Yang paling sulit dilakukan di dunia adalah menyatakan sesuatu
yang jelas dan nyata, tapi tidak akan ada yang percaya.
—@noffret
yang jelas dan nyata, tapi tidak akan ada yang percaya.
—@noffret
Catatan ini masih berhubungan dengan tukang batu di rumah saya. Seperti yang telah diceritakan di posting sebelumnya, proses pengerjaan renovasi itu membutuhkan waktu sampai seminggu lebih.
Selama menemani para tukang batu bekerja di belakang rumah, saya memperhatikan pekerjaan mereka tidak bisa dibilang ringan. Bolak-balik mengangkuti ember berisi adukan semen dan pasir hingga puluhan kali, jelas pekerjaan berat. Dibanding pekerjaan mereka, pekerjaan saya tidak ada apa-apanya. Setiap hari saya hanya duduk dan berpikir—tidak mengangkat apa pun yang berat, bahkan tanpa keluar keringat. Tetapi, meski begitu, pekerjaan yang “ringan” itu sering membuat saya kecapekan.
Rupanya, para tukang batu juga memperhatikan aktivitas saya. Beberapa kali mereka butuh hal-hal tertentu, atau menanyakan sesuatu berkaitan renovasi itu, dan seorang dari mereka menemui saya. Biasanya, ketika mereka datang, saya sedang duduk, merokok, dan mengerjakan sesuatu yang mungkin aneh di mata mereka. Biasanya pula, mereka akan berdiri sejenak, memperhatikan, mungkin karena tertarik ingin tahu apa yang sedang saya kerjakan.
Suatu siang, saat para tukang batu beristirahat untuk makan, saya menemani mereka sambil merokok. Saya bertanya, “Pak, sampeyan bekerja berat seharian gitu, biasanya kalau malam capek, nggak?”
“Ya capek lah, Mas,” sahutnya. “Badan pegal-pegal semua. Tapi kalau udah main-main sama anak, capeknya nggak terasa lagi.”
Saya tahu jawaban itu jujur. Jadi saya pun percaya. Di dunia ini, salah satu cinta yang tulus adalah cinta seorang ayah kepada anaknya. Seorang lelaki rela bekerja keras, banting tulang, memeras keringat, bahkan darah dan air mata, demi anak-anaknya. Karena cinta itu pula, segala lelah dan letih karena bekerja keras seketika hilang saat asyik bermain bersama anak-anaknya.
Lalu seorang dari mereka bertanya, “Mas, kok rumahnya sepi terus, ya? Apa nggak ada keluarga yang tinggal di sini?”
Saya menjelaskan, ibu dan adik saya tinggal di tempat lain, dan saya hidup sendirian di rumah.
“Jadi, Mas ini belum menikah?” tanyanya lagi.
“Belum.”
Mungkin, bagi mereka kenyataan itu sangat aneh. Jadi, dengan segala keluguan, tukang batu itu kembali bertanya, “Kenapa belum menikah, Mas?”
Saya menjawab, “Karena saya belum pengin menikah.”
“Belum pengin?” dia terkejut, dan ekspresinya seolah mengatakan, “MENIKAH BELUM PENGIN? MEMANGNYA APA YANG KAMU PENGIN DI DUNIA INI?”
Dengan suara datar, saya mencoba menjelaskan, “Pekerjaan saya membutuhkan konsentrasi, hingga butuh ketenangan, dan kehadiran istri serta anak-anak akan mengganggu konsentrasi saya bekerja.”
Karena sebelumnya mereka telah melihat aktivitas dan pekerjaan saya sehari-hari, tampaknya mereka percaya jawaban itu. Meski sebenarnya jawabannya jauh lebih rumit. Tapi saya tidak bisa menjelaskannya kepada mereka. Bukan karena mereka belum tentu mampu memahami penjelasan saya, melainkan karena kemungkinan besar mereka tidak akan percaya.
Sekarang, saya akan menjelaskan sesuatu, dan ada kemungkinan kalian pun tidak akan percaya. Saya hanya akan menjelaskan garis besarnya, secara singkat, tanpa detail-detail yang bikin pusing, dan coba lihat seberapa besar kepercayaan kalian pada pemaparan ini.
Well.
Dunia kita saat ini sedang menghadapi masalah besar, dan masalah besar itu adalah ledakan populasi. Sepanjang sejarah umat manusia, belum pernah planet ini menghadapi masalah sebesar yang sedang kita hadapi. Kita—atau sebagian besar manusia—mungkin tidak menganggapnya masalah. Tapi ada orang-orang yang menyadari masalah ini jauh-jauh hari, dan mereka telah berupaya melakukan segala cara untuk mengatasinya. Berita buruknya, yang mereka lakukan adalah upaya depopulasi.
Tahu kenapa Perang Dunia I dan Perang Dunia II meletus? Jawabannya bukan perluasan wilayah atau agresi satu negara kepada negara lain. Juga bukan karena aksi balas dendam akibat pembunuhan seorang pangeran sebagaimana yang kita baca di buku sejarah. Pun bukan semata karena kegilaan segelintir orang seperti Hitler atau Mussolini. Alasan sesungguhnya dua perang besar itu terjadi adalah depopulasi. Perang adalah cara mudah mengurangi populasi bumi.
Hitler dan Mussolini hanyalah pemicu—dua bocah itu sengaja dikorbankan untuk menjadi kambing hitam. Kematian pangeran Austria hanyalah pemicu—kisahnya sengaja diplot untuk memantik sumbu perang. Serangan Jepang ke Pearl Harbor hanyalah pemicu—Amerika sengaja membiarkan hal itu terjadi, agar mereka punya alasan untuk terjun ke kancah peperangan. Perang Dunia bukan perang spontanitas banyak negara—itu peristiwa yang telah dirancang jauh-jauh hari agar terjadi.
Memasuki abad ke-21, dunia semakin beradab. Perang tidak mungkin lagi dilakukan secara barbar, apalagi setelah dibentuknya PBB dan segala organisasi di bawahnya yang meliputi kerjasama antarnegara, ekonomi, kesehatan, penghijuan alam, sampai urusan pengungsi. Tetapi bukan berarti upaya depopulasi telah berhenti. Karena upaya menghalau ledakan penduduk tak mudah lagi dilakukan dengan perang, upaya itu pun kini dilakukan dengan cara lebih tersamar.
Mengapa wabah obesitas terjadi di mana-mana? Mengapa berbagai penyakit baru terus bermunculan, padahal teknologi kedokteran semakin canggih dan modern? Mengapa HIV/AIDS muncul pertama kali di Afrika? Mengapa bisa terjadi aneka flu aneh dari hewan-hewan, dari flu burung sampai flu unta? Mengapa resesi ekonomi terus terjadi tahun demi tahun dan menggilas banyak negara, hingga utang terus bertumpuk dan IMF serta Bank Dunia makin berkuasa? Mengapa ISIS bisa melenggang santai seolah tak bisa dikalahkan, padahal mereka “cuma” organisasi kecil-kecilan? Dan yang terbaru, mengapa wabah ebola bisa kembali muncul di dunia, padahal itu “barang lama”?
Jika kalian menganggap semua itu kebetulan—selamat, kalian telah menjadi bagian skenario besar pembodohan massal.
Pertanyaan-pertanyaan di atas hanya sebagian kecil dari setumpuk pertanyaan lain, yang semuanya mengarah pada satu hal; upaya depopulasi. Dan ketika kita mulai memikirkan implikasi serta apa yang akan terjadi, hasilnya adalah kengerian tak terperi. Silakan bilang saya gila atau terlalu paranoid. Tapi dengarkan ini. Perang Dunia III tidak lama lagi akan terjadi, dan perbudakan umat manusia akan segera dimulai.
Michel Chossudovsky, pemikir masalah globalisasi dan kontributor Encyclopædia Britannica, menulis buku berjudul Towards a Word War III Scenario: The Danger of Nuclear War. Dalam buku yang terbit pada 2011 itu, Michel Chossudovsky menjelaskan bagaimana perkembangan dunia masa kini akan membawa kita semua menuju Perang Dunia III. Jika kita aktif memantau berita-berita internasional, kita akan bersepakat dengannya.
Makanan-makanan yang kita konsumsi saat ini sudah tidak sehat lagi—berbagai racun dimasukkan ke dalamnya, dan racun-racun itu diberi nama lain seolah tidak berbahaya. Hasilnya adalah obesitas, berbagai penyakit, aneka kanker, dan masalah kesehatan. Tujuan akhirnya adalah depopulasi. Berbagai wabah diciptakan—dari flu burung sampai flu unta, dari AIDS sampai ebola—dan tujuan akhirnya tetap sama; depopulasi.
Omong-omong, HIV/AIDS adalah karya gemilang sekelompok keparat genius yang benar-benar canggih dalam program depopulasi. Dibutuhkan waktu hingga 15 tahun bagi seseorang untuk menyadari dirinya mengidap HIV, dan selama itu pula ada kemungkinan dia telah menularkan penyakitnya kemana-mana tanpa menyadari. Infeksi virus atau bakteri paling primitif pun tidak akan secanggih itu, jika benar-benar alami.
Kemudian, resesi sengaja diciptakan, agar negara-negara di dunia terus kolaps dan bergantung pada IMF serta Bank Dunia hingga tercipta ketergantungan, agar mereka punya kuasa untuk mengendalikan. Dan bagaimana dengan ISIS yang semakin menggila? Kalau Amerika—yang menganggap dirinya polisi dunia—memang ingin ISIS hancur, itu pekerjaan mudah. Amerika tinggal mengontak konco-konconya, lalu bersama menyerbu dengan berbagai alasan, dan riwayat ISIS pun tamat. Mereka bisa dengan mudah menyamakan ISIS dengan Al-Qaeda. Tapi tidak—mereka sengaja membiarkan ISIS semakin berkuasa dan merajalela, karena itulah kelak yang akan menjadi pemicunya.
Pemicu apa...?
Pemicu apa lagi? Jelas, pemicu Perang Dunia III.
Seperti yang disinggung atas, perang secara barbar tidak mungkin lagi dilakukan di masa sekarang. Maka upaya depopulasi pun dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya meracuni makanan dan minuman, serta menciptakan aneka wabah dan penyakit. Tapi itu butuh waktu lama, sementara ledakan populasi terus terjadi. Tingkat kematian dan kelahiran tidak seimbang. Harus ada cara lain yang lebih cepat untuk mengurangi penduduk bumi, dan itu adalah perang.
Karena perang tidak bisa dilakukan secara mudah di masa sekarang, berbagai “upaya tersamar” pun diciptakan—salah satunya adalah ISIS. Lihat, pelajari, dan perhatikan. Bagaimana bisa organisasi semacam ISIS sangat cepat berkembang hingga mendapatkan kekuasaan semakin besar dalam waktu singkat. Tidak, itu sangat tidak alami. ISIS sengaja diciptakan, dibiarkan, bahkan didukung diam-diam oleh sekelompok kekuatan, agar bisa terus berkuasa dan berkembang, hingga masuk ke berbagai negara sebagai kekuatan baru.
Kelak, setelah itu terjadi, dan ISIS semakin kuat di banyak negara, maka dalih akan diciptakan, dan berbagai media internasional akan berkomplot mengembuskan isu yang sama. Mungkin ISIS akan disebut sebagai teroris atau apa pun, lalu Amerika akan tampak gerah. PBB akan mengeluarkan fatwa, NATO akan dibangunkan dari tidurnya, negara-negara besar akan waspada, lalu persenjataan nuklir akan disiagakan.
Oh, hell, kalian pikir kenapa banyak negara di dunia ini mempersiapkan senjata-senjata nuklir, padahal dunia katanya damai sentosa karena telah ada PBB?
Jadi, percaya atau tidak, Perang Dunia III akan terjadi, bahkan pasti akan terjadi. Karena itulah satu-satunya cara efektif untuk mengurangi penduduk bumi dalam jumlah besar-besaran. Jauh-jauh hari Albert Einstein telah mengkhawatirkan hal itu, saat ia galau akibat banyaknya persenjataan nuklir di dunia ini, dan berbisik, “Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Perang Dunia III terjadi.”
Yang akan terjadi, Albert, adalah musnahnya separuh lebih penduduk bumi. Itulah yang diinginkan sekelompok orang paling berkuasa di dunia ini—depopulasi, depopulasi, depopulasi—karena penduduk planet ini sudah terlalu banyak dan tak bisa lagi dikendalikan. Jika perang besar dilakukan, kehidupan manusia akan hancur. Jika perang besar tidak dilakukan, kehidupan planet bumi yang akan hancur. Jadi, kesimpulannya sangat jelas—Perang Dunia III akan terjadi, dan pasti terjadi.
Jika perang besar itu tidak terjadi di zaman kita, maka akan terjadi pada zaman anak-anak kita. Bagi saya, kenyataan itu sepasti matahari terbit di esok pagi.
Itulah yang paling saya khawatirkan dalam hidup. Jika saya memiliki anak-anak sekarang, sama artinya saya mewariskan kehancuran dunia, zaman kegelapan, dan malapetaka bagi mereka. Perang adalah tragedi paling buruk yang bisa dialami manusia. Sayangnya, ledakan populasi manusia yang makin tak terkendali telah mengundang perang itu datang demi memusnahkan sebagian mereka. Saya tak bisa membayangkan bagaimana nasib anak-anak saya ketika itu terjadi. Saya tak bisa membayangkan kengerian macam apa yang akan mereka hadapi.
Sampai di sini, kalian mungkin akan menganggap saya gila atau terlalu paranoid. Karena itu pula, saya pun sengaja tidak menjelaskan hal ini pada para tukang batu di rumah saya. Mereka orang-orang lugu dan baik, yang mencari nafkah dengan cara baik, demi keluarga dan anak-anak mereka. Saya tidak ingin merusak kebahagiaan mereka dengan penjelasan mengerikan ini. Karena toh mereka belum tentu mau mempercayai.
Orang sering mengatakan, kita hidup di zaman akhir. Memang benar. Sayangnya, “zaman akhir” yang akan terjadi tidak seperti yang mereka bayangkan. Zaman akhir yang akan segera terjadi adalah perang nuklir akibat populasi manusia yang sudah tak bisa lagi dikendalikan.
Kelak, jika memungkinkan—dan jika saya masih hidup—saya akan memaparkan topik ini lebih detail, dengan penjelasan gamblang dan jelas, lengkap dengan data dan fakta dari berbagai negara, hingga kita semua menyadari dan memahami... bahwa masalah terbesar umat manusia saat ini adalah diri kita sendiri.