Sehelai daun lepas dari ranting. Diembus angin,
melayang-layang bersama udara. Lalu jatuh di tanah basah.
Di kejauhan, takdir tertawa.
—@noffret
melayang-layang bersama udara. Lalu jatuh di tanah basah.
Di kejauhan, takdir tertawa.
—@noffret
Mereka duduk berhadapan, dipisahkan meja yang di atasnya terletak beberapa gelas, hidangan penutup, dan asbak. Mereka berada di ruang tertutup yang terisolasi dari pengunjung lainnya, sehingga dapat bercakap-cakap dengan tenang, tanpa terganggu suara lain. Mereka dua lelaki yang sedang bernostalgia. Percakapan mereka diselingi asap rokok yang membubung ke langit-langit.
Lelaki pertama berkata, “Entah mengapa, setiap kali aku pergi ke tempat jauh, seperti ini, aku selalu khawatir akan mati di sini.”
Lelaki kedua tersenyum. “Kenapa kau berpikir seperti itu?”
“Aku tidak tahu. Tapi pikiran seperti itu sering masuk begitu saja.”
“Dan apa yang membuatmu khawatir? Maksudku, apa yang membuatmu khawatir kalau sewaktu-waktu kau mati di sini?”
“Kau pernah mati, my friend?”
Lelaki kedua tertawa. “Kau pernah mandi di Sungai Nil?”
Lelaki pertama membalas tawa temannya. “Well, maksudku, jika sewaktu-waktu aku mati di mana pun, aku ingin ada seseorang yang kukenal—seseorang yang kukenal, dan menemaniku saat aku sekarat.”
Lelaki kedua masih tersenyum. “Don’t worry. Aku akan menemanimu.”
“Aku percaya,” ujar lelaki pertama serius. “Tapi bagaimana kalau aku mati di tempat lain? Well, kau tahu, bagaimana kalau umpama aku mati di Gurun Sahara, atau Gurun Nevada, atau gurun sialan lain, dan di sana tidak ada satu orang pun yang kukenal?”
Lelaki kedua mengisap rokoknya, lalu mengembuskan asapnya perlahan-lahan. Kemudian, dengan wajah serius, dia menatap sahabatnya. “Kenapa kau sampai berpikir seperti itu?”
Lelaki pertama mengambil gelas di hadapannya, dan meneguk isinya yang nyaris habis. Setelah itu, dengan suara lirih, dia berkata, “Kau pernah menyaksikan seseorang yang sedang sekarat? Maksudku, seseorang yang seumur denganmu—teman, saudara, atau siapa pun.”
“Belum.”
“Aku pernah. Well... itu terjadi bertahun-tahun lalu. Seseorang yang kukenal. Aku menyaksikannya sekarat, hingga kemudian dia benar-benar pergi. Selamanya. Dalam hitungan waktu, itu hanya beberapa menit. Dalam bayanganku, itu serasa berabad-abad. Selama sekarat, dia berkali-kali menyebut, ‘aku dewi... aku dewi...’, nyaris terus-menerus.”
“Dan itu... itu maknanya apa? Maksudku, kata yang diucapkannya.”
“Aku tidak tahu. Tapi dia terus-menerus menyebut kata itu dalam igauannya yang mungkin tak sadar, ketika nyawanya perlahan-lahan melayang.”
“Dan...?”
“Dan aku tak pernah bisa melupakannya. Sampai saat ini. Aku tak tahu mengapa, tapi bayangan itu terus menghantuiku. Dan karena itu pula, entah kenapa, aku jadi sering berpikir usiaku tak lama. Entah datang dari mana, aku seperti meyakini tak pernah dapat hidup sampai tua.”
“Apa maksudmu?”
Lelaki pertama menatap sahabatnya, sementara asap bergulung-gulung di antara mereka. “Well, my friend. Kau pernah membayangkan dirimu yang telah tua, memiliki keluarga—istri dan anak-anak—dan kau menyaksikan pertumbuhan mereka?”
“Sering.”
“Dan kau bisa membayangkannya—bisa melihat semua itu dalam bayanganmu?”
“Ya. Sejelas aku menginginkannya.”
“Itulah. Aku tak pernah bisa.”
“Tak pernah bisa?”
“Aku tak pernah bisa membayangkan hal semacam itu. Berkali-kali—oh, hell, ribuan kali—aku mencoba membayangkan diriku yang tua, mungkin telah memiliki beberapa anak yang telah tumbuh besar, dewasa, tapi aku tak pernah bisa melakukannya. Setiap kali aku membayangkan hal semacam itu—masa-masa hidupku di waktu mendatang—bayanganku akan berhenti beberapa tahun sebelum aku berusia empat puluh. Sekuat apa pun aku berusaha membayangkan lebih jauh lagi, imajinasiku tak pernah mampu.”
Setelah mengisap asap rokoknya, lelaki pertama melanjutkan, “Imajinasi, kau tahu, barang mainan bagiku. Aku bisa membayangkan apa saja, seliar apa pun, segila apa pun. Aku bisa membayangkan siapa pun masuk ke dalam imajinasiku, dan mengalami apa pun yang kuinginkan. Tapi anehnya aku justru tak pernah mampu membayangkan diriku sendiri dalam kondisi yang kuinginkan dalam imajinasi itu.”
Lelaki kedua mengangguk. “Intinya, kau tidak bisa membayangkan dirimu menjadi tua?”
“Setepatnya, aku tidak bisa membayangkan diriku mencapai usia tua.”