Minggu, 01 Agustus 2021

Loading Lemot Bikin Pusing

Kalau kamu masuk Oasis Cafe dan melihat seorang bocah lagi sendirian, tampak menunggu seseorang, itu aku.

Karena orang yang kutunggu belum juga datang—barusan dia nilpon dan ngasih tahu lagi kejebak macet karena ada pawai—aku mau ngoceh saja. Semoga tidak ada yang terganggu.

....
....

Nyambung ocehan tadi, soal Tribun, aku sering bertanya-tanya; apakah situs-situs raksasa—khususnya Kompas, Detik, dan Tempo—tidak bisa membayar server yang lebih baik? Mereka tergolong situs-situs besar dengan penghasilan sama besar, tapi loading situsnya sangat memprihatinkan.

Ada temanku yang pernah bilang, "Tiap kali aku membuka Kompas atau Detik, laptopku akan hang." Itu ilustrasi mudah yang menggambarkan betapa lemotnya loading situs mereka. Selain kebanyakan script iklan, loading yang lemot jelas dipengaruhi server yang buruk. Memangnya apa lagi?

Karenanya aku heran dan bertanya-tanya, apakah mereka sebegitu pelit hingga tidak mau menggunakan server yang [lebih] baik, agar loading situs tidak terlalu lemot? Agak aneh, mengingat mereka menghasilkan miliaran per bulan, tapi menggunakan server yang baik saja keberatan.

Terkait Kompas, Detik, dan Tempo, aku sering mengalami dilema. Aku perlu membaca berita-berita tertentu (yang sialnya hanya ada di situs mereka), tapi membuka situs-situs itu membuatku sangat enggan karena loading-nya yang lemot dan menjengkelkan. Hasilnya cuma bikin emosi!

Mungkin ada yang ingin ngemeng, "Bukannya situs-situs besar selalu lemot loading-nya? Memangnya ada situs besar yang loading-nya cepat?"

Sebenarnya ada, bahkan relatif banyak. Kita bisa menyebut Beritagar, Tirto, dan Kumparan, di tempat teratas. Load situs mereka sangat ringan.

Kumparan bisa menjadi pembanding yang seimbang untuk Kompas, Detik, dan Tempo. Sebagai situs yang sama-sama raksasa, Kumparan dihiasi iklan bejibun, dari atas sampai bawah. Tapi loading-nya sangat ringan, hingga pembaca tidak keberatan dengan keberadaan iklan-iklan yang ada.

Kumparan adalah contoh nyata bahwa sebesar apa pun sebuah situs, dan sebanyak apa pun iklan yang terpasang, loading situs bisa dibuat ringan, dan memudahkan pembaca untuk membuka-buka isinya. Omong-omong, yang membuat orang jengkel sebenarnya bukan iklan, tapi loading yang lemot!

Hari gini, sebagian besar pengguna internet sudah sadar bahwa iklan dibutuhkan sebagai upaya situs untuk menunjang biaya operasional. Karenanya, mereka tidak keberatan dengan adanya iklan, bahkan umpama sangat banyak, asal loading halaman sangat ringan! Mosok ngene wae ora paham?

Untuk keperluan riset, aku pernah mengamati situs-situs penyedia film di internet (kalian tahu situs apa saja), untuk melihat bagaimana respons para penggunanya dalam menghadapi banyaknya iklan di sana. Kita tahu, situs-situs film itu dijejali iklan judi yang sangat banyak.

Aku membaca dan mempelajari komentar-komentar yang bertumpuk di situs-situs itu, dan menganalisis komentar-komentar yang terkait iklan (baik iklan dalam bentuk banner maupun iklan yang disisipkan lewat video; mirip di YouTube). Hasilnya mencengangkan—setidaknya menurutku.

Dalam ratusan komentar yang kubaca, sering ada orang-orang yang mengeluhkan iklan-iklan tersebut. "Ajaib"nya, selalu ada orang-orang lain yang akan "mengedukasi" bahwa keberadaan iklan-iklan itu dibutuhkan, "agar kita bisa tetap nonton film secara gratis dan mudah". Mereka tahu!

Dan mereka juga tidak keberatan dengan banyaknya iklan di sana, karena loading situs-situs film itu sangat ringan! Jadi, mereka hanya terganggu oleh iklan yang disisipkan dalam video/film, dan untuk itu pun mereka bisa "saling mengedukasi" bahwa "keberadaan iklan itu penting".

Bisa melihat sesuatu di sini? Orang sebenarnya tidak terlalu peduli dengan iklan, selama iklan-iklan itu tidak mengganggu! Terkait situs berita, para pengguna/pembaca tidak mempersoalkan iklan-iklan yang terpasang, asal loading halaman sangat ringan, dan mereka tetap nyaman.

Iklan-iklan di situs Kumparan, misalnya, sama banyak—atau bahkan mungkin lebih banyak—dibanding iklan di Kompas, Detik, dan Tempo. Tapi para pembaca (dan aku termasuk di sini) tidak terganggu oleh iklan-iklan itu, karena loading halaman sangat ringan, dan kami tetap nyaman.

Karena loading halaman sangat ringan, pembaca juga bisa asyik membuka-buka banyak halaman dengan nyaman. Hasilnya, pageview meningkat, sekaligus meningkatkan penghasilan iklan. Ending-nya, biaya server yang mahal akan terlihat murah, karena penghasilan dari iklan lebih besar.

Sebaliknya, "menghemat" biaya server akan berdampak pada loading yang lemot, dan pembaca tidak nyaman. Mereka akan malas membuka-buka halaman, karena cuma bikin emosi. Hasilnya, pageview rendah, dan biaya server yang murah jadi terlihat mahal, karena pemasukan dari iklan minim.

Sekarang kita paham kenapa ada situs-situs tertentu yang hobi "memecah" satu artikel pendek dalam banyak halaman. Tujuannya untuk meningkatkan pageview. Ini sebenarnya konyol, karena cara paling ampuh untuk meningkatkan pageview adalah loading yang ringan! Bahkan iblis pun tahu!

Ada cara mudah untuk membuktikan hal ini. Kalau kau bekerja di sebuah situs yang suka memecah satu berita dalam banyak halaman—dan kau punya akses untuk memeriksa statistik—perhatikan apa yang terjadi di sana. Terlihat "njomplang"? Jelas! Dan aku berani bertaruh dalam hal ini.

Jika kita memecah satu artikel menjadi 5 halaman, misalnya, kita akan melihat bahwa halaman 1 akan memiliki pageview sangat tinggi, sementara halaman-halaman selanjutnya akan "njomplang", karena selisih jumlah pageview-nya akan sangat besar. Orang tidak suka dimanipulasi!

Sori, orang yang kutunggu sudah datang. Ocehan ini sebenarnya masih sangat panjang, tapi terpaksa cukup sampai di sini.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 November 2019.

 
;