Senin, 08 September 2014

Tuhan di Kampus UIN

Aku lebih suka berteman dengan orang yang bisa salah,
daripada dengan orang yang pasti benar dan selalu benar.
Orang semacam itu mengerikan.
@noffret


Pada tanggal 20-30 Agustus 2014, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Jawa Timur, menggelar ospek untuk mahasiswa baru, yang disebut Orientasi Studi Cinta Akademik dan Almamater (Oscar). Tema yang diangkat, sebagaimana umumnya mahasiswa filsafat, agak-agak “ngeri”. Judulnya, Tuhan Membusuk: Konstruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan.

Entah bagaimana asal usulnya, spanduk yang digunakan selama ospek itu muncul di berbagai jejaring sosial, dan membuat kegegeran. Spanduk itu dihiasi tulisan besar-besar “Tuhan Membusuk”, dan sederet kalimat lain yang berhubungan dengan tema ospek. Orang-orang meributkannya, web-web berita menulis beritanya, sementara berbagai pro kontra mengiringi. Tema yang semula hanya dimaksudkan untuk internal kampus/fakultas kini berubah menjadi tema yang dibincangkan massa.

Mengapa bocah-bocah di kampus UIN menyatakan Tuhan membusuk? Ketika ditemui wartawan, Rahmat, Ketua Dewan Mahasiswa Fakultas di sana, menjelaskan, bahwa “Tuhan Membusuk” yang dimaksud dalam tema ospek 2014 yang digelar fakultasnya bukanlah Tuhan (sang Khaliq) sebagaimana yang dituduhkan sebagian orang, melainkan “tuhan-tuhan” yang tumbuh di dalam diri manusia, yang tanpa sadar menimbulkan kemusyrikan (muysrik mutasyabihat).

Dia menyatakan, “Membaca realitas yang terjadi saat ini, menggunakan fenomologi yang ada, banyak orang mengatasnamakan Tuhan untuk kepentingan politik.”

Ucapan Rahmat ditimpali sohibnya, Hidayat, staf Dewan Mahasiswa, yang menegaskan, “Banyak orang juga kerap mengatasnamakan agama untuk melegalkan kebenaran dalam dirinya sendiri.”

So, frasa “Tuhan membusuk” yang dimaksud bocah-bocah di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN adalah “kebenaran-kebenaran yang lahir dalam diri manusia, yang kemudian menjelma sebagai Sang Pengadil”. Berdasarkan konteks itu, mereka tidak bermaksud menghina Tuhan siapa pun, melainkan mengingatkan kita—sesama manusia—bahwa kita bukan Tuhan, dan tidak perlu sok-sokan menjadi Tuhan.

Karenanya pula, untuk menegaskan konteks tersebut, spanduk bertulisan “Tuhan Membusuk” dibakar di akhir acara ospek, sebagai penegasan bahwa “tuhan-tuhan” di dalam diri kita harus hancur, terbakar, lenyap. Pembakaran spanduk berisi tulisan “Tuhan Membusuk” itu juga dimaksudkan sebagai simbol penghancuran atas kebenaran manusia yang menjelma menjadi Tuhan tanpa disadari oleh manusianya sendiri.

Jadi, yang hendak dikritik bukan eksistensi Tuhan, kata Rahmat, melainkan nilai-nilai ketuhanan yang sudah mulai mengalami “pembusukan” dalam diri masyarakat beragama. Dia menyatakan, “Dengan tema ini, kami berharap mahasiswa baru bisa menerapkan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari.”

Sampai di sini, saya tidak melihat yang dilakukan bocah-bocah UIN itu salah atau sesat. Mereka bermaksud baik, tidak menghina Tuhan siapa pun, bahkan tema yang diangkat adalah bagian introspeksi (muhasabah) sebagai manusia yang menyadari kemahlukannya, yang—meminjam istilah Rhoma Irama—menjadi tempat salah dan lupa. Jika ada manusia yang mau intrsopeksi dan menyadari kemahlukannya, terus terang saya tidak bisa menyalahkan mereka.

Masalah sebagian orang, mungkin, terlalu meributkan teks tanpa memahami konteks. Hanya karena tulisan atau teks sepele, sebagian orang bisa naik darah, marah-marah, lalu mengeluarkan fatwa yang menghalalkan darah orang lain... tanpa terlebih dulu memahami dan mempelajari konteks. Hanya karena teks berbunyi “Tuhan Membusuk”, orang-orang langsung ribut, bahkan ada yang melaporkannya ke Polda, sementara sebagian yang lain merasa dirinya pasti benar dan mahasiswa UIN pasti salah. 

“Tuhan Membusuk” yang tertulis pada spanduk di kampus UIN adalah teks. Sebelum menghakimi teks tersebut, mari kita lihat dan pelajari konteksnya.

Teks itu ada di lingkungan kampus UIN, tepatnya pada acara ospek di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Teks itu tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi masyarakat luas, tapi hanya ditujukan sebagai tema internal antarmahasiswa Ushuluddin dan Filsafat. Dengan kata lain, mahasiswa UIN tidak bermaksud gembar-gembor di depan muka kita bahwa Tuhan telah membusuk. Lebih dari itu, sebagaimana yang dipaparkan di atas, mahasiswa UIN tidak bermaksud menghina apalagi menghujat Tuhan siapa pun. Lihatlah konteksnya.

Jika kemudian kita (masyarakat luas) melihat teks tersebut dan merasa terusik, tidak perlu buru-buru mengafirkan mereka. Karena ada tabayyun, klarifikasi, untuk bersama-sama memahami konteks atas teks yang dipermasalahkan. Tabayyun adalah bicara dengan tenang, bukan ngamuk-ngamuk. Klarifikasi adalah upaya untuk menemukan kebenaran, dan bukan merasa paling benar sendiri. Karena manusia memang kadang salah dan lupa, dan kita tetap makhluk fana.

Siapa pun yang pernah kuliah di Fakultas Filsafat pasti tahu bagaimana “ngerinya” topik-topik yang dibicarakan, didiskusikan, dan diperdebatkan antarmahasiswa. Frasa “Tuhan membusuk” yang kini diributkan itu, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan topik-topik yang biasa diobrolkan mahasiswa di kelas Filsafat. Tapi topik-topik itu memang hanya dibahas di lingkungan internal sesama mahasiswa Fisafat, dan itu hal biasa dalam lingkungan akademis—suatu pembicaraan dalam koridor ilmiah, tanpa bermaksud menghujat atau menghina.

Jika kita suatu hari tiba-tiba masuk ke kelas Filsafat di kampus mana pun, kemudian melaporkan topik diskusi mereka ke polisi dengan alasan penghujatan, maka saya khawatir semua Fakultas Filsafat di negeri ini akan berurusan dengan polisi. Karenanya, lihatlah konteks sebelum menghakimi teks. Sekali lagi, lihatlah konteks sebelum menghakimi teks.

Kadang-kadang, kita meributkan suatu teks bukan karena teks itu salah atau keliru, tapi lebih karena kondisi kita sendiri. Karena merasa tersindir, misalnya. Ada banyak orang yang merasa tersindir dengan suatu teks atau tulisan, kemudian marah-marah pada si pembuat tulisan tanpa mau melakukan instrospeksi terlebih dulu. Padahal teks yang ditulis itu tidak bermaksud menyindir, tapi kita sendiri yang merasa tersindir.

Ada orang-orang yang suka membawa-bawa nama Tuhan demi kebenaran sendiri, lalu menyerang, menindas, bahkan membunuh dan memerangi orang-orang lain yang dianggap tidak sama dengan mereka. Ada pula yang membawa-bawa nama Tuhan demi kepentingan dan keuntungan pribadi, lalu marah-marah pada siapa pun yang berbeda dengan dirinya. Terlalu banyak orang yang mengklaim Tuhan hanya ada di pihaknya, sama banyaknya dengan orang yang merasa dirinya pasti benar, paling benar, dan benar sendiri.

“Tuhan sudah mati,” kata Friedrich Nietszche.

Dan siapakah yang membunuh Tuhan?

“Kita,” jawab Nietszche.

Kita sendirilah yang telah membunuh Tuhan yang kita agung-agungkan. Kita sendirilah yang membunuh Tuhan dengan perbuatan kita yang merasa selalu benar, paling benar, dan benar sendiri. Tuhan mati, ketika manusia sibuk menjadikan dirinya sebagai Tuhan yang pasti benar. Tuhan mati ketika manusia menganggap dirinya tidak pernah salah. Tuhan mati ketika manusia tidak lagi menyadari kemakhlukannya, kehambaannya, kemanusiaannya.

Tuhan mati... ketika manusia menghidupkan egonya atas klaim angkuh kebenaran.

“Manusia,” kata Rhoma Irama, “adalah tempat salah dan lupa.” Dalam kesadaran semacam itulah seharusnya kita lebih sibuk melakukan instrospeksi untuk terus memperbaiki diri, dan bukannya sibuk mencari-cari kesalahan orang lain sambil merasa paling benar sendiri.

Karena kita bukan Tuhan. Karena kita tidak selalu benar.

 
;