Datang dan pergi, datang dan pulang.
Daun jatuh tak pernah kembali kepada ranting,
pun waktu yang hilang.
—@noffret
Daun jatuh tak pernah kembali kepada ranting,
pun waktu yang hilang.
—@noffret
—Untuk ayahku
Jum’at pagi itu saya berziarah ke makam ayah. Udara terasa dingin, bukan hanya karena masih sangat pagi, tetapi juga karena hujan menggantung di langit. Sendirian, saya menguatkan diri untuk datang ke makam ayah pagi itu, karena sudah cukup lama tidak menziarahinya.
Pemakaman tampak sepi, mungkin karena udara dingin yang menggigit. Saya menuju makam ayah, dan segera menjemput keheningan. Ada sesuatu yang selalu menghangat di dada saya setiap kali berada di pemakaman yang sunyi. Semacam kesadaran bahwa pada akhirnya manusia akan sampai pada hening. Sunyi. Sendiri.
Ketika sedang bertafakur di dekat makam ayah, sayup-sayup terdengar suara isakan tangis. Ketika menengok ke arah suara tangis itu, saya mendapati seorang cowok yang juga sedang bertakafur di dekat sebuah makam yang tampaknya masih baru. Jaraknya tak terlalu jauh dari tempat saya, dan makin lama isak tangis itu sepertinya makin keras. Cowok itu menelungkupkan wajahnya di antara kedua tangan, dan badannya tampak terguncang.
Kemudian gerimis turun.
Saya masih berdiam di tempat semula. Acara ziarah saya sudah selesai, dan gerimis yang turun seharusnya membuat saya segera pergi meninggalkan makam. Tetapi, saya merasa tidak enak. Jika saya bangkit dan meninggalkan tempat itu, mau tak mau saya harus melewati cowok yang sedang menangis tadi, karena dia ada di jalur yang akan saya lewati. Mungkin saya terlalu sensitif, tapi standar etika saya menganggap itu kurang empatik.
Jadi, saya pun memaksa diri untuk tetap berdiam di sana, dan membiarkan gerimis membasahi kepala. Nanti, pikir saya, kalau cowok itu sudah selesai dan mulai beranjak pergi, saya akan ikut bangkit.
Pagi pun merangkak. Dalam cuaca yang cerah, mungkin saat itu sudah mulai terang. Tetapi gerimis yang datang membuat pagi tampak masih gelap. Suara tangis dari belakang saya perlahan-lahan mereda, kemudian hilang. Saya masih duduk menunggu, membelakanginya, dan membiarkan cowok itu menyelesaikan ziarahnya.
Lalu hening.
Dan gerimis masih turun.
Saya menengok ke belakang, dan mendapati cowok itu sedang menatap saya. Dari wajahnya, saya mengira kami seumuran. Ekspresinya ingin mengulum senyum, tapi mungkin kikuk. Jadi saya pun mencoba tersenyum kepadanya. Dan dia membalasnya. Kemudian, dengan suara agak parau karena habis menangis, dia berkata, “Sepertinya kita perlu teh panas, ya?”
Saya segera mengangguk. “Di depan sana ada warung.”
Di depan komplek pemakaman ada warung makan yang tampaknya memang melayani para peziarah. Saya dan cowok itu pun melangkah ke luar pemakaman, dan menuju ke warung. Kami memesan teh panas, dan duduk berhadapan sambil merokok. Entah mengapa, tiba-tiba kami merasa seperti sepasang kawan, meski kenyataannya tidak saling kenal. Kebersamaan di makam tadi sepertinya menjadikan kami saling mengerti.
Saya membuka suara, “Itu tadi... makam ayahmu?”
Cowok itu mengangguk. “Ayahku meninggal dua minggu lalu, dan aku masih tetap merasakan sedih, juga kehilangan.”
“Aku bisa memahaminya. Aku pun merasakan hal sama waktu ayahku meninggal.”
“Kamu tadi juga menziarahi makam ayahmu?”
“Ya,” sahut saya. “Ayahku sudah meninggal cukup lama, delapan tahun yang lalu, tapi aku masih merasa kehilangan, dan sedih setiap kali mengingatnya.”
Cowok itu mengembuskan asap rokoknya, dan terdiam sesaat. Kemudian, setelah mengisap rokoknya kembali, dia berkata, “Pasti kamu sangat akrab dengan ayahmu.”
“Sebaliknya,” jawab saya jujur. “Waktu ayahku masih hidup, aku justru jarang dekat dengannya. Kami tak bisa dibilang akrab, dan karena itulah aku jadi sangat sedih dan merasa kehilangan setiap kali mengingatnya. Ada perasaan menyesal, kenapa dulu tidak menghabiskan waktu lebih banyak dengannya.”
“Itu pula yang membuatku sangat sedih,” ujar cowok itu. “Selama ayahku masih hidup, kami lebih banyak bertengkar daripada bersama. Seumur hidupnya, aku terus menganggapnya ayah yang buruk. Sekarang, kalau diingat-ingat, dia tidak seburuk yang kupikirkan, dan sering kali akulah yang salah dalam setiap pertengkaran. Sekarang, setelah dia meninggal, aku merasa sangat menyesal....”
Gerimis di luar telah berubah menjadi hujan, namun jarum jam terus merangkak. Setelah menghabiskan teh di gelas dan merasakan badan agak hangat, kami pun memutuskan pulang. Cowok itu memberitahukan nama dan alamatnya, begitu pun saya. Kami berjanji untuk saling menghubungi. Sepertinya kami bisa berkawan.
Jalanan belum terlalu ramai ketika saya melaju membelah hujan, dan angan saya melayang ke masa lalu, ketika ayah masih ada... bertahun-tahun lalu.
Seperti yang saya katakan dalam percakapan tadi, saya tidak terlalu dekat dengan ayah, khususnya ketika saya mulai beranjak dewasa. Sewaktu kecil, saya memang dekat dengannya. Namun, ketika saya mulai besar, keakraban dan kedekatan itu perlahan-lahan pudar. Kami memiliki pandangan hidup yang berbeda, dan saya merasa tidak sepaham dengannya. Ayah tidak pernah menentang pilihan hidup saya, namun perbedaan di antara kami menjadi semacam sekat yang membatasi.
Saat mulai kuliah, saya sudah meninggalkan rumah, karena memutuskan untuk hidup sendiri. Waktu itu saya sudah mendapatkan penghasilan sendiri meski tidak banyak, dan dari penghasilan itu saya mengontrak rumah yang saya tinggali sendirian. Keluarnya saya dari rumah orang tua itu pun menjadikan hubungan saya dengan ayah semakin menjauh. Kadang-kadang saya berkunjung ke rumah orang tua, dan kami hanya saling menyapa sekadarnya.
Beberapa tahun kemudian, ketika saya memiliki rumah sendiri dan tidak ngontrak lagi, kadang-kadang ayah datang berkunjung. Namun, mungkin karena melihat kesibukan saya, ayah tak pernah lama-lama. Setelah bercakap sekadarnya, dia pulang.
Selama waktu-waktu itu, sejujurnya saya tidak pernah menganggap ayah saya sebagai sosok istimewa. Di mata saya, dia memiliki banyak kekurangan, bukan ayah sempurna yang layak dibanggakan. Penilaian itu berbalik seratus delapan puluh derajat dibanding penilaian masyarakat terhadapnya. Bagi masyarakat kami, ayah adalah sosok istimewa, pribadi yang sangat dihormati, keberadaan yang selalu dinantikan.
Mungkin seorang anak tidak pernah dapat memahami siapa ayahnya seutuhnya, sampai sang ayah meninggal dunia. Kenyataan itu pula yang terjadi pada saya.
Pada suatu hari, delapan tahun yang lalu, tepatnya 12 Juni 2004, ayah saya meninggal dunia. Tanpa sakit, tanpa tanda-tanda. Pagi hari, menurut orang-orang, ayah saya masih tampak bercengkerama dengan tetangga. Dan sore harinya ayah sudah tiada.
Dan tangis saya meledak. Entah mengapa.
Waktu itu, saya merasakan kehampaan yang amat sangat, seperti ada sesuatu dalam diri saya yang ditarik paksa dan hilang. Saya kehilangan ayah, dan tak akan pernah lagi melihatnya. Tahun-tahun yang telah kami lalui tiba-tiba menjadi rangkaian flashback yang menyiksa, dan saya terbayang kembali saat-saat ia masih ada, ketika kami saling menyapa saat saya berkunjung ke rumah orang tua, ketika ia mengunjungi saya dan kami bercakap sesaat....
Ketika jenazah ayah saya diantarkan ke pemakaman, tak terhitung banyaknya orang yang datang, tak terhitung banyaknya orang yang menangisinya. Detik itulah saya baru menyadari betapa besarnya pengaruh ayah saya bagi sesama, betapa besarnya kehilangan orang-orang atas kepergiannya, sekaligus betapa piciknya saya menilai ayah saya sendiri. Seumur hidupnya, saya hanya menilai ayah dari satu sudut pandang, dan rupanya sudut pandang yang saya gunakan terlalu sempit, terlalu egois.
Sekarang, ketika mengenangnya kembali, saya merasa amat bersalah. Saya memiliki pilihan hidup sendiri, dan ayah tidak pernah mempersoalkannya. Tetapi, sayalah yang justru tak pernah dapat menerima ketika ayah memilih hidupnya sendiri. Dia memilih mengabdikan hidupnya untuk masyarakat, dan seumur hidupnya saya tak pernah dapat memahami pilihannya. Sekarang saya mulai memahami, tapi tentu telah terlambat.
....
....
Keberadaan orang tua kita mungkin seperti nyala lilin. Ia menyala, menerangi hidup kita, namun dalam hening. Mereka tak pernah ribut-ribut menyatakan bahwa cahaya dalam hidup kita karena nyala lilinnya, tapi mereka terus menyala... tanpa suara... bahkan rela meleleh demi terus menerangi hidup kita. Sampai kemudian batas lilin itu habis, sumbunya terus terkikis, dan perlahan-lahan apinya padam.
Ketika cahaya yang sebelumnya kita miliki tiba-tiba hilang, pada waktu itulah sering kali kita baru menyadari bahwa sebelumnya ada lilin yang menyala dalam hening. Dan kita mulai kehilangan, meraba-raba dalam gelap... sampai kemudian menyadari bersama isak tangis, mendapati ada lilin yang telah meleleh sedemikian lama demi menerangi hidup kita.
Suatu waktu, mungkin kita bisa menyalakan lilin yang lain... tapi nyalanya tak pernah sama.