Ada beberapa email yang menanyakan apa sebenarnya yang dimaksud dengan “ghostwriter”—apa definisinya, seperti apa pekerjaannya, dan mengapa disebut ghostwriter.
Istilah ini (ghostwriter) memang berkaitan atau berhubungan dengan para penulis dan aktivitas menulis. Jika diartikan secara harfiah, “ghostwriter” berarti “penulis hantu”. Nah, kira-kira seperti itulah maksud istilah ghostwriter—mirip dengan hantu—yaitu penulis yang nama atau identitasnya tersembunyi.
Agar penjelasan mengenai ghostwriter ini mudah dipahami, kita gunakan contoh saja.
Umpamakan ada seorang pejabat yang terkenal dan berpendidikan tinggi, dan ingin memiliki buku yang diterbitkan. Hanya saja, si pejabat ini kurang mampu menulis dengan baik. Secara intelektual, dia menguasai suatu bidang tertentu yang ingin ditulisnya—baik untuk tujuan mengukuhkan prestise, untuk penyebaran wawasan, ataupun untuk tujuan lainnya.
Untuk mewujudkan keinginannya itu, dia menghubungi seorang penulis profesional, untuk menuliskan bukunya. Kita sebut saja penulis itu si X. Jadi, si pejabat ini memberikan materi naskahnya, dan kemudian si X mengolahnya hingga menjadi sebuah buku yang utuh, layak diterbitkan, sekaligus enak dibaca. Hanya saja, ketika buku itu terbit, nama yang tertera di bukunya adalah nama si pejabat, bukan nama si X. Nah, si X dalam hal ini bertindak sebagai ghostwriter.
Jadi, secara definitif, ghostwriter adalah orang yang melakukan pekerjaan menulis tanpa melibatkan identitas dirinya dalam hasil pekerjaan menulisnya.
Lalu bagaimana sistem kerjasamanya? Ini relatif. Bagaimana hubungan kerjasama antara seseorang atau suatu pihak dengan ghostwriter biasanya sangat fleksibel, tergantung kesepakatan, juga tergantung profesionalitas si ghostwriter.
Ada ghostwriter yang bertarif mahal—ini biasanya ghostwriter yang sudah terkenal banyak menulis, dan hasil tulisannya juga tidak “malu-maluin”, sehingga orang yang menyewanya dijamin puas dengan hasilnya. Sebaliknya, juga ada ghostwriter yang tarifnya murah.
Tetapi, kebanyakan ghostwriter yang profesional (biasanya adalah para penulis profesional yang memang berprofesi penulis) mengenakan tarif yang sangat mahal untuk pekerjaan semacam itu. Mengapa? Karena ketika dia mengerjakan tugas sebagai ghostwriter, dia tidak bisa mencantumkan egonya (namanya) pada buku yang ditulisnya. Karenanya, untuk “menebus”-nya, dia mengenakan tarif yang mahal—lebih mahal dari pembayaran yang biasa ia peroleh dari penghasilan buku-buku karyanya sendiri yang mencantumkan namanya.
Pertanyaan lain, mengapa ada orang yang membutuhkan ghostwriter? Jawabannya bisa merujuk pada contoh kasus di atas. Ada banyak sekali orang yang butuh memiliki buku yang diterbitkan, namun tidak menguasai kemampuan menulis yang baik. Kalau mau blak-blakan, banyak sekali orang yang semacam itu, kan?
Ada dosen yang butuh punya buku agar bisa naik pangkat, ada pejabat yang butuh punya buku agar naik jabatan, ada orang terkenal yang butuh punya buku untuk menaikkan prestise, dan lain-lain. Orang-orang ini tidak lagi sekadar “ingin” punya buku, tetapi sudah sampai pada taraf “butuh”. Karena sudah menjadi kebutuhan, maka mereka pun berusaha keras untuk memenuhi kebutuhannya—termasuk dengan menyewa ghostwriter.
Bahkan, kalau mau jujur, sebenarnya kita pun mungkin (sekali lagi, mungkin) pernah berurusan dengan makhluk bernama ghostwriter. Waktu mengerjakan skripsi, umpamanya. Kita merasa pusing karena berkali-kali skripsi yang kita garap harus direvisi, direvisi, dan direvisi lagi. Karena tak mau repot dan pusing terus, kita pun menyewa seseorang untuk mengerjakan skripsi kita. Nah, orang yang kita sewa untuk mengerjakan skripsi itu juga bisa disebut ghostwriter, karena nama yang tercantum sebagai pembuat skripsi itu toh nama kita.