Ironi manusia yang tak pernah berhenti:
Bekerja keras siang malam demi bisa membangun rumah
yang membuat tinggi hati, lalu ditinggal mati.
—@noffret
Bekerja keras siang malam demi bisa membangun rumah
yang membuat tinggi hati, lalu ditinggal mati.
—@noffret
Kami duduk di bangku penjual dawet beras di depan masjid. Saya masih kelas satu SMP waktu itu, dan ayah masih hidup. Siang hari, ayah mengajak saya untuk membeli sesuatu, dan pulangnya kami mampir ke tempat penjual dawet beras. Pada waktu itulah, seorang lelaki bersepeda ontel kebetulan melintas di depan kami, kemudian berhenti saat melihat ayah.
Lelaki itu menyapa ayah dengan akrab, lalu memesan dawet beras, dan ikut duduk di bangku samping kami. Mereka bercakap-cakap dengan akrab, seperti layaknya teman karib, sambil menikmati dawet beras di siang terik. Cukup lama mereka mengobrol dengan asyik, sampai kemudian lelaki tadi pamit pergi setelah membayar dawetnya. Dia mengayuh sepedanya dengan ringan, seolah tanpa beban.
Tidak lama setelah lelaki itu pergi, ayah memberitahu saya, “Yang tadi itu Haji X,” ujar ayah. Kemudian dia menceritakan kalau mereka telah berkawan sejak masa sekolah dulu. “Pernah dengar namanya?”
Saya menjawab, “Tidak.”
“Kamu tahu Hotel Z?” tanya ayah kemudian. Hotel Z adalah salah satu hotel mewah di kota kami, dan tentu saja saya tahu hotel itu. Kemudian, ayah memberitahu, “Orang tadi pemiliknya.”
Lalu, tiba-tiba, saya merasa pernah mendengar nama Haji X. Tentu saja! Kadang saya mendengar orang membicarakan Haji X, mengenai kekayaannya, kebaikannya, dan keramahannya kepada sesama. Orang-orang mengagumi Haji X—tidak saja mengagumi kekayaannya yang luar biasa, tapi juga mengagumi kebaikan hatinya. Tetapi saya tidak pernah membayangkan bahwa Haji X adalah lelaki sederhana yang bersepeda ontel di terik siang, lalu mampir minum dawet beras di depan masjid.
Kalau saja ayah tidak memberitahu bahwa dia Haji X “yang itu”, saya pasti tidak akan tahu. Dalam bayangan saya, Haji X adalah lelaki glamor berwajah angkuh, bermobil mewah, dengan arloji emas dan cerutu mahal. Tapi yang saya lihat tadi adalah lelaki sederhana seumuran ayah, dengan penampilan bersahaja, berwajah ramah, dan bersepeda ontel. Bagaimana bisa seorang kaya-raya pemilik hotel mewah menjalani hidup semacam itu?
Ketika saya tanyakan hal itu pada ayah, dia menjawab, “Setiap orang memiliki cara masing-masing menikmati hidupnya.”
Saat saya menulis catatan ini, Haji X telah meninggal—sekitar dua atau tiga tahun sebelum ayah saya meninggal. Kisah pertemuan kami dengan Haji X di tempat penjual dawet beras depan masjid mungkin akan terkubur dalam memori untuk kemudian terlupakan, kalau saja saya tidak mengalami kisah yang tak jauh beda.
Pada lebaran Idul Fitri 2012, saya datang ke rumah Thoriq, sohib saya. Saat sampai di rumahnya, Thoriq sedang kedatangan temannya yang lain, seorang cowok seumuran kami. Namanya Arta. Thoriq memperkenalkan kami, dan malam itu kami bertiga bercakap-cakap asyik seperti kawan lama. Meski saya kadang agak kaku ketika berkomunikasi dengan orang yang baru kenal, tapi Thoriq memiliki pembawaan menyenangkan, sementara Arta juga sangat ramah. Jadi saya pun mudah larut bersama mereka.
Saat kami pamit untuk pulang, Arta menawari saya, “Kapan-kapan, kalau pas lewat daerahku, mampirlah ke rumahku.”
Saya pun menawarkan hal yang sama.
Hanya berselang satu bulan sejak itu, saya benar-benar mampir ke rumahnya. Suatu malam, saya membutuhkan kain tenun tradisional, pesanan seorang famili. Saya datang ke daerah Arta, karena di tempat itu cukup banyak pembuat kain seperti yang saya inginkan. Karena tahu Arta tinggal di sana, saya pun mencari rumahnya, dengan maksud untuk bertanya di mana bisa membeli kain seperti yang saya cari.
Rumah Arta mudah ditemukan—hampir semua orang di sana tahu letak rumahnya. Saat saya sampai, Arta menyambut ramah, dan membuatkan teh hangat, lalu kami bercakap-cakap di ruang tamu rumahnya. Saya menyatakan tujuan, mencari kain yang saya inginkan, dan Arta menyahut dengan ringan, “Di belakang kayaknya ada.”
Semula, saya tidak paham maksud “di belakang” yang dikatakannya. Tapi kemudian dia mengajak ke belakang rumahnya, dan saya pun mulai sadar siapa dirinya. Orang yang ramah dan bersahaja, yang tadi membuatkan teh hangat untuk saya, ternyata pemilik pabrik tekstil yang hasil produksinya mencapai mancanegara.
“Di belakang” yang dimaksud Arta adalah pabrik yang ada di belakang rumahnya. Pabrik itu cukup luas, dengan mesin-mesin tenun dan hasil produksi menumpuk. Tampak beberapa pekerja yang lembur—sebagian sedang menenun, sebagian lain sedang mengemas kain ke dalam plastik dan dus, atau kesibukan lainnya. Arta mengajak saya melihat-lihat kain yang diproduksi pabriknya, dan menawari, “Ada yang cocok?”
Saya menemukan yang saya cari. Arta meminta salah satu pekerja di sana untuk mengemasnya, lalu kami kembali ke ruang tamu dan melanjutkan obrolan. Dalam obrolan itulah kemudian Arta mulai membuka diri, dan menceritakan perjuangan serta kerja kerasnya dalam membangun usahanya hingga sebesar sekarang.
“Sebelumnya,” dia bercerita dengan nada ringan, “aku bekerja di pabrik orang lain. Sampai kemudian bisa mengumpulkan sedikit modal dari hasil kerjaku, dan mulai bikin usaha sendiri. Yeah, cukup lancar, dan bisa jalan sampai sekarang. Kedengarannya mudah, tapi aslinya luar biasa susah.”
Sebenarnya, saya juga punya beberapa teman yang tak jauh beda. Mereka memulai usaha dari nol, berjuang dengan gigih, bekerja keras, lalu bisnis mereka tumbuh besar, hingga menjadi bocah-bocah bergelimang uang. Tetapi, bocah-bocah kaya yang saya kenal selama ini memiliki penampilan “konvensional”—mereka membangun rumah mewah, mengendarai mobil mahal, dan menjalani gaya hidup seperti umumnya jutawan.
Hal itu jauh berbeda dengan Arta. Melihat skala usaha yang dimilikinya, dia pasti tidak kalah kaya dibanding teman-teman saya yang lain. Tetapi dia menjalani hidup yang sangat bersahaja. Rumahnya sederhana—seperti rumah saya—dan hanya mengendarai sepeda motor sederhana, sebagaimana yang dipakainya ketika kami bertemu pertama kali di rumah Thoriq. Sikapnya pun sangat ramah—tanpa kesan angkuh seperti umumnya bocah kaya—dengan penampilan yang biasa-biasa saja.
Saat datang ke rumahnya pertama kali, saya belum berani menyinggung gaya hidupnya yang sederhana itu. Saya sempat berpikir, bisa jadi Arta memiliki rumah mewah di tempat lain, dengan mobil mahal di garasi, dan para pembantu serta tukang kebun. Tetapi, setelah kami bertemu kembali beberapa kali, dan hubungan kami semakin dekat, saya pun tahu bahwa dia memang menjalani gaya hidup yang sederhana—bahkan sangat sederhana, jika untuk ukurannya.
Suatu malam, saat mengobrol asyik sambil merokok, dan topik percakapan kami sampai pada gaya hidup, dia pun menceritakan gaya hidup yang dipilih dan dijalaninya. Sekadar catatan, dia masih lajang, dan hidup sendirian—faktor kesamaan itu pula yang menjadikan kami merasa cocok.
“Dulu,” dia menceritakan, “aku pernah punya mobil. Yeah, namanya anak muda, kadang pengin gaya-gayaan. Tapi mobil itu jarang kupakai, karena ribet. Tiap hari harus manasin mesin, dibawa kemana-mana tidak bisa ngebut karena jalanan sering macet, sementara aku juga jarang keluar rumah. Rasanya lebih nyaman pakai motor—itu motor yang pertama aku punya, waktu masih jadi buruh di pabrik orang. Akhirnya, karena kupikir tidak butuh mobil, jadi kujual saja.”
Arta juga menceritakan, “Orangtuaku kadang nyuruh aku merenovasi rumah, biar lebih bagus. Tapi kupikir, buat apa? Wong aku tinggal sendirian di sini, dan aku sudah nyaman dengan keadaan seperti ini. Aku tidak butuh macam-macam—asal bisa hidup tenang, tidur nyenyak di rumah sendiri, mendapat nafkah agar tidak berkekurangan, dan tidak punya utang, kupikir sudah cukup. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya yang dibutuhkan hidup cuma itu.”
Kalimat terakhir itu terus terkenang di benak saya. “Kalau dipikir-pikir, sebenarnya yang dibutuhkan hidup cuma itu.”
Ya, kalau dipikir-pikir, hidup ini mungkin tidak sulit—kita sendirilah yang sering kali menjadikan hidup terasa sulit. Sebelum punya rumah, kita mungkin berharap punya rumah. Lalu kita bekerja keras, banting tulang dari pagi sampai malam, demi punya rumah. Setelah punya rumah, kita ingin menjadikannya lebih mewah, maka kita pun kembali bekerja keras, memeras keringat, demi bisa membangun rumah lebih megah. Kemudian kita mengisinya dengan perabotan yang lebih layak, lebih mahal.
Lalu ada yang terasa kurang—harus ada mobil keluaran baru untuk melengkapi rumah yang sudah mewah. Maka kita pun kembali bekerja keras, bahkan lebih keras lagi, demi bisa memiliki mobil, meski mungkin sebenarnya kita tidak membutuhkan. Setelah punya mobil, kita pun “terpaksa” menggunakannya, karena sudah telanjur punya. Dan karena telah mengendarai mobil, kita pun mulai melihat banyak kekurangan lain—pakaian, sepatu, ponsel, jam tangan, perawatan tubuh, sebut lainnya. Lalu kita bekerja keras lagi, bersusah-payah lagi, dan begitu seterusnya.
Hidup tidak menuntut macam-macam—diri kita sendirilah yang menuntut macam-macam. Dan ketika satu hal tercapai, kita mulai melihat kekurangan lain yang juga perlu dicapai.
Dulu, seperti kebanyakan orang lain, saya belum menyadari kenyataan itu. Tetapi, setelah mendengar penuturan Arta, dan melihat kehidupannya, saya pun mulai memahami. Bahwa yang dibutuhkan untuk hidup sebenarnya tidak sulit—hanya kehidupan yang tenang tanpa banyak masalah, bisa beristirahat di rumah sendiri, kendaraan yang tidak merepotkan, nafkah yang cukup, dan tidak punya utang. Cuma itu. Beberapa orang mungkin menambahkan “pasangan hidup” ke dalam daftar. Tetapi, sekali lagi, cuma itu.
Hidup tidak pernah menuntut macam-macam. Diri kita sendirilah yang sering kali menuntutnya. Dan kemudian kita menjalani hidup dengan kegersangan, kehilangan ketenangan, karena melihat banyaknya hal yang kurang, tanpa menyadari bahwa hal-hal yang “kurang” itu mungkin sama sekali tidak kita butuhkan.
Sekarang, jika saya bertanya pada diri sendiri, “Apa sebenarnya yang aku butuhkan?” Maka saya melihat betapa sedikit yang sebenarnya saya butuhkan. Saya tidak butuh rumah megah, karena saya bukan artis atau orang terkenal yang harus tampil mewah. Saya tidak butuh mobil mahal, karena jarang keluar rumah apalagi keluyuran. Saya tidak butuh penampilan hebat, karena saya memang orang biasa.
Jadi, apa sebenarnya yang kita butuhkan...?
Kini, saat menulis catatan ini, saya kembali terngiang ucapan ayah saya bertahun-tahun lalu, “Setiap orang memiliki cara masing-masing menikmati hidupnya.”
Kaya dan miskin, susah dan senang, bahagia dan menderita, memang bukan yang tampak di depan mata, melainkan yang tersembunyi di kedalaman hati kita.