Di catatan sebelumnya, kita telah mengobrolkan syarat mutlak untuk bisa menulis dengan baik, bahkan produktif, yaitu dengan cara mencintai menulis. Sebenarnya, cinta terhadap aktivitas menulis bahkan lebih penting daripada sekadar cita-cita ingin menjadi penulis. Karena, orang yang bercita-cita menjadi penulis bisa jadi tidak mampu mencapainya, karena tidak adanya cinta. Sebaliknya, orang yang mencintai menulis lebih mungkin menjadi penulis, meski bisa jadi dia tidak bercita-cita menjadi penulis.
Baca: Media Online Paling Memuakkan
Cita-cita dan impian adalah faktor penting—sama pentingnya dengan bakat, pendidikan, dan faktor lain. Tapi cinta adalah faktor terpenting, karena merupakan fondasi tempat cita-cita dan impian ditaburkan, tempat bakat dan pendidikan dibangun. Tanpa cinta, orang tidak bisa melakukan segala sesuatu dengan baik. Jangankan melakukan hal sulit seperti menulis, bahkan mencuci piring pun butuh cinta! Tanpa cinta, kita tidak bisa mencuci piring dengan baik, bahkan tidak menutup kemungkinan piring itu akan pecah karena kita grusa-grusu dan tidak hati-hati mencucinya.
Sering kali, guru yang paling kita kagumi adalah guru yang mengajar dengan cinta—bukan guru yang mengajar sebagai sekadar pekerjaan. Dokter yang paling kita sukai juga dokter yang melayani dengan cinta—bukan dokter yang memeriksa dan melayani sebagai sekadar pekerjaan. Memang benar bahwa mereka bekerja sebagai guru atau sebagai dokter, tetapi mereka menambahkan satu unsur penting, yaitu Cinta. Itulah yang membedakan guru mengagumkan dengan guru biasa, yang membedakan dokter istimewa dengan dokter kebanyakan.
Di dunia tulis menulis, kita juga mengenal penulis-penulis mengagumkan dan penulis-penulis biasa. Sering kali, yang menjadi pembeda di antara keduanya adalah cinta. Orang-orang yang menulis dengan cinta tidak hanya mampu menulis dengan baik, tapi juga produktif, dan memiliki daya yang mampu menyentuh hati pembacanya. Memang benar bahwa mereka menjadikan menulis sebagai pekerjaan, tetapi mereka memiliki satu unsur penting yang tidak dimiliki orang-orang lainnya, yaitu Cinta. Cintalah yang menjadikan orang biasa tampak istimewa.
Jadi, untuk kesekian kalinya, resep pertama dan terutama untuk bisa produktif menulis adalah mencintai menulis. Tanpa cinta, kita tidak akan bisa menulis dengan baik, apalagi produktif.
Nah, setelah resep pertama terpenuhi, apa lagi resep lainnya untuk produktif menulis?
Berdasarkan pengalaman pribadi, saya akan lebih produktif jika menulis sesuatu yang saya minati, atau yang saya sukai. Menulis sesuatu yang kita minati atau sukai membuat kita bergairah menulisnya. Meski telah menulis berjam-jam, kita tidak merasa lelah atau bosan, karena topik yang kita tulis benar-benar kita sukai. Karena kita menyukai, kita pun meminatinya. Dan, biasanya, yang kita minati sering kali menjadi sesuatu yang kita kuasai. Hasilnya, kita bisa menulis dengan asyik.
Sebaliknya, menulis sesuatu yang tidak kita minati sering kali menyiksa. Rasanya tak jauh beda dengan mengerjakan soal-soal ujian untuk pelajaran yang tidak kita suka. Baru menulis beberapa lembar saja, kita sudah capek. Baru menulis beberapa menit saja, kita sudah bosan. Sesuatu yang tidak kita sukai sering kali tidak menimbulkan minat. Karena kita tidak berminat, kita pun sering kali tidak menguasainya. Karena kita tidak menguasai, kita pun kehilangan gairah saat menulisnya.
Jadi, produktifitas menulis bisa dipacu jika kita menyukai atau meminati topik yang kita tulis. Jika kita ingin terus-menerus produktif, maka kita harus terus-menerus menulis sesuatu yang kita minati, atau meluaskan minat kita sehingga banyak hal yang membuat kita terus bergairah menulisnya.
Kadang-kadang, kita kehilangan gairah menulis. Kehilangan gairah semacam itu bisa jadi karena kita memang sedang malas, atau karena minat kita sangat terbatas. Bagaimana pun, rasa malas memang kadang muncul, dan bisa disiasati dengan beragam cara, seperti refresing, mencari hiburan, hingga pikiran kita kembali segar dan siap menulis kembali. Tapi bisa jadi pula hilangnya gairah menulis karena kita kehabisan ide dan topik yang membuat bergairah. Jika masalahnya seperti itu, maka yang perlu kita lakukan adalah meluaskan minat. Sukai banyak hal!
Semakin banyak hal yang kita sukai, makin banyak topik yang kita minati. Semakin banyak topik yang kita minati, kita akan terus bergairah menulis, karena ide terus mengalir. Finish-nya, kita pun tidak berhenti belajar, karena terus menyukai hal-hal baru, terus meluaskan minat, dan terus menguasai banyak topik penulisan. Dengan cara itu, kita tidak hanya akan terus produktif menulis, tetapi juga semakin luas wawasan dan pengetahuan, dan terus bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
Itu resep kedua.
Selain menulis topik yang kita sukai dan minati, apa lagi resep lain agar bisa terus produktif menulis? Jawabannya disiplin!
Tom Clancy, penulis Amerika yang disebut “novelis techno-thriller”, biasa menulis novel dengan ketebalan luar biasa. Executive Orders, misalnya, memiliki ketebalan lebih dari 1.500 halaman. Sementara novel-novelnya yang lain rata-rata memiliki ketebalan antara 500-1.000 halaman. Bagaimana Tom Clancy bisa terus melahirkan novel-novel tebal seperti itu?
Ketika ditanya mengenai resep produktifitasnya, Tom Clancy menceritakan, bahwa dia biasa menulis 10 halaman setiap hari. Hanya 10 halaman setiap hari! Tetapi dia disiplin—terus melakukannya setiap hari, hari demi hari, tak pernah berhenti. Meski hanya 10 halaman per hari, jumlah halaman itu pun segera menjadi tebal karena kedisiplinan. Dalam satu bulan, Tom Clancy bisa menulis 300 halaman. Dalam tiga bulan, jumlahnya telah meningkat menjadi 900 halaman.
Hanya 10 halaman per hari, tapi disiplin—itulah resep produktifitas Tom Clancy, hingga bisa menulis novel-novel yang sangat tebal. Suatu contoh yang layak ditiru!
Sejak pertama kali tahu hal itu, saya pun meniru Tom Clancy. Sejak itu, saya mendisiplinkan diri untuk menulis 10 halaman setiap hari. Sebagaimana latihan hal lain, mula-mula memang terasa berat. Tetapi, lama-lama, menulis 10 halaman per hari mulai terbiasa, dan tidak terasa berat lagi. Seiring hari demi hari, saya terus rutin dan disiplin menulis 10 halaman per hari, dan dalam satu bulan saya bisa menulis 300-an halaman. Akhirnya, karena ingin meningkatkan produktifitas, saya mulai membuat “aturan main” pribadi.
Sejak beberapa tahun lalu, saya menetapkan aturan bagi saya sendiri. Dalam satu hari, saya mewajibkan diri sendiri untuk menulis minimal 10 halaman setiap hari. Boleh lebih banyak dari 10 halaman, tapi tidak boleh kurang. Jika suatu hari saya menulis sampai 15 atau 17 halaman, saya akan menepuk-nepuk diri sendiri. Tapi jika suatu hari saya menulis kurang dari 10 halaman—apa pun alasannya—maka kekurangannya akan saya anggap utang, dan saya harus membayarnya sampai lunas.
Jadi, umpama hari ini saya hanya menulis 6 halaman, maka artinya saya punya utang 4 halaman. Besok saya harus membayar utang tersebut, dan itu artinya saya harus menulis minimal 14 halaman. Jika besok ternyata saya hanya mampu menulis 9 halaman, maka artinya utang saya bertambah, menjadi 5 halaman. Besoknya lagi saya harus menulis minimal 15 halaman—dan begitu seterusnya.
Pernah, karena sakit parah, seperti yang pernah saya ceritakan di sini, saya tidak bisa menulis sampai berhari-hari, karena tubuh sangat lemah. Tapi saya tidak peduli! Disiplin tetap disiplin! Meski sakit parah seperti itu pun, hari-hari yang berjalan terus saya hitung. Sepanjang sakit waktu itu, saya tidak menulis selama 18 hari. Artinya, saya punya utang tulisan 180 halaman. Dan saya mewajibkan diri sendiri untuk membayar utang itu! Dan saya tidak mau mendengar alasan apa pun!
Jadi begitulah. Setelah badan terasa sehat dan mulai bisa kembali menulis, saya pun mulai membayar utang. Karena jumlahnya cukup banyak, saya tidak bisa membayarnya sekaligus. Jadi saya pun mencicilnya hari demi hari, sampai utang 180 halaman itu lunas, seiring saya terus melakukan kewajiban menulis 10 halaman setiap hari. Sakit bisa terjadi sewaktu-waktu, tapi disiplin tetap disiplin!
Di lain waktu, kadang saya perlu pergi ke suatu tempat hingga beberapa hari, dan tidak bisa menjalankan kewajiban menulis 10 halaman per hari. Biasanya, jika akan menghadapi hal seperti itu, saya akan “membayar di muka”. Artinya, sebelum berangkat pergi beberapa hari, saya akan menulis sebanyak jumlah hari yang akan saya gunakan.
Misalnya, jika saya akan pergi selama 4 hari dan tidak menulis selama itu, maka saya akan “membayar di muka” sebanyak 40 halaman sejak hari-hari sebelumnya. Jika saya tidak bisa melakukannya, maka kekurangannya akan dianggap utang.
Meski mungkin terdengar berat, tapi menulis berpuluh-puluh halaman tidak terlalu berat jika kita benar-benar mencintai menulis, dan menyukai atau meminati topik yang kita tulis. Karena itulah, resep pertama agar terus produktif menulis adalah cinta, kemudian menyukai topik yang kita tulis. Dalam keadaan mood sangat tinggi, saya bahkan bisa menulis 40 sampai 50-an halaman setiap hari.
Cinta adalah syarat pertama untuk produktif. Sementara untuk terus asyik menulis, kita memerlukan minat atas topik yang kita tulis. Jika minat kita terbatas, kita bisa meluaskannya dengan lebih banyak belajar dan mengenal hal-hal baru.
Setelah minat kita luas hingga terus menyukai hal-hal yang kita tulis, maka resep selanjutnya adalah kedisiplinan, atau kemampuan mendisiplinkan diri. Soal bagaimana caranya, itu terserah masing-masing kita. Yang baik bagi saya belum tentu baik pula bagi orang lain. Jadi pilihlah sendiri cara yang terbaik untuk disiplin, lalu terapkan dan biasakan kedisiplinan itu sampai menjadi kegiatan sehari-hari, hingga kita tidak merasa berat melakukannya.
Aturan disiplin yang saya terapkan—sebagaimana yang dijelaskan di atas—mungkin “terlalu keras”, dan saya pun menyadarinya. Mendisiplinkan diri menulis minimal 10 halaman setiap hari memang kadang terasa berat, khususnya ketika sakit atau sedang pusing menghadapi masalah. Tetapi, saya pun menyadari, berat kedisplinan hanyalah beberapa ons, sementara akibat kemalasan beratnya berton-ton. Sebegitu pentingnya fakta ini, hingga saya merasa perlu mengulanginya sekali lagi. Berat kedisplinan hanyalah beberapa ons, sementara akibat kemalasan beratnya berton-ton.
Jika kita keras pada diri sendiri, dunia akan memperlakukan kita dengan lembut. Tetapi, jika kita lembut pada diri sendiri, dunia akan memperlakukan kita dengan keras—oh, well, sangat-sangat keras.