Bekerja adalah hak mulia yang hanya dimiliki manusia.
Mencintai pekerjaan yang dipilih adalah menjalani hidup dengan mulia.
Dalam sebuah perjalanan, saya iseng buka Twitter, dan terpikir untuk ngasih footnote atau penjelasan lebih rinci terkait catatan yang saya posting tempo hari di blog (Syarat “Komunikatif” dalam Lowongan Kerja Itu Maksudnya Apa?).
Tapi begitu mulai mengetik di Twitter, saya langsung sadar kalau ocehan itu akan sangat panjang. Jadi, daripada membuat orang lain (follower) tidak nyaman, akhirnya saya putuskan untuk menuangkannya di blog, meski nadanya seperti ocehan di Twitter. Dan inilah hasilnya. Ternyata benar-benar panjang!
....
....
Umpama, nuwun sewu, kita terlahir dalam keadaan bisu, hingga tidak bisa berbicara, dari kecil sampai dewasa. Atau, sekali lagi nuwun sewu, kita terlahir dengan bibir sumbing, sehingga—saat tumbuh besar dan dewasa—ucapan kita mungkin kurang jelas (kurang fasih) bagi orang lain.
Bisu, tunawicara, atau berbibir sumbing—dalam kasus lebih lanjut; gagu, gagap, atau semacamnya—adalah kondisi-kondisi di luar kuasa kita. Artinya, kita tidak bisa memilih terlahir sebagai orang yang fasih berbicara atau tidak; kita tidak bisa memilih untuk lahir dalam kondisi seperti apa.
Sekarang andaikan saja, kita menjalani hidup dengan kondisi kesulitan berbicara, karena kondisi-kondisi tadi. Tapi kita tidak patah semangat. Menyadari kalau kita punya kekurangan (dalam hal berbicara/komunikasi), kita pun memacu potensi diri kita dalam hal lain, selain bicara.
Jadi, sedari kecil, kita sangat rajin belajar, hingga sangat pintar dan langganan juara di sekolah. Ketika kuliah, kita menjadi mahasiswa teladan karena kecerdasan yang luar biasa. Di luar pembelajaran, kita juga memacu diri untuk rajin bekerja—kita melakukan apa pun penuh semangat.
Langit menyaksikan, kita menjadi pribadi tangguh yang tak terkalahkan oleh kekurangan akibat bisu, tunawicara, atau kesulitan berbicara. Alih-alih terkalahkan oleh kekurangan itu, kita justru menempa diri hingga menjadi pribadi luar biasa, meski tetap dengan kekurangan tadi.
Seusai lulus kuliah, kita mulai mencari pekerjaan yang cocok, seperti umumnya orang lain. Kita mencari-cari berita lowongan kerja, di koran, juga internet. Dan setiap kali kita menemukan berita lowongan kerja yang sesuai, kita selalu dihadapkan pada syarat “komunikatif”.
Sekarang, bayangkan dan tempatkan posisimu pada orang semacam itu. Kau memiliki kemampuan belajar (bisa belajar apa pun dengan cepat), memiliki kecintaan dalam bekerja (bisa bekerja dengan penuh semangat), tapi kau tidak mungkin komunikatif, karena nyatanya kau bisu.
Itu jelas kondisi yang... well, apa istilah yang tepat untuk hal ini? Dilematis? Menghancurkan hati? Ya, mungkin dilematis. Dan itulah kegelisahanku, hingga menulis ocehan ini: Syarat “Komunikatif” dalam Lowongan Kerja Itu Maksudnya Apa?
Di luar sana, ada orang-orang hebat nan malang semacam itu. Mereka memiliki potensi yang dibutuhkan perusahaan; untuk bekerja dengan giat, penuh semangat, sekaligus bisa belajar apa pun dengan cepat. Tapi kita meruntuhkan hati mereka dengan syarat berbunyi, “Komunikatif”.
Tentu wajar kalau syarat “komunikatif” itu ditujukan untuk [lowongan] pekerjaan yang memang membutuhkan komunikasi sebagai syarat mutlak. Misal resepsionis, atau pekerjaan lain yang memang mempersyaratkan komunikasi lisan sebagai hal dasar yang tak bisa diubah.
Tapi untuk [lowongan] pekerjaan yang sebenarnya tidak membutuhkan komunikasi lisan dan mempersyaratkan “komunikatif”, itu bukan hanya aneh, tapi juga terkesan dikriminatif, khususnya pada orang-orang yang memang tidak bisa komunikasi lisan akibat kondisi mereka.
Mungkin akan lebih baik jika penyebutan “komunikatif” diganti dengan kalimat yang lebih spesifik, misal, “Mampu berkomunikasi secara baik dengan klien atau rekan kerja”, dan semacamnya—meski tidak secara lisan; misal lewat tulisan, chatting, atau sarana lain yang memungkinkan.
Jika aku diminta memilih; A) Pekerja yang tidak bisa berkomunikasi karena bisu tapi hasil pekerjaannya sangat memuaskan; atau B) Pekerja yang pintar mbacot (komunikatif) tapi pekerjaannya berantakan; aku jelas akan memilih A, pekerja yang meski bisu tapi pekerjaannya bagus!
Itu contoh ekstrem bahwa kemampuan berkomunikasi yang baik tidak selalu menjamin kemampuan bekerja yang sama baik. Sebagian orang memiliki kekurangan fisik tertentu, khususnya bisu (tidak “komunikatif”), tapi mereka bisa bekerja dengan baik. Menolak mereka adalah diskriminasi.
Dalam The Magic of Thinking Succes, David J. Schwartz mengisahkan lowongan kerja sales door to door yang menjual barang-barang tertentu. Sales door to door tentu butuh kemampuan komunikasi yang baik, khususnya untuk “merayu” calon pembeli agar mau membeli dagangannya.
Ketika lowongan itu dibuka, salah satu yang melamar adalah seorang pria gagap. Sambil menyodorkan lamaran, pria itu berkata, “Sssa-sa... saya tid-tidak bbbisa bbb-be-berkomunikasi dddengan bbbaik, ttap-tapi sssaya bbbisa bbb-beb-bekerja ddengan bbbaik.” Pria itu diterima.
Singkat cerita, hasil penjualan pria gagap itu jauh mengungguli rekan-rekannya sesama sales, yang bisa berkomunikasi dengan baik. Bagaimana keanehan semacam itu bisa terjadi? Karena kemampuan kerja yang baik jauh lebih penting dibanding [sekadar] kemampuan komunikasi!
Bahkan untuk pekerjaan yang jelas-jelas membutuhkan kemampuan komunikasi—dalam contoh ini sales door to door—nyatanya kemampuan komunikasi kalah dengan kemampuan bekerja (antusiasme, kejujuran, sikap yang baik/hormat pada orang lain, dan hal-hal positif lainnya).
Ocehan ini, kalau kulanjutkan, masih panjang sekali, dan mungkin baru selesai tahun 8597, dan kalian pasti sudah pensiun, atau malah sudah mati. Jadi, sekarang kita akan melompat ke bagian akhir catatanku di blog, yaitu tentang kisah bertahun lalu, ketika aku ingin jadi tukang sapu di rumah Ayu Utami.
Itu bukan gurauan. Ada suatu masa ketika aku benar-benar ingin jadi tukang sapu di rumah Ayu Utami. Suatu masa bertahun lalu, ketika aku baru lulus SMA, dan sangat mengagumi Ayu Utami. Kisahnya dimulai dari sebuah tulisan di koran Sindo (Seputar Indonesia) edisi Minggu.
Setiap Minggu, Ayu Utami menulis catatan di koran Sindo (rubriknya bernama Kodok Ngorek). Bertahun-tahun lalu, Ayu Utami mengisahkan tentang tukang sapu (tukang kebun) di rumahnya, yang suka membaca buku-buku miliknya, tapi tidak dikembalikan ke tempat semula.
Aku tidak ingat apa judul catatan yang mengisahkan hal itu. Yang jelas, Ayu Utami mengisahkan kekesalannya pada si tukang sapu. Dia senang si tukang sapu membaca buku-buku miliknya, tapi Ayu Utami berharap si tukang sapu mengembalikan buku ke tempatnya semula.
Gara-gara membaca catatan itu, aku jadi terpikir untuk melamar kerja jadi tukang sapu di rumah Ayu Utami. Dalam bayanganku, waktu itu, pasti menyenangkan kalau aku bisa bekerja di tempat orang yang kukagumi, melihatnya setiap hari, bahkan ikut membaca buku-buku miliknya.
Waktu itu aku baru lulus SMA, dan Ayu Utami masih lajang, meski usianya jauh lebih dewasa dariku. Di masa itu, di mataku, Ayu Utami adalah semacam... well, Awkarin era ’90-an—terkenal “mbeling”, kontroversial, tapi pintar. Karena itulah, aku ingin jadi tukang sapu di rumahnya.
Sayangnya, ada sesuatu yang menghentikan rencanaku waktu itu. Pertama, Ayu Utami anti [asap] rokok, sementara waktu itu aku sudah aktif merokok. Aku jelas tidak akan diterima jika melamar jadi tukang sapu di rumahnya. Bersama alasan lain, akhirnya aku membatalkan rencana.
Well, itu kisah masa lalu, dan Ayu Utami kini telah menikah, sementara aku juga telah dewasa. Dan sampai kini aku tetap meyakini, tidak ada pekerjaan yang lebih mulia atau lebih rendah—seperti tukang sapu, misalnya. Karena baik-buruknya pekerjaan, bergantung sebaik apa kita mengerjakannya.
Jika sewaktu-waktu, umpama, Awkarin membuka lowongan tukang sapu/tukang kebun di rumahnya, mungkin aku akan melamar—dengan alasan sama seperti dulu aku ingin melamar jadi tukang sapu di rumah Ayu Utami. Karena pekerjaan terbaik adalah pekerjaan yang kita cintai.