Rabu, 25 Mei 2011

Menyentuh Keabadian

Cinta yang tersembunyi, yang rahasia,
selalu lebih kuat kuasanya
dibanding cinta yang berteriak
di alam semesta. Di jalan cinta yang sunyi,
hati manusia
menyentuh arti kesejatian, inti keabadian.



Kau duduk di situ, dan mengenang kembali, tentang suatu waktu ketika mengenal sesosok lelaki yang istimewa dalam hidupmu—sesosok lelaki yang memenuhi khayalan-khayalan indahmu, sesosok lelaki yang memenuhi angan-angan dan mimpimu.

Mungkin kau bertemu dengannya saat masih SMA, atau saat kuliah di kampus yang sama. Kau mendapatkan lelaki itu hadir dalam hidupmu, menjadi orang yang dekat denganmu, dan kalian saling akrab, dekat, namun... tak pernah lebih dari itu. Kau menikmati saat-saat bersamanya, meresapi debar kebahagiaan yang kaurasakan saat di dekatnya, namun... tak pernah lebih dari itu. Kau tak pernah tahu bagaimana hati lelaki itu, sedekat apa pun kau dengannya, seakrab apa pun kau bersamanya.

Kau merasakan suatu perasaan lembut dalam hatimu kepada lelaki itu, namun sekali lagi, kau tak pernah tahu isi hati lelaki itu. Dan kau memendamnya dalam batin, bersama rahasia-rahasiamu yang lain.

Sebagai perempuan, kau tahu telah jatuh cinta kepada lelaki itu—suatu perasaan cinta yang lembut, yang hanya dapat dirasakan oleh hati perempuan. Namun selama lelaki yang kaucintai tak pernah menyatakan cintanya kepadamu, kau pun tahu sebaiknya memendam perasaan cinta itu di lubuk terdalam batinmu.

Kau menunggu—kau mencoba menunggu—namun kemudian waktu memisahkanmu dari lelaki itu—dan kau kehilangan—merasa sangat kehilangan—namun kau tahu bayangan lelaki itu akan menjadi bayang abadi dalam dinding-dinding kehidupanmu.

Dan waktu-waktu berlalu. Waktu-waktu yang mencoba membawamu kepada angan yang baru—kehidupan yang baru—namun bayangan lelaki itu tetap tak pernah mampu kauhapuskan, tak pernah mampu kaulupakan. Kau tahu masih mencintainya—namun kau tak pernah tahu bagaimana hatinya—dan kini kau berpisah dengannya.

Sampai kemudian kau menikah dengan seseorang yang dipilihkan untukmu, dan kau tak mampu menolaknya. Lebih dari itu, kau pun tak ingin lagi terbenam dalam harapan semu pada lelaki impianmu, karena dia tak pernah membukakan isi hatinya kepadamu.

Terkadang ada batas yang harus dipastikan antara kenyataan dan imajinasi—khayalan dan kenyataan—dan kau tahu kinilah saatnya harus mulai menciptakan batas yang nyata. Lelaki dari masa lalu itu hanyalah bagian dari khayalan—ilusi, imajinasi—sementara kehidupan sekarang adalah realitas yang nyata—suatu kenyataan yang harus kauhadapi.

Maka kau pun menikah dengan lelaki lain itu, dan kau hidup bersamanya, memiliki anak-anak, membangun keluarga... dan bayangan lelaki yang pernah menjadi impianmu itu pun perlahan-lahan mulai memudar dari dalam kenangan dan hatimu.

Sebagai perempuan, kau pun menyadari bahwa cinta di hatimu mudah ditumbuhkan oleh sikap yang halus, tutur kata lembut, dan itulah yang telah dilakukan oleh suamimu kepadamu. Kau mencintainya—mencintai suamimu—dan kau ingin menjadi pasangan terbaik bagi lelaki yang kini menjadi penopang hidupmu.

Namun, sebagai perempuan pula, kau pun tahu ada bagian hatimu yang lain—suatu bagian kecil di dalam hati seorang perempuan—yang tak pernah bisa mati karena detak-detak halus dari perasaan mencintai—kepada seorang lelaki—bertahun-tahun yang lalu, sebelum kau mengenal dan sebelum kau hidup bersama suamimu yang sekarang. Kau tak pernah dapat mengingkari kenyataan kecil dari sebuah cinta yang amat rahasia—sebuah cinta yang jauh tersembunyi di balik relung hatimu—kepada sebuah sosok dari masa lalu...

Tahun-tahun terus berlalu, dan kau telah menjalani hidup yang baru—sebagai seorang istri bagi suamimu, seorang ibu bagi anak-anakmu.

Sampai kemudian, setelah bertahun-tahun tak pernah bertemu, suatu hari kau berjumpa kembali dengan lelaki dari masa lalu itu—di sebuah lorong swalayan—saat kau tengah berbelanja dengan anak-anakmu.

Kau melihatnya, dan dia tersenyum kepadamu. Dan meski bertahun-tahun tak pernah bertemu, kalian langsung saling mengenali, saling menyapa dengan penuh kerinduan, dan sekali lagi kau merasakan suatu debar yang pernah kaurasakan bertahun-tahun yang lalu. Suatu debar yang tak pernah dapat kauungkapkan dengan kata-kata... Namun, sekali lagi, kau pun tak bisa tahu isi hati lelaki itu.

Pesona lelaki yang dulu pernah menyentuh inti kedalaman jiwamu itu masih dapat kaurasakan getarannya, dan kau bertanya-tanya sendiri dalam hatimu—mengapa kau bisa merasakan perasaan semacam itu?

Ada cinta yang begitu kecil—sedemikian kecilnya hingga letaknya begitu tersembunyi di hatimu—namun cinta yang kecil itu selalu berdetak... berdetak... dan tak pernah mati, hingga terkadang kau berpikir cinta yang begitu kecil itu sesungguhnya cinta yang begitu besar—hanya saja dalam bentuk yang amat tersamar.

Dan tahun-tahun terus berganti, anak-anakmu semakin tumbuh besar dan dewasa. Sebagian telah kuliah, sebagian yang lain telah menikah dan memberikanmu cucu-cucu yang amat kausayangi.

Suamimu makin beranjak tua dan mulai sakit-sakitan, sampai kemudian meninggal dunia di suatu malam yang kauiringi dengan tangis duka dan rasa kehilangan. Kau tahu kau mencintai suamimu—dan kau makin menyadari perasaan cinta itu saat menatap jasad suamimu yang telah terbujur kaku.

Sering kali, kita baru menyadari besarnya cinta yang kita miliki setelah orang yang kita cintai tak ada lagi—dan begitu pula denganmu. Kau merasa kehilangan—merasa amat kehilangan—dan kalau saja waktu dapat berputar kembali ke masa lalu, rasanya kau pun ingin memberikan cinta yang lebih besar untuk suamimu.

Beberapa tahun kemudian, kau pun mulai merasakan tubuhmu semakin melemah, dan sakit mulai sering datang menghampiri. Usiamu terus merangkak, rambut di kepalamu mulai memutih, dan kulitmu yang dulu halus lembut telah berganti keriput. Kau menengok hari-harimu yang telah berlalu, dan kau menyaksikan betapa panjangnya waktu yang telah kaulalui.

Kau telah menjalani hidup yang istimewa—sebagai anak kecil yang bahagia, seorang remaja yang dimanja, dan sebagai seorang dewasa yang pernah mengenal sesosok lelaki impian. Dan kau pun pernah merasakan kebahagiaan menjadi istri yang dipuja, menjadi ibu yang amat dicintai... Kau bersyukur telah diberkati sebuah hidup yang panjang dan istimewa—suatu hidup yang penuh suka-duka serta pahit-getir namun terasa penuh makna.

Dan di suatu senja yang indah, kau terbaring di pembaringanmu, dikelilingi anak-anak dan menantu serta cucu-cucumu, dan kemudian... kau menghembuskan napas yang terakhir dengan senyum di bibirmu, dengan tangis orang-orang yang mencintai dan mengasihimu.

Selalu dan selamanya, akan datang suatu saat ketika seorang manusia harus pergi meninggalkan segalanya di dunia—dan begitu pula denganmu. Satu lagi seorang manusia meninggalkan dunia—dan dunia tak lagi memilikimu.

Tahun-tahun terus berganti, dan abad demi abad berlalu. Milenium pun berganti milenium. Tak terhitung lagi berapa panjang waktu yang berjalan, berapa banyak abad yang berganti, berapa banyak milenium yang berlalu, sampai kemudian tiba Hari Kebangkitan, dan kau pun memasuki suatu alam yang baru.

Kemudian, melalui perjalanan panjang penuh liku, penantian panjang yang penuh rindu, kau pun sampai di surga yang telah dijanjikan untukmu. Di sana, kau menyadari semua keindahan dan kebahagiaan dunia yang pernah kaurasakan bagai sebutir atom dibanding kebahagiaan dan keindahan yang kini kauhayati.

Kau menikmati kehidupan yang baru, dalam keabadian, dan kau selalu suka berjalan-jalan sendirian di taman-taman surga, mencium harum wangi bunga indah yang tumbuh di atas tanah-tanah surgamu, memetik buah-buah kesukaanmu, dan mendengarkan gemericik air mengalir di bawahmu. Kau selalu suka menikmati angin lembut dari kesejukan tempatmu berjalan, dan kau selalu tersenyum saat menyaksikan sekumpulan kupu-kupu indah yang selalu mengikutimu kemana pun kau melangkah.

Dan tanpa pernah kausangka, saat kau tengah berjalan-jalan di taman keindahan itu, kau bertemu kembali dengan sosok lelaki yang pernah menjadi impianmu di kehidupan dunia, sekian abad, sekian milenium yang lalu...

Kau menyaksikannya berjalan sendirian, jauh di depanmu, namun kau langsung mengenalinya, dan kau pun menyaksikan sekumpulan kupu-kupu indah yang juga mengikuti di sekitarnya.

Kalian saling mendekat, saling tersenyum dan saling mengenali—dan sekali lagi, debar-debar keindahan yang pernah kaurasakan dalam hatimu itu berdetak kembali. Hanya... kali ini tak ada lagi yang tertutup bagi pandanganmu, dan kau pun tahu isi hati lelaki itu.

Suatu senja yang indah di surga. Bunga-bunga harum bermekaran, gemericik air di bawah kakimu terasa menyejukkan, dan kupu-kupu di antara kalian saling menyapa begitu mesra, seperti hatimu yang menyapa hati lelaki itu dengan penuh kerinduan. Dan saat bibir-bibir kalian saling tersenyum dalam kebisuan, kalian pun sama-sama menyadari, bahwa hati kalian telah menyentuh inti keabadian.

 
;