Membaca ini, rasanya seperti antiklimaks—
tapi tidak apa-apa, toh manusia selalu bisa berubah,
dalam sikap maupun cara berpikir.
Jerinx SID bersedia untuk disuntik vaksin corona.
#kumparanNews —@kumparan
Omong-omong soal Jerinx, kadang aku berpikir. Dia sebenarnya punya semua hal yang dibutuhkan untuk hidup tenang, tenteram, dan bahagia. Dia tinggal di Bali yang indah. Dia punya usaha yang memungkinkan hidup berkelimpahan, dan punya istri cantik sekaligus sabar. Kurang apa lagi?
Andai aku menempati posisi Jerinx—tinggal di Bali, hidup tanpa kekurangan, hubungan dengan orang tua dan keluarga baik-baik saja, dan punya istri yang cantik sekaligus sabar—mungkin kegiatanku saban hari cuma sibuk kerja dan udud. Bodo amat dengan pandemi, persetan dengan dunia!
Tapi manusia tampaknya memang tak bisa diukur hanya dari permukaan. Selalu ada kedalaman yang tidak kita tahu. Dan cara orang mengejar kebahagiaan serta meraih kepuasan hidup juga berbeda-beda. Yang bahagia bagi kita, bisa jadi biasa saja bagi orang lain, atau sebaliknya.
Bagi Jerinx, mungkin, meraih kebahagiaan dan kepuasan hidup adalah dengan menyampaikan apa yang dia pikir benar—meski, dalam taraf tertentu, keyakinannya belum tentu benar. Intinya, dunia harus mendengarkan yang dia katakan. Soal itu benar atau tidak, bisa diurus belakangan.
Dan sebenarnya itu bukan masalah, toh yang punya sikap semacam itu bukan cuma Jerinx. Ada jutaan orang lain yang punya sikap dan pikiran semacam itu.
Demokrasi memberi kebebasan untuk berpikir dan berbicara. Agar aturan itu benar-benar fair, harus ada sikap kritis. Itu saja.
Yang diocehkan Jerinx dari dulu—dari urusan WHO, konspirasi global, sampai endorse Covid—sebenarnya tidak masalah, andai dihadapi dengan sikap/pikiran kritis. Ocehan Jerinx tinggal ditanggapi dengan ocehan yang bertanggung jawab, hingga semua pihak melihat mana yang benar.
Menurutku, yang menjadikan ocehan Jerinx dianggap bermasalah, karena tiadanya sikap kritis, khususnya dari audiens yang menyimak ocehannya. Ending-nya jadi tidak enak. Jerinx ditangkap hanya karena ngoceh. Itu sebenarnya ironis, khususnya ketika terjadi di negara demokrasi.
Di negara [yang katanya] demokratis, mosok ngoceh wae ora oleh? Ngoceh adalah sikap pikiran, dan kebebasan berpikir adalah pilar demokrasi. Melalui kebebasan berpikir yang disikapi secara kritis—hingga muncul dialektika—manusia bisa terus berkembang, dan itulah tujuan demokrasi.
Jadi, kembali ke Jerinx, siapakah sebenarnya yang bermasalah? Jawabannya sangat panjang, dan bisa jadi ocehan ini baru selesai tahun 5788, kalau kujelaskan secara komprehensif. Tapi singkat saja, yang salah sebenarnya banyak pihak, termasuk—dan khususnya—kultur pendidikan kita.
Kultur pendidikan kita, sebagaimana yang kita tahu dan alami, mematikan sikap dan nalar kritis, karena guru menganggap pikiran kita cuma botol-botol kosong yang mereka isi dengan apa pun yang mereka inginkan... dan tidak boleh ada bantahan. Kita telah “dibunuh” sejak masih kecil.
Dengan latar semacam itu, tanpa disadari, kita asing dengan sikap dan nalar kritis, karena pikiran kita memang telah dilumpuhkan... bahkan sejak sebelum kita mulai menggunakan. Akibatnya, kita mudah percaya, mudah mengikuti, mudah didikte, mudah meyakini, meski tanpa bukti.
Mungkin Jerinx—dan orang-orang lain yang seperti dia—ingin menyadarkan kenyataan muram itu; agar kita mempertanyakan apa yang memang tidak kita tahu, mengkritisi sesuatu yang tampak remang-remang, dan memastikan kita tidak tersesat karena mengikuti arah yang keliru.
Kalau kemudian terbukti Jerinx yang salah, ya tidak apa-apa, karena begitulah dialektika. Toh dia juga mau mengakui dan menerima. Lagi pula, kebenaran di dunia ini belum jadi kebenaran, selama belum dipertanyakan, belum diuji, dan belum dibenturkan kenyataan.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Agustus 2021.