Selasa, 01 Maret 2022

Dilema Peralihan

Ada ajaran "Hormatilah orang tuamu", tapi tidak ada ajaran
"Hormatilah anak-anakmu". Tidak adil, dan sangat timpang.
@noffret


Di internet, saya sering mendapati artikel yang lebih menyerupai curhat ibu baru (biasa disebut/menyebut diri ibu milenial) yang jengkel karena urusan pengasuhan anaknya “dirusuhi” ibu-ibu lain yang merasa lebih senior dalam hal merawat anak. 

Saya menyebut ini “dilema peralihan”.

Dilema peralihan, dalam perspektif saya, adalah fenomena ketika orang-orang yang merasa senior (tua) dan lebih tahu mengenai sesuatu, memaksakan pengetahuan mereka yang sudah ketinggalan zaman—atau bahkan keliru—pada orang yang hidup di zaman modern.

Dalam contoh ini adalah pengasuhan anak. Ketika seorang ibu milenial punya anak (bayi), para ibu dari generasi boomer akan merasa lebih tahu, karena mereka telah hidup lebih dulu, telah punya anak lebih dulu, sehingga merasa punya hak untuk memaksakan pengetahuannya.

Yang jadi masalah, sebagaimana kita tahu, kehidupan zaman dulu jauh berbeda dengan kehidupan zaman sekarang, pengetahuan zaman dulu berbeda dengan pengetahuan zaman sekarang, bahkan budaya zaman dulu berbeda dengan budaya zaman modern sekarang.

Orang zaman dulu mendapatkan pengetahuan, khususnya dalam merawat bayi dan membesarkan anak, melalui “kebudayaan/tradisi leluhur”—hal-hal yang dianggap pengetahuan di zamannya—karena akses pengetahuan yang benar memang belum semudah sekarang.

Sementara orang zaman sekarang sangat mudah mendapatkan akses pengetahuan yang benar, khususnya dalam merawat bayi dan mengasuk anak, dan bisa jadi mendapati aneka pengetahuan zaman dulu (yang dipraktikkan ibu-ibu boomer) ternyata salah total.

Fenomena itulah yang lalu saya sebut “dilema peralihan”, yaitu peralihan “warisan pengetahuan” dari orang zaman dulu (boomer dan generasi sebelumnya) ke orang zaman sekarang (milenial dan generasi setelahnya), yang tetap tersambung, karena rencana Thanos gagal. 

Andai rencana Thanos terlaksana sebagaimana yang dia inginkan, satu generasi (dan generasi sebelumnya) lenyap. Hasilnya, generasi baru, yakni milenial dan seterusnya, akan hidup dengan menggunakan pengetahuan zaman yang benar dan relevan, tanpa dirusuhi generasi kuno.

Sayangnya, dilema peralihan tidak hanya terjadi—dan bisa menimbulkan masalah—pada urusan perawatan bayi serta pengasuhan anak, tapi juga pada hal-hal lain terkait kehidupan manusia secara luas. Dari urusan kelahiran anak, perkawinan, membangun keluarga... sebut lainnya.

Kita hidup di zaman yang sebenarnya kacau, karena satu generasi yang sebenarnya telah “kedaluwarsa” masih merasa benar dan relevan, lalu memaksakan pengetahuan dan kebenaran mereka pada generasi kita. Hasilnya adalah dilema untuk banyak hal yang menjengkelkan.

Andaikan saja kamu ibu milenial yang punya bayi, dan mendapatkan pengetahuan parenting dari profesional berkompeten—sebut saja dokter. Karenanya, kamu ingin merawat, menangani, dan membesarkan bayimu sesuai pengetahuan yang kamu dapatkan, agar bayimu sehat.

Masalah muncul ketika pengetahuan yang kamu dapatkan dari dokter ternyata bertabrakan dengan pengetahuan yang datang dari ibu atau nenekmu. Dokter mengatakan bayimu cukup mendapat ASI, sementara ibu dan nenekmu memaksa bayimu juga makan pepaya.

Terjepit dalam kondisi semacam itu, bagaimana kira-kira perasaanmu? Dilema. Di satu sisi, kamu percaya pada saran dokter. Di sisi lain, ibu dan nenekmu—atau bahkan saudara dan tetanggamu yang rese karena merasa lebih tahu—menyarankan hal-hal yang jauh berbeda.

Itu bayimu, anakmu, dan tentu kamu yang paling berhak menentukan apa yang terbaik untuknya, karena kamulah yang akan membesarkannya, merawatnya, bahkan bertanggung jawab untuknya. Tapi generasi boomer sering kali tak mau tahu, karena mereka merasa lebih tahu.

Inilah dilema peralihan, ketika hal-hal kuno memaksakan dirinya masuk ke zaman kita karena merasa masih, bahkan paling, relevan. 

“Aku telah melahirkanmu,” kata mereka, “aku telah membesarkanmu, merawatmu sampai dewasa, dan nyatanya kamu hidup sampai sekarang!”

Kalimat semacam itu jelas terdengar otoritatif. Yang tidak sempat mereka pikirkan, cara mereka merawat dan membesarkan kita bisa jadi hasil trial and error. Mereka sebenarnya tidak tahu pasti apa yang mereka lakukan, dan kebetulan saja kita cukup kuat hingga tidak mampus.

Jangan salah paham. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa hal-hal/pengetahuan kuno pasti salah. Yang saya maksudkan, ada banyak hal—mari sebut saja sebagian—pengetahuan kuno yang bermasalah, dan sudah tidak relevan untuk terus dipaksakan, untuk terus diterapkan.

Yang jadi masalah di sini, generasi kuno sepertinya tidak mau menyadari kenyataan itu—bahwa ada sebagian pengetahuan mereka yang bermasalah—dan terus menganggap diri mereka paling benar. Akibatnya, generasi selanjutnya mengalami dilema dan kebingungan.

“Anakmu bukan anakmu,” kata Kahlil Gibran, “mereka adalah anak-anak zamannya.” Dan berapa banyakkah yang mau menyadari kebenaran itu? Generasi kuno memaksakan pengetahuan mereka, kebenaran mereka, budaya mereka, bahkan keyakinan mereka, pada kita!

Orang-orang kuno percaya bahwa menikah akan membuat orang bahagia dan lancar rezeki. Ya silakan saja dipercaya, kalau memang mau percaya. Tapi generasi sekarang belum tentu percaya, jadi sudah tak relevan menyuruh-nyuruh orang lain cepat kawin seolah hidup cuma untuk kawin.

Orang-orang kuno percaya punya banyak anak akan melancarkan rezeki. Ya silakan dipercaya, kalau memang mau percaya. Tapi generasi sekarang belum tentu percaya, jadi sudah tak relevan menyuruh-nyuruh orang lain cepat berkembang biak seolah kami binatang ternak.

“Anakmu bukan anakmu.” Dan bocah-bocah Avengers mestinya cukup duduk manis—sambil udud—dan membiarkan Thanos menyelesaikan pekerjaannya tanpa diganggu. Karena anakmu bukan anakmu. Meski mereka mungkin menikah dan berketurunan sepertimu. 

 
;