Tadi siang check up ke dokter. Karena pasien cukup banyak, harus nunggu antrean sampai lama. Di deretan samping tempatku duduk, ada perempuan—seusia Awkarin, mungkin—bersama ibunya. Dia cantik, agak mirip Arab, dan tanpa sadar kami saling curi-curi pandang selama di sana.
Mula-mula aku tak sadar. Cuma duduk bengong campur bete, karena tidak bisa udud, sementara di kanan kiri dan di depan belakang ada banyak orang (pasien yang sama-sama menunggu antrean). Saat tak sengaja menengok ke samping kiri, aku baru menyadari keberadaan perempuan itu.
Ternyata dia juga sedang menengok, tapi buru-buru memalingkan muka, setelah sedetik kami bertatap. Beberapa waktu kemudian, karena penasaran, aku menengok lagi, dan hal sama terulang. (Kami saling tengok lewat belakang kursi, karena ada 2 orang yang duduk di antara kami).
Seiring waktu, pasien yang duduk di tengah kami akhirnya dapat panggilan, hingga bagian kursi di tengah kami pun kosong. Seharusnya ini memudahkanku untuk menengok ke perempuan tadi, tapi entah kenapa aku malah tak berani—atau malu. Akhirnya aku malah memandangi hal-hal lain.
Perempuan itu lalu duduk menunduk, bermain-main ponsel, dan hal itu akhirnya membuatku leluasa memandanginya. Dia mungkin tahu aku memandanginya—atau mungkin tidak. Yang jelas, saat aku menengok ke arah lain, aku tahu dia menengok ke arahku. Dan, sial, aku deg-degan.
Mestinya aku membuka percakapan dengannya, mengajak kenalan, menanyakan namanya, membuatnya terkesan, melihatnya tersenyum, dan sebagainya, dan sebagainya... tapi aku tidak tahu bagaimana caranya!
Akhirnya, karena bingung sendiri, aku malah keluar ruangan, dan menyulut udud.
Udud sendirian di luar, aku mengingat panjang tahun yang kuhabiskan di bangku sekolah dan di gedung kuliah, belajar banyak hal, dan tahun-tahun panjang pendidikan itu sama sekali tidak pernah mengajariku cara berkenalan dengan perempuan! Pendidikan macam apa, kalau dipikir-pikir.
Usai udud, aku kembali masuk ke ruang tunggu, dan mendapati perempuan tadi sedang menengok ke arah pintu. Seketika dia kembali menunduk, dan aku kembali ke tempat duduk semula—di samping kanannya, yang kini benar-benar kosong.
Aku kembali duduk di sana, tak tahu harus bagaimana.
Akhirnya nomor antreanku dipanggil, dan aku bangkit, masuk ke ruang dokter.
Sesaat kemudian, aku kembali muncul di ruang tunggu, dan melangkah ke pintu untuk keluar... dan pulang. Kali ini, perempuan tadi tampak menatapku, dan kami berpandangan, sementara aku terus melangkah.
Sesampai di luar, melangkah di tempat parkir, aku merasakan semacam penyesalan. Belum tentu aku akan ketemu dia lagi, meski diam-diam aku menginginkannya. Aku tidak tahu siapa dia, namanya, alamatnya, meski sebenarnya ingin tahu.
Kadang-kadang aku benci diriku, ketidakmampuanku.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 November 2020.