Kamis, 01 September 2011

Pengetahuan Tertinggi

Min huna nabda’ wa takhta dhilaali 
‘arsyi arrahmaani naltaqi.


Dulu, saya berpikir bahwa diciptakannya bulan Ramadhan adalah bentuk kecemburuan Tuhan. Selama Ramadhan, Tuhan seolah ingin menjadi satu-satunya yang diingat manusia, setelah sebelas bulan lamanya manusia hanya mengingat Tuhan di waktu-waktu tertentu saja.

Selama Ramadhan, umat Muslim sedunia akan menjalankan ibadah, dalam arti sesungguhnya, dimana sejak bangun tidur sampai tidur kembali—bahkan dalam tidur itu sendiri—semuanya dalam rangka ibadah. Berbeda dengan bentuk ibadah lain yang kasatmata, ibadah puasa selama Ramadhan adalah ibadah yang tak terlihat manusia lainnya, selain hanya untuk Tuhan.

Puasa dalam arti sesungguhnya
, yakni meninggalkan makan minum dan hawa nafsu, adalah bentuk ibadah murni yang secara langsung ditujukan untuk Tuhan. Di hadapan manusia, kita mungkin dapat menunjukkan bahwa kita tidak makan dan minum selama Ramadhan. Tetapi di hadapan Tuhan, tidak makan dan minum hanya hal kecil, karena pantangan yang jauh lebih besar tak pernah terlihat, yakni yang ada di hati kita.

Selama Ramadhan, orang yang benar-benar berpuasa akan seratus persen mengingat Tuhan, dari hari ke hari, bahkan dari saat ke saat—dalam tidur maupun terjaga. Karena itulah kemudian saya sempat berpikir bahwa Tuhan sengaja menciptakan bulan Ramadhan karena kecemburuan. Ia ingin diingat selama satu bulan penuh oleh manusia, setelah sebelas bulan lamanya manusia begitu sibuk dengan kesibukannya.

Tetapi kemudian saya menyadari bahwa Tuhan tidak cemburu. Karena bahkan umpama manusia di seluruh dunia tidak menjalankan perintah-Nya pun, Tuhan tak kan terluka. Sekarang, saya menyadari bahwa Ramadhan diciptakan untuk manusia, dengan tujuan agar manusia memiliki waktu sesaat untuk mulai mengenali dirinya sendiri, untuk memahami eksistensinya di dunia, untuk memakrifati kefitriannya.

Ramadhan adalah waktu yang diciptakan untuk memberi kesempatan kepada kita untuk lebih mengenali diri sendiri. Setelah sebelas bulan lamanya kita disibukkan dengan segala urusan di luar kita, Ramadhan mengajak masing-masing manusia untuk rehat sejenak, meninggalkan hiruk-pikuk dunia, dan masuk ke dalam kesadaran kehambaannya, untuk mengingat Eksistensi Multak Alam Semesta.

....
....

Di dalam kisah Saur Sepuh yang legendaris, diceritakan bahwa Brama Kumbara yang sakti mandraguna akhirnya dapat dikalahkan oleh Biksu Kampala. Setelah malang-melintang di dunia persilatan tanpa ada satu pendekar pun yang dapat mengalahkannya, akhirnya Brama Kumbara yang tangguh dan perkasa tumbang, dan dipaksa bertekuk lutut di hadapan Biksu Kampala.

Siapakah Biksu Kampala? Merujuk pada kisah Saur Sepuh, Biksu Kampala adalah seorang biksu dari Tibet yang sedang mengembara. Pertemuannya dengan Brama Kumbara—hingga mereka kemudian bertarung unjuk kesaktian—adalah ketika sang Biksu sampai di kerajaan Madangkara. Dan, seperti yang telah dinyatakan di atas, Brama Kumbara kalah. Kekalahan itu adalah berita yang mengguncang alam semesta.

Bagaimana mungkin orang yang dianggap manusia bijak, sakti, hebat, dan raja yang sangat dihormati jutaan manusia lainnya itu bisa dikalahkan...?

FYI, di dunia persilatan Saur Sepuh, Brama Kumbara adalah satu-satunya orang yang mampu menguasai Ajian Serat Jiwa Tingkat 10. Rata-rata pendekar di sana hanya mampu menguasai Serat Jiwa Tingkat 3, mentok-mentoknya Tingkat 5.

Selain itu, Brama Kumbara juga menguasai Ajian Tapak Sakti Tingkat Akhir, sehingga dia dapat menghantam batu karang di lautan sampai hancur menjadi pasir. Puncaknya, orang ini juga menguasai Ajian Bayu Bajra, sehingga dapat menciptakan badai berkekuatan skala Richter untuk mengguncangkan bagian bumi mana pun yang diinginkannya.

Tetapi, meski memiliki kesaktian hebat semacam itu, Brama Kumbara kalah. Dan yang mengalahkannya adalah seorang biksu yang sama sekali tak terkenal. Karena itu, seperti yang dinyatakan di atas, berita kekalahan itu pun mengguncang jagad persilatan.

Karena kekalahan itu, Brama Kumbara pun menemui gurunya, yang ia panggil dengan sebutan Eyang Astagina. Sang Guru memberikan petuahnya, “Kalau kau ingin menang, kau harus mempelajari Ilmu Lampah-Lumpuh.”

Apakah Ilmu Lampah-Lumpuh itu?

Guru Astagina menjelaskan, bahwa Lampah-Lumpuh adalah kemampuan mengosongkan segala kekotoran yang ada di dalam hati dan pikiran manusia. Lampah-Lumpuh adalah pengosongan segala hal—selain kesucian—dari dalam diri kita. Lampah-Lumpuh adalah kemampuan seseorang untuk kembali kepada fitrahnya, kepada hakikat kesuciannya. Ketika seseorang menguasai Lampah-Lumpuh, dia akan menjadi manusia yang benar-benar manusia.

“Lampah-Lumpuh adalah puncak segala ilmu kesaktian,” ujar Guru Astagina.

Brama Kumbara bertekad untuk dapat menguasai ilmu itu. Tetapi, karena ini adalah ilmu puncak, maka syaratnya pun sangat berat—yakni berpuasa selama 40 hari 40 malam.

“Untuk kembali kepada fitrah, kepada kesucian,” kata Guru Astagina, “kau harus menjadi bayi kembali. Karena itulah, kau harus berpuasa selama 40 hari 40 malam, tanpa makan atau memasukkan apa pun ke dalam tubuh dan pikiranmu.”

Jadi begitulah. Di suatu hari yang telah disepakati, Brama Kumbara menyepi ke Pesanggrahan Keramat—semacam villa-nya orang-orang istana Madangkara—dan di sana ia mulai menjalankan puasa sebagai persyaratan memperoleh Ilmu Lampah-Lumpuh. Selama 40 hari itu, komplek Pesanggarahan Keramat dijaga ratusan prajurit dan para pendekar, demi keselamatan raja mereka selama menjalani laku puasa.

Empat puluh hari kemudian, Brama Kumbara berhasil selamat setelah tidak makan dan minum apa pun. Tentu saja waktu itu kondisinya benar-benar kritis. Energi fisiknya telah hilang, kekuatannya benar-benar sirna. Kalau mau menggunakan istilah Guru Astagina, “Dia (Brama) telah berhasil menjadi bayi kembali.”

Sebagaimana bayi pada umumnya, Brama pun waktu itu belum mampu mengunyah makanan apa pun selain air tajin. Jadi, setiap hari istrinya menyuapkan air tajin untuknya, dan dari hari ke hari kekuatan Brama mulai pulih kembali. Akhirnya, setelah energi dan kekuatan Brama telah benar-benar dipulihkan, Guru Astagina mulai memasukkan Ilmu Lampah-Lumpuh kepadanya.

Lampah-Lumpuh adalah kembali kepada fitri, kepada titik awal eksistensi manusia di bumi. Ketika Brama Kumbara berhasil menguasai Lampah-Lumpuh—setelah mampu berpuasa 40 hari 40 malam—dia tidak lagi memiliki iri hati dan dengki, tidak lagi memiliki nafsu kotor, bahkan tidak lagi memiliki hasrat ingin mengalahkan. Dia telah benar-benar kembali menjadi bayi, kembali kepada fitri.

Akhirnya, ketika ia kembali bertemu dengan Biksu Kampala yang dulu mengalahkannya, Brama Kumbara tidak bertarung untuk balas dendam. Bahkan, melalui Lampah-Lumpuh, dia berhasil memenangkan pertarungan itu, tanpa mengalahkan. Yang dilakukan Brama waktu itu hanya menyentuh Biksu Kampala dengan lembut, dan si Biksu pun lumpuh. Pertarungan itu tanpa teriakan, tanpa kekuatan, bahkan tanpa hasrat mengalahkan.

Kalau menggunakan istilah Ronggowarsito, Brama Kumbara telah mampu “menang tanpo ngasorake”—menang tanpa mengalahkan. Dan kemampuan itu diperolehnya setelah dia mampu kembali kepada eksistensi murninya, yakni mengosongkan segala sesuatu selain fitrah suci di dalam dirinya. Seperti yang dikatakan Guru Astagina, “Lampah-Lumpuh adalah ilmu kesaktian paling puncak.”

Dengan Lampah-Lumpuh, Brama Kumbara telah mampu mengalahkan musuh terbesarnya, yakni dirinya sendiri, hawa nafsunya sendiri. Satu-satunya kemenangan yang dapat dicapai tanpa mengalahkan adalah kemenangan atas diri sendiri.

Ketika ia berpuasa selama 40 hari 40 malam, segala nafsu manusiawinya lenyap. Kelaparan dan kehausan membunuh nafsu, dan matinya nafsu adalah hidupnya eksistensi sejati manusia. Ketika dia tidak lagi disibukkan untuk memikirkan hal-hal lain di luar dirinya, maka mau tak mau dia akan berpikir tentang dirinya. Dan, pengenalan diri, adalah Pengetahuan Tertinggi.

....
....

Sekarang, saat Ramadhan menjelang dan kini menghilang, saya kembali teringat pada kisah Brama Kumbara yang menyepi di Pesanggrahan Keramat untuk berpuasa—untuk membersihkan segala hawa nafsunya, sekaligus untuk kembali kepada fitrahnya.

Tentu saja kita bukan Brama Kumbara yang sedang mengharapkan ilmu kesaktian. Tetapi, secara esensi, kita juga melakukan apa yang dilakukannya, yakni berupaya “menjadi bayi kembali”. Setelah kita mampu menundukkan hasrat pada makan-minum dan hawa nafsu, maka kita pun akan kembali menghidupkan apa yang mungkin telah mati di dalam kemanusiaan kita, yang mungkin tidak kita sadari.

Ramadhan dimaksudkan untuk memberi waktu kepada kita untuk melakukan hal itu—mengenali diri sendiri, untuk kemudian menemukan eksistensi sejati keberadaan kita di dunia ini. “Kalau kau mengenal dirimu sendiri,” kata Sunan Kalijaga, “kau akan mengenal Tuhanmu.”

Jadi itulah, saya pikir, tujuan Tuhan memberikan Ramadhan untuk manusia. Bukan karena kecemburuan, melainkan karena cinta kasih-Nya. Ramadhan adalah kesempatan agung yang diberikan-Nya kepada manusia untuk mengetahui eksistensi sejati, untuk mengenal Pengetahuan Tertinggi... yakni menemukan diri sendiri.

Taqabbalallaahu minna wa minkum.

 
;