Da’, kita mau ke kulu asri nih. Kamu ikut yuk.
—@NajwaHuwaida
Di rumah lagi ada tukang batu, Na’.
Jadi belum bisa keluar lama-lama.
—@noffret
—@NajwaHuwaida
Di rumah lagi ada tukang batu, Na’.
Jadi belum bisa keluar lama-lama.
—@noffret
Ada tukang batu di rumah saya, dan mereka mengobrak-abrik rumah dengan gegap gempita. Ceritanya, tiga minggu yang lalu, saya kepikiran untuk membuat sesuatu di belakang rumah. Maka saya pun menghubungi pemborong, lalu si pemborong mengirimkan empat tukang batu, beserta material bangunan—pasir, batu bata, semen, dan lainnya. Sejak itulah kemudian empat tukang batu mengobrak-abrik belakang rumah, untuk mewujudkan keinginan saya.
Dalam bayangan semula, renovasi itu hanya membutuhkan waktu sebentar. Ternyata tidak. Meski digarap empat tukang batu yang ahli, proses pengerjaannya lebih dari seminggu. Jadi, selama hari-hari itu, saya pun harus selalu bangun pagi, membukakan pintu samping untuk para tukang batu, menyiapkan minuman dan jajan untuk mereka, plus memantau pekerjaan mereka selama melakukan pembangunan.
Selama hari-hari itu pula, saya pun mulai akrab dengan mereka. Empat tukang batu itu kira-kira berusia 35-40 tahunan, rata-rata bertubuh kekar seperti orang-orang yang biasa nge-gym. Kenyataannya mereka sangat cekatan dalam bekerja—mengaduk pasir dan semen, mengangkuti batu-bata, dan hal-hal lain yang memang membutuhkan kekuatan dan keterampilan fisik.
Suatu kali, saat saya ke dapur untuk membuat minum, bertepatan dengan dua tukang batu yang juga akan menuang teh ke gelas mereka. Saya memang menyediakan satu teko teh untuk mereka di dapur, lengkap dengan gula yang bisa mereka takar sendiri. Di dapur, kami pun bercakap sekadarnya, dan salah satu dari mereka bertanya, “Mas, kalau boleh tahu, teh ini pakai apa, sih? Maksudnya, teh ini merek apa?”
Saya balik bertanya, karena tertarik, “Emang kenapa, Pak?”
“Soalnya enak sekali,” dia menjawab dengan ekspresi lugu. “Seumur-umur, saya belum pernah minum teh seenak ini.”
Saya mau semaput.
....
....
Mari kita flashback sejenak ke belakang, agar kalian memahami mengapa saya sampai mau semaput gara-gara pertanyaan dan pernyataan lugu tukang batu itu.
Saya penyuka teh. Setiap hari, saya meminum bergelas-gelas teh—tepatnya teh hangat manis. Teh tidak hanya menyegarkan sebagai minuman, namun juga menunjang kesehatan—salah satunya menjauhkan kita dari kanker. Sebagai penyuka teh, saya pun suka mencoba-coba aneka merek teh yang beredar di pasaran, untuk mengetahui aroma dan cita rasanya.
Setiap kali makan di warung, dan kebetulan teh yang saya nikmati sangat enak, biasanya saya akan bertanya pada si pemilik warung—teh apa yang digunakannya. Kemudian saya akan mencari teh itu di toko atau supermarket, untuk saya buat sendiri di rumah. Selama bertahun-tahun, bisa dibilang saya telah mencoba nyaris semua merek teh di negeri ini, dari yang paling terkenal sampai yang namanya mungkin jarang terdengar.
Hingga kemudian, saya menemukan teh merek tertentu yang saya anggap paling enak dan paling nikmat dibanding teh merek lain. Kita sebut saja teh merek X. Sejak mengenal teh X, saya merasa cocok dan terus menggunakannya sampai bertahun-tahun. Selama itu pula, saya nyaris tak pernah berganti teh merek lain, karena saya pikir tidak ada yang mampu menandingi kenikmatan teh X.
Sekitar enam tahun saya bersetia pada teh X, sampai kemudian saya mulai merasakan keanehan. Teh yang semula sangat nikmat itu lama-lama terasa “biasa saja”. Cita rasa yang semula sangat menggoda lidah, lama-lama terasa hambar. Jika saya banding-bandingkan, teh X sekarang bisa dibilang tidak ada bedanya dengan teh merek lain.
Semula, saya sempat berpikir, apakah teh X telah sengaja mengurangi kualitasnya, hingga cita rasanya tidak senikmat dulu? Saya tidak terlalu yakin. Produk yang telah dikenal karena kualitasnya biasanya sangat hati-hati dalam hal itu, dan saya percaya teh X tetap menjaga kualitas mereka. Tapi kenapa rasanya sekarang berubah?
Lalu pikiran saya beralih pada air yang saya gunakan untuk menyeduh teh. Untuk kebutuhan sehari-hari—mandi, mencuci, sampai membuat minum—saya menggunakan air dari sumur bor (bukan PAM/PDAM). Lama-lama, air yang saya gunakan memang tampak mengalami perubahan. Masih jernih, tapi kini meninggalkan bekas kerak di panci yang digunakan untuk merebusnya. Belakangan saya tahu, air di rumah saya tergolong air sadah sementara.
(Untuk tahu lebih lanjut mengenai air sadah, air sadah sementara, dan air sadah tetap, silakan lihat di sini).
Ketika mengetahui kenyataan itu, saya pun berpikir bahwa mungkin akar masalah yang membuat teh X kini tidak seenak semula adalah air yang saya gunakan untuk menyeduhnya. Air itulah yang berubah, dan efek perubahannya mempengaruhi cita rasa teh X yang semula sangat enak.
Karena latar belakang itu, saya pun sempat menghubungi tukang sumur bor, untuk membahas masalah tersebut. Si tukang sumur mempelajari masalah air di rumah saya. Lalu ia menjelaskan bahwa untuk mendapatkan air yang benar-benar bersih dan jernih, diperlukan lokasi pengeboran yang berbeda, serta dengan kedalaman yang lebih jauh—kira-kira 60-80 meter di bawah tanah. Ketika saya tanya berapa biayanya, dia menyebutkan angka 35 juta.
Kepala saya langsung pening. Masak iya saya harus membayar 35 juta hanya untuk minum teh...?! Yang benar saja!
Akhirnya, daripada jatuh miskin hanya karena masalah air, saya pun membiarkan air di rumah tetap seperti itu. Toh tidak berbahaya ini. Maksudnya, meski tergolong sadah, air di rumah tetap layak konsumsi, dan tidak membahayakan kesehatan. Ketika direbus, kadar kesadahan air akan hilang dan mengendap. Endapan mineral itulah yang kemudian menciptakan kerak di dasar panci. Baiklah, tidak terlalu masalah, pikir saya waktu itu.
Tetapi, karena penasaran, saya pun mencoba meminta air dari tetangga yang menggunakan PDAM. Air dari tetangga saya gunakan untuk membuat teh, agar saya tahu seperti apa perbedaannya, agar punya perbandingan. Jika memang cita rasa teh X senikmat semula saat direbus menggunakan air PDAM, mungkin saya akan menggunakan PDAM juga.
Ternyata, cita rasa teh X tetap saja—sama seperti ketika direbus menggunakan air di rumah saya. Cita rasa yang dulu sangat nikmat benar-benar tak terasa lagi, tak peduli direbus dengan air PDAM ataupun diseduh dengan air di rumah. Apakah air PDAM juga bermasalah, seperti air di rumah saya?
Didorong penasaran, saya lalu membeli segalon air mineral. Air mineral itu saya rebus sampai mendidih, lalu saya gunakan untuk menyeduh teh X. Setelah beberapa saat dalam teko, saya menuangnya ke gelas, menambahkan gula, kemudian mencoba menyeruputnya. Dan... rasanya tetap saja! Tidak ada yang berubah—teh yang semula sangat nikmat itu kini terasa hambar, tak peduli diseduh dengan air rumah, air PDAM, maupun air mineral.
Berarti bukan airnya yang bermasalah, pikir saya dengan masygul.
Sejak menyadari kenyataan itulah, saya pun lalu berkesimpulan bahwa inti masalah hilangnya cita rasa dan kenikmatan teh X bukan pada airnya, melainkan pada teh X itu sendiri. Entah bagaimana, teh X telah kehilangan cita rasa khas yang dulu dimilikinya.
Tetapi, meski begitu, saya tidak tertarik berganti teh lain, karena... masalahnya sederhana. Kalau teh X yang saya anggap paling enak saja kini terasa hambar, apalagi teh lain yang saya anggap kalah enak dibanding teh X. Jadi, selama beberapa tahun ini, saya pun terus menggunakan teh X, meski rasanya di lidah saya tidak senikmat semula.
Sampai kemudian, tempo hari, muncul tukang batu di rumah saya. Untuk menyediakan minum bagi empat tukang batu yang bekerja, saya pun menyediakan minuman yang dibuat dari teh X. Di luar dugaan, tukang batu itu menyatakan bahwa teh itu sangat enak, bahkan—seperti yang dikatakannya sendiri—“Seumur-umur, saya belum pernah minum teh seenak ini.”
Pernyataan tukang batu yang jujur dan lugu itu menampar kesadaran saya dengan sangat keras. Selama bertahun-tahun, saya menyalahkan air di rumah, menyalahkan teh X yang saya curigai tak enak lagi, tanpa sempat berpikir bahwa masalahnya bukan pada air, juga bukan pada teh X, tapi pada diri saya sendiri. Saya sendirilah sumber masalahnya—bukan air, juga bukan teh X.
Teh X tidak berubah, begitu pun air di rumah. Tapi diri sayalah yang berubah, hingga teh yang sebenarnya sangat nikmat itu terasa “tidak nikmat lagi”, hanya karena saya telah terbiasa menikmatinya. Kenikmatan yang paling nikmat sekali pun sering kali hambar karena kita telah terlalu terbiasa menikmatinya. Di dunia yang fana, segalanya memiliki batas, termasuk batas kenikmatan. Apalagi sekadar kenikmatan segelas teh.
Makanan paling lezat pada akhirnya melahirkan kejenuhan. Masakan paling enak pada akhirnya sampai pada bosan. Minuman paling nikmat pada akhirnya terasa hambar. Karena biasa, karena terlalu terbiasa. Bagaimana pun, dunia bukan surga. Segala yang indah, enak, dan nikmat, lama-lama terasa biasa karena kita telah terbiasa dengannya—terlalu terbiasa dengannya.
Siang itu, bersama tukang batu di dapur, sebuah kesadaran penting hinggap. Perlahan-lahan, saya menyeruput teh di gelas, dengan perasaan dan pikiran seolah-olah saya baru pertama kali meminumnya.