Senin, 08 September 2014

Bocah dan Filsuf

Seorang bocah berkata pada seorang filsuf, “Tuan Filsuf, saya mendengar orang-orang menyebut Anda bodoh dan tolol.”

“Itu masalah mereka, Nak,” jawab sang filsuf. “Sebenarnya, aku sendiri pun sering merasa sangat bodoh dan tolol, hingga tak pernah berhenti belajar agar bisa mengurangi kebodohanku, ketololanku. Jadi, kalau ada orang-orang menyebutku bodoh dan tolol, sama sekali bukan masalah bagiku. Oh, well, itu masalah mereka.”

“Tapi, Tuan Filsuf,” lanjut si bocah, “saya juga mendengar orang-orang menyebut Anda sesat.”

“Itu juga masalah mereka, Nak,” sahut sang filsuf. “Sebenarnya, aku sendiri pun sering meragukan segala yang kupikir sebagai kebenaran, hingga aku terus belajar untuk bisa menemukan kebenaran yang sejati. Jadi, kalau ada orang-orang menyebutku sesat, sama sekali bukan masalah bagiku. Oh, well, itu masalah mereka.”

Si bocah mengangguk-anggukkan kepala dengan masygul. Kemudian, dengan naluri seorang bocah, dia bertanya, “Tuan Filsuf, kenapa ada orang-orang yang menuduh orang lain tolol dan sesat?"

“Mungkin karena mereka merasa dirinya paling baik dan paling benar, Nak,” ujar sang filsuf. “Dan aku berdoa kepada Tuhan yang Maha Baik dan Maha Benar, semoga aku dijauhkan dari kecenderungan semacam itu. Karena tidak ada yang lebih mengerikan di dunia ini selain orang-orang yang merasa dirinya paling baik dan paling benar. Oh, well, bahkan uget-uget dan cacing-cacing di comberan pun tidak melakukan hal semacam itu.”

“Jadi, Tuan Filsuf,” ucap si bocah penuh harap, “bagaimana sebaiknya kita menjalani hidup?”

“Jalanilah hidup dengan kesadaran bahwa kita belum tentu yang terbaik apalagi paling benar,” jawab sang filsuf. “Ketika kita telah merasa menjadi yang paling baik, maka kita akan berhenti memperbaiki diri dan berhenti melakukan kebaikan. Ketika kita telah merasa paling benar, maka kita pun berhenti mencari kebenaran sejati, dan menjadi orang yang sangat suka menyalahkan.”

 
;