak secara spesifik membahas psikologi pria, hanya saja topik itu kemudian masuk seiring berjalannya tema yang sedang dibicarakan. Seperti biasa kalau orang asyik mengobrol, suatu topik biasanya akan terkait dengan topik lainnya, sambung-menyambung dengan mengasyikkan—dan begitulah yang terjadi di sana.

Acara seminar itu diadakan di sebuah hotel, dua hari satu malam. Dengan dana sponsor yang melimpah, panitia mampu membooking separuh isi hotel itu untuk kelancaran acara, dan semua peserta pun mendapatkan kamar untuk menginap satu malam. Itu salah satu seminar prestisius yang pernah kuikuti, dan aku menghadirinya bersama seorang perempuan yang waktu itu begitu dekat di hatiku.

Malam itu, aku duduk di sampingnya di salah satu kursi ruang seminar, ketika si pembicara menyatakan kata-kata itu. Dan dia berbisik kepadaku, “Kau setuju dengan pernyataan itu?”

Aku tersenyum, dan balas berbisik, “Tentu saja.”

Pukul sebelas malam, ketika sesi acara berakhir, kami melangkah meninggalkan ruang seminar, dan aku mengantarkannya ke kamarnya. Kami sama-sama letih, dan aku pun ingin segera beristirahat. Kami bercakap-cakap sambil berjalan.

“Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu sekarang,” kataku sambil tersenyum. Waktu itu, kami memang senang bermain ‘tebak pikiran’—dan kami menikmati permainan itu. Rasanya senang sekali ketika kita dapat menebak isi pikiran seseorang dengan tepat, dan itulah yang malam itu kulakukan.

“Oh ya?” Dia tersenyum. “Coba katakan.”

“Kau ingin melihatku selagi tidur.”

Dia tertawa. Aku selalu senang setiap kali mendengarnya tertawa. Rasanya, ada jutaan putik yang mekar di hatiku setiap kali mendengar tawanya. Dia karunia terindah yang pernah kuterima dalam hidup, mimpi di masa kanak-kanakku yang kini terwujud. Kau tahu, setiap anak lelaki mengimpikan datangnya bidadari—dan begitu pula denganku.

Di masa kanak-kanakku yang suram, aku sering kali membayangkan diriku seorang pangeran yang sedang dikutuk dalam tubuh bocah kecil yang dekil. Dan aku membayangkan, suatu hari kelak akan ada sesosok bidadari yang turun dari langit untuk menjumpaiku, melepaskan aku dari kutukan, dan mengubahku menjadi seorang pangeran tampan.

Dan dia benar-benar datang. Bidadari itu, entah turun dari langit atau muncul dari perut bumi, dia benar-benar datang dalam hidupku. Aku menjumpainya pada suatu waktu, dan kami kemudian saling jatuh cinta. Dia perempuan tercantik yang pernah kutemukan di muka bumi, dan aku yakin dia keluar dari salah satu deret pelangi.

Seperti yang ada dalam bayanganku, dia benar-benar bidadari yang menyentuh hidupku, mengubahku dari katak menjadi pangeran. Bersamanya, aku merasa telah terbebas dari kutukan.

Langkah kami terhenti di depan pintu kamarnya. Kami berdiri berhadapan, dan aku meraih tangannya. Kuberikan duplikat kunci kamarku kepadanya.

“Besok pagi, bangunkan aku,” bisikku, “agar kau bisa melihatku selagi tidur.”

Dia tersenyum, lalu membuka pintu kamarnya. Aku menciumnya sekilas, kemudian melangkah pergi seiring pintu kamarnya yang bergerak menutup.

Keesokan paginya, aku terbangun di atas tempat tidurku. Dia tidak membangunkanku—aku bangun tidur karena suara alarm jam tangan yang ada di dekatku. Tetapi, saat membuka mata, aku melihat dia telah duduk di sofa di dekatku berbaring, cantik seperti biasanya, dan menatapku dengan senyumnya yang cemerlang.

“Hei,” aku menyapa, dan dia tersenyum. Pagi yang indah untukku.

“Aku sudah di sini setengah jam yang lalu,” katanya, “tapi aku tidak ingin membangunkanmu.”

Aku bangkit, dan duduk di atas tempat tidur, dan menikmati binar matanya pagi itu. “Jadi, kau sudah melihatku selagi tidur?”

Dia tersenyum.

“Hmm… jadi penasaran. Coba katakan.”

Dengan suara lirih, dia menjawab, “Kau seperti anak kecil yang rapuh.”

Itulah aku—tak ada definisi yang lebih tepat selain itu. Dan definisi itu seperti lipatan pada sebuah halaman buku tebal, sebuah lipatan pembatas yang meski telah terlewati namun halamannya masih saja terlipat. Suatu bagian dari perjalanan hidup yang panjang, yang meski telah terlalui namun masih saja tergurat bagaikan ukiran.

Tak ada yang bisa kukatakan kepadanya waktu itu, selain, “Beri aku pelukan.”

Dan dia memelukku. Dengan kasihnya. Dengan cintanya. Sang Putri memeluk si Katak yang belum mandi. Di dalam pelukannya waktu itu, aku berharap dia menjadi batu karangku selamanya.

….
….

Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain—dan hingga hari ini, aku masih sesosok anak kecil.

 
;