—Lanjutan Note from Biek Island
Jason termangu di depan layar monitor, menatapi rangkaian paragraf dalam posting di blog itu, sementara Mrs. Davis telah pergi meninggalkannya beberapa waktu yang lalu, karena perlu mencarikan beberapa buku untuk seorang profesor yang akan mengajar.
“What the...?” dia tak menyelesaikan gumamannya ketika menyadari apa yang dilihatnya.
Posting yang tak terlalu panjang itu benar-benar mengguncangkan pikirannya. Ia tahu, di balik rangkaian kata-kata yang terkesan puitis itu terdapat sesuatu yang disembunyikan penulisnya dengan sangat cerdik—dan pilihan judul ‘Flèur l’Epàc’ benar-benar mengecoh, karena frasa aslinya ditutupi dengan amat tersamar.
Tangan Jason bergerak menyentuh mouse, dan dengan cepat membuka-buka halaman blog itu satu per satu. Ini memang blog sinting, pikirnya sambil terus membuka halaman demi halaman. Di antara ratusan posting yang ada di blog itu, Jason menyisihkan beberapa post yang ia pikir saling berkaitan. Dan tangannya terus sibuk, membuka satu per satu posting di sana, dengan pikiran yang semakin terguncang.
Satu jam kemudian, Jason telah menyisihkan setumpuk posting yang ia yakini memiliki keterkaitan—meski belum terlalu yakin. Ia tahu akan menemukan apa yang dicarinya—sesuatu yang telah disembunyikan penulis-entah-siapa ini di dalam tumpukan catatan-catatannya.
Ia bangkit dari tempat duduknya, melangkah ke tempat dispenser, dan menuangkan kopi panas ke dalam gelas. Ia butuh suntikan kafein untuk membuka matanya setelah semalaman belum tidur. Einstein tidak tidur sebelum menemukan E=MC2, Edison tidak tidur sebelum menemukan filamen untuk bola lampu, Beethoven tidak tidur sebelum menemukan nada yang tepat untuk sonata kelima, dan ia pun tidak ingin tidur sebelum menemukan apa yang dicarinya.
Sekarang, setelah aliran kopi panas menghangatkan tenggorokannya, Jason kembali menekuri monitor di hadapannya. “Flèur l’Epàc,” gumamnya sambil menatap post itu lama-lama.
Jason tahu, sesuatu disembunyikan di dalam catatan itu, tetapi hanya sebagian kecilnya. Artinya, ia menyimpulkan, keping-keping rahasia lain disembunyikan oleh si penulis dalam banyak catatan lainnya. Masalahnya sekarang, dia tidak tahu di catatan mana saja keping-keping rahasia itu ditanamkan. Ia sendiri menemukan frasa ‘Flèur l’Epàc’ dari buku tua yang ditemukannya di perpustakaan, hingga kemudian menemukan posting berjudul sama di sebuah blog-entah-milik-siapa.
Sekarang dia membuka satu per satu halaman posting yang telah disisihkannya, dan berharap—entah bagaimana caranya—salah satu halaman posting itu akan mengungkapkan sesuatu.
“Jika perlu, aku akan membaca seluruh isi blog sialan ini,” pikirnya penuh tekad. Dan dia pun memulainya. Posting-posting yang tadi disisihkannya itu dibacanya dengan cermat, seperti pemanah yang membidik sasaran dengan harapan memperoleh tembakan yang akurat.
Dan jam demi jam pun berlalu. Jason masih duduk tanpa suara di depan layar komputer, dengan kening yang semakin berkerut, dengan bergelas-gelas kopi yang terus ia tuangkan dari dispenser perpustakaan.
Lanjut ke sini.
Jason termangu di depan layar monitor, menatapi rangkaian paragraf dalam posting di blog itu, sementara Mrs. Davis telah pergi meninggalkannya beberapa waktu yang lalu, karena perlu mencarikan beberapa buku untuk seorang profesor yang akan mengajar.
“What the...?” dia tak menyelesaikan gumamannya ketika menyadari apa yang dilihatnya.
Posting yang tak terlalu panjang itu benar-benar mengguncangkan pikirannya. Ia tahu, di balik rangkaian kata-kata yang terkesan puitis itu terdapat sesuatu yang disembunyikan penulisnya dengan sangat cerdik—dan pilihan judul ‘Flèur l’Epàc’ benar-benar mengecoh, karena frasa aslinya ditutupi dengan amat tersamar.
Tangan Jason bergerak menyentuh mouse, dan dengan cepat membuka-buka halaman blog itu satu per satu. Ini memang blog sinting, pikirnya sambil terus membuka halaman demi halaman. Di antara ratusan posting yang ada di blog itu, Jason menyisihkan beberapa post yang ia pikir saling berkaitan. Dan tangannya terus sibuk, membuka satu per satu posting di sana, dengan pikiran yang semakin terguncang.
Satu jam kemudian, Jason telah menyisihkan setumpuk posting yang ia yakini memiliki keterkaitan—meski belum terlalu yakin. Ia tahu akan menemukan apa yang dicarinya—sesuatu yang telah disembunyikan penulis-entah-siapa ini di dalam tumpukan catatan-catatannya.
Ia bangkit dari tempat duduknya, melangkah ke tempat dispenser, dan menuangkan kopi panas ke dalam gelas. Ia butuh suntikan kafein untuk membuka matanya setelah semalaman belum tidur. Einstein tidak tidur sebelum menemukan E=MC2, Edison tidak tidur sebelum menemukan filamen untuk bola lampu, Beethoven tidak tidur sebelum menemukan nada yang tepat untuk sonata kelima, dan ia pun tidak ingin tidur sebelum menemukan apa yang dicarinya.
Sekarang, setelah aliran kopi panas menghangatkan tenggorokannya, Jason kembali menekuri monitor di hadapannya. “Flèur l’Epàc,” gumamnya sambil menatap post itu lama-lama.
Jason tahu, sesuatu disembunyikan di dalam catatan itu, tetapi hanya sebagian kecilnya. Artinya, ia menyimpulkan, keping-keping rahasia lain disembunyikan oleh si penulis dalam banyak catatan lainnya. Masalahnya sekarang, dia tidak tahu di catatan mana saja keping-keping rahasia itu ditanamkan. Ia sendiri menemukan frasa ‘Flèur l’Epàc’ dari buku tua yang ditemukannya di perpustakaan, hingga kemudian menemukan posting berjudul sama di sebuah blog-entah-milik-siapa.
Sekarang dia membuka satu per satu halaman posting yang telah disisihkannya, dan berharap—entah bagaimana caranya—salah satu halaman posting itu akan mengungkapkan sesuatu.
“Jika perlu, aku akan membaca seluruh isi blog sialan ini,” pikirnya penuh tekad. Dan dia pun memulainya. Posting-posting yang tadi disisihkannya itu dibacanya dengan cermat, seperti pemanah yang membidik sasaran dengan harapan memperoleh tembakan yang akurat.
Dan jam demi jam pun berlalu. Jason masih duduk tanpa suara di depan layar komputer, dengan kening yang semakin berkerut, dengan bergelas-gelas kopi yang terus ia tuangkan dari dispenser perpustakaan.
Lanjut ke sini.