Saya suka batagor. Ralat. Saya sangat sukaaaaaa batagor. Untungnya, di kota saya banyak penjual batagor. Dari yang paling enak sampai yang enaaaaaaak sekali. Di antara yang tergolong “paling enak” adalah batagor yang ada di dekat rumah orangtua saya. So, setiap kali pulang dari menjenguk ortu, saya selalu menyempatkan diri mampir ke sana.
Warung batagor tersebut sangat sederhana, semi permanen, dan di bagian depannya tertulis, “Batagor Khas Bandung”. Sejujurnya, saya tidak tahu apakah batagor memang berasal dari Bandung. Tapi yang jelas, entah kenapa, segala hal yang khas Bandung selalu terasa nikmat bagi saya, di antaranya siomay khas Bandung, dan batagor khas Bandung. Kadang-kadang saya jadi kepikiran untuk punya pacar orang Bandung.
Oke, yang terakhir itu ngelantur.
Di warung batagor itu, saya selalu memesan dua porsi. Dan segelas teh hangat. Biasanya, sepulang dari sana, kenyang dan nikmatnya mampu bertahan hingga lama. Batagor, bagi saya, adalah salah satu karunia alam semesta.
Pernah, suatu sore, saya mampir ke warung batagor tersebut, dan memesan batagor seperti biasa. Ketika sedang enak-enaknya menikmati batagor, datang tiga cewek remaja—sepertinya mereka mahasiswi semester awal, kalau dilihat dari tas ransel unyu yang mereka bawa. Lalu mereka duduk di salah satu meja.
Saya tidak terlalu mempedulikan mereka, dan terus asyik menyantap batagor. Tapi kemudian saya mendengar bisik-bisik ketiga cewek unyu itu.
“Ssstt,” bisik salah satu dari mereka, “itu Hoeda Manis.”
“Hoeda Manis siapa?” tanya cewek satunya, yang sepertinya kurang gaul.
Lalu cewek yang satunya lagi menyahut dengan suara yang juga berbisik, “Memangnya ada berapa Hoeda Manis di dunia ini? Ya Hoeda Manis yang ‘itu’ laaah.”
“Hoeda Manis yang ‘itu’?”
Lalu ketiganya menatap ke arah saya. Dan tiba-tiba batagor dalam mulut terasa seperti batu bata. Ini salah satu hal yang saya benci dalam hidup—menjadi perhatian ketika sedang tidak ingin diperhatikan. Kau tahu, saat-saat makan—khususnya makan batagor—adalah saat-saat sakral karena kita ingin menikmatinya sepenuh hati tanpa gangguan. Dan diperhatikan tiga cewek ketika sedang makan batagor adalah hal terakhir yang saya inginkan.
Lalu terdengar suara bisikan lagi, dari cewek kedua yang sepertinya kurang gaul, “Itu bener Hoeda Manis yang ‘itu’?”
“Iya!” bisik temannya. “Dia kan pernah datang pas resepsi tetanggaku. Jadi aku tahu itu memang dia.”
Dan si cewek kurang gaul menyahut, “Tapi… masak sih Hoeda Manis yang ‘itu’ makan batagor?”
Detik itu saya tersedak, dan rasanya ingin berteriak, “MEMANGNYA KENAPA KALAU HOEDA MANIS YANG ‘ITU’ MAKAN BATAGOR…???”
Mungkin cewek-cewek itu tidak paham, bahwa batagor bagi saya bukan hanya jajan favorit, tetapi juga sarana yang nikmat dalam memahami eksistensi Tuhan. Oh, well, mungkin ini terdengar aneh, atau absurd, atau bahkan bombastis. Tetapi saya benar-benar menyadari keberadaan Tuhan ketika sedang makan batagor.
Jadi, kalau hari ini saya ditanya, “Hei, pal, apakah kau percaya Tuhan ada?”
Saya dengan yakin akan menjawab, “Ya, saya percaya Tuhan ada!”
Dan jika pertanyaannya disambung, “Apa buktinya Tuhan benar-benar ada?”
Maka saya pun akan menjelaskan, “Buktinya saya suka batagor!”
Oke, saya tahu, detik ini dunia pasti berteriak, “APA HUBUNGANNYA, COBA?”
Sejujurnya saya tidak tahu apa hubungan Tuhan dengan batagor. Atau bagaimana memfilsafatkan batagor agar membuka jalan pada pemahaman atas kepercayaan adanya Tuhan. Tetapi yang jelas, saya meyakini keberadaan Tuhan, dan keyakinan itu selalu menguat setiap kali saya makan batagor.
Mungkin memang tidak ada hubungannya—bagi orang lain. Tapi bagi saya ada hubungannya.
Rene Descartes meyakini keberadaan Tuhan dengan berpikir secara mendalam. Albert Einstein menemukan Tuhan dalam kerumitan rumus fisika. Jalaluddin Rumi menemukan Tuhan dalam tarian yang membuatnya ekstase. Rabi’ah al-Adawiyah menemukan Tuhan dalam kekhuysukan dzikir di kesunyian. Mother Theresa menemukan Tuhan dalam kasih dan pengabdian pada sesamanya. Jadi apa salahnya kalau saya menemukan eksistensi Tuhan ketika sedang makan batagor…?
Masing-masing orang menemukan keyakinannya terhadap Tuhan dalam jalannya sendiri-sendiri, karena bahkan definisi Tuhan pun kadang memiliki perbedaan arti. Ada orang yang meyakini keberadaan Tuhan dalam keheningan, tapi ada pula yang justru menemukannya dalam keramaian. Ada yang menemukan kebesaran dan keagungan Tuhan ketika bersatu dengan alam, ada pula yang menemukan eksistensi Tuhan ketika sedang menikmati makanan.
Tetapi yang jelas, khususnya bagi saya, jauh lebih mudah untuk meyakini bahwa Tuhan ada daripada meyakini Tuhan tidak ada. Begitu pentingnya fakta ini, sampai-sampai saya merasa perlu mengulanginya. Jauh lebih mudah meyakini Tuhan ada, daripada meyakini Tuhan tidak ada.
Begitu pula, jauh lebih mudah membuktikan keberadaan Tuhan, daripada membuktikan ketiadaan Tuhan. So, orang yang tidak percaya keberadaan Tuhan pastilah orang yang sangat-sangat genius… atau orang yang sangat-sangat tolol. Dalam hal ini, kebetulan, saya tidak termasuk keduanya. Karena itu, saya percaya keberadaan Tuhan. Dan kepercayaan itu semakin menguat ketika sedang makan batagor.
Tidak usah tanya apa alasan atau hubungannya, karena ini masalah privat kepercayaan hamba kepada Tuhannya. Saya yakin Tuhan tidak akan murka ketika saya mengingat-Nya pada waktu makan batagor, jadi tidak ada alasan bagi sesama manusia untuk menghujat saya.
Ehmm… tidak lama setelah saya menulis posting panjang Pembodohan Massal Bernama Isu Pemanasan Global, saya mendapatkan banyak feedback yang bagus dari para pembaca blog ini. Salah satu feedback yang bagus itu datang dari Bang Ibnus Salam.
Dalam e-mailnya, Bang Ibnus Salam menulis kalimat berikut ini, “Tuhan yang ada dalam pemikiran manusia adalah bukan Tuhan. Tuhan adalah sesuatu yang tidak dapat kita bayangkan, dan Tuhan sama sekali tidak dapat diangan-angankan atau dipikirkan manusia.”
Untuk menguatkan tesisnya itu, Bang Ibnus Salam menyitir QS. al-Anbiya: 23, yang berbunyi, “Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia kerjakan, dan merekalah yang akan ditanya tentang apa yang mereka kerjakan.”
Saya setuju dengan pendapat tersebut, bahwa Tuhan (seharusnya menggunakan huruf “t”) yang ada dalam pemikiran manusia bukanlah Tuhan, karena memang Tuhan tidak bisa dipikirkan, dibayangkan, atau dikhayalkan. Karena itu pula, para alim dan orang bijak sering kali mengingatkan, “Jangan memikirkan Tuhan, tapi pikirkanlah ciptaan-Nya.”
Ketika makan batagor, saya tidak memikirkan Tuhan. Ketika makan batagor, saya merasakan nikmat di lidah, kunyahan dalam mulut. Ketika merasakan nikmat itu, saya lebih mudah memikirkan banyak hal yang hebat dan luar biasa dalam alam semesta. Ketika menemukan kehebatan bahkan keagungan alam semesta, keyakinan saya pada eksistensi Tuhan pun bertambah. So, saya menemukan eksistensi Tuhan ketika makan batagor.
Saya tidak tahu Tuhan itu seperti apa atau seperti siapa. Tapi saya meyakini eksistensi-Nya, keberadaan-Nya. Dalam hal keyakinan terhadap eksistensi Tuhan—tentu kita sepakat—masing-masing orang memiliki caranya sendiri.
Karena itu, saya benar-benar tidak habis pikir ketika ada segerombolan orang yang merasa memiliki hak mutlak atas Tuhan, dan kemudian mudah mengamuk, menyalahkan, dan mengkafir-kafirkan orang lain, hanya karena perbedaan dalam cara memaknai eksistensi Tuhan.
Orang-orang yang suka menyalahkan dan mengkafir-kafirkan orang lain itu mungkin menganggap Tuhan hanya miliknya, bahwa Tuhan hanya berpihak pada mereka, bahwa Tuhan harus ditemukan dan dipercayai melalui cara mereka. Bagi saya itu sangat naif, bahkan konyol. Orang-orang seperti mereka, menurut saya, mungkin perlu sering-sering makan batagor.