Cinta pertama adalah kenangan,
cinta kedua adalah pelajaran,
dan cinta selanjutnya adalah keperluan.
—@noffret
cinta kedua adalah pelajaran,
dan cinta selanjutnya adalah keperluan.
—@noffret
Setiap kita pasti pernah mengalami cinta pertama. Begitu pula saya. Cinta pertama saya terjadi bertahun-tahun lalu, sewaktu kelas 5 SD. Ceritanya, waktu itu, saya baru naik kelas—dari kelas 4 ke kelas 5. Di kelas yang baru (kelas 5), saya mengenal kawan baru bernama Reni (bukan nama sebenarnya), yang waktu itu tidak naik kelas. Seharusnya, Reni naik ke kelas 6, tapi mungkin nilai rapornya tidak mencukupi. Dan cinta pertama saya pun bersemi.
Sejak pertama kali melihat dan mengenal Reni, saya memiliki perasaan aneh, yang kelak saya ketahui bahwa itulah yang disebut jatuh cinta. Saya senang setiap kali melihatnya, berdebar kalau tanpa sengaja bertatapan dengannya, dan merasa kangen padanya kalau kebetulan sekolah sedang libur panjang. Bagi saya, Reni adalah perempuan terindah yang pernah saya temukan.
Seiring waktu berlalu, saya merasa makin jatuh cinta kepadanya. Tetapi, saya tidak berani menyatakannya. Pertama, karena saya sadar masih sangat kecil. Kedua, saya pemalu—dan terlalu malu untuk menyatakan cinta kepadanya. Ketiga, saya bahkan tidak tahu bagaimana cara menyatakan cinta dengan baik dan benar. Jadi saya pun memendam perasaan itu diam-diam.
Tapi perasaan cinta, kau tahu, tak pernah bisa dipendam diam-diam. Meski saya tidak pernah menyatakan cinta itu secara terus terang kepada Reni, namun saya kadang curhat pada teman-teman dekat mengenai perasaan saya kepadanya. Biasanya, mereka akan bertanya, “Kenapa kamu cinta Reni?”
Sejujurnya, saya tidak bisa menjawab, karena saya tidak tahu mengapa saya jatuh cinta pada Reni. Yang saya tahu, saya jatuh cinta kepadanya—titik.
Dan rasa cinta itu terus bersemi hingga kami naik ke kelas 6. Saya maupun Reni kembali satu kelas. Dan saya tetap merasa cinta kepadanya. Meski diam-diam. Meski saya tetap tidak tahu alasan yang membuat saya jatuh cinta kepadanya.
Menurut teman-teman, Reni tidak cantik. Itu benar, dan saya mengakuinya secara objektif. Di kelas, ada cukup banyak kawan cewek kami yang cantik, sehingga kami yang waktu itu masih kecil pun dapat menilai karena memiliki perbandingan. Reni juga tidak bisa dibilang murid pintar, terbukti dia tidak naik waktu kelas 5. Secara keseluruhan, Reni bisa dibilang biasa-biasa saja. Tapi saya jatuh cinta kepadanya—dan persetan apa kata dunia.
Sampai saya lulus SD, perasaan cinta itu tidak pernah pudar. Saya tetap merasakan debar seperti ketika pertama kali melihatnya. Saya tetap merasakan getar setiap kali bertatapan mata dengannya. Dan sampai lulus SD pula saya tetap tidak tahu mengapa saya jatuh cinta kepadanya, sebagaimana saya tidak pernah menyatakan perasaan cinta itu kepadanya. Satu hal yang saya tahu, itu cinta pertama saya—sebuah cinta tanpa alasan.
Mungkin itu yang disebut cinta monyet. Entahlah, saya tidak tahu. Bertahun-tahun kemudian, saya bahkan tetap tidak tahu mengapa saya jatuh cinta kepada Reni.
Ternyata, hal semacam itu juga terjadi pada beberapa teman saya. Mereka juga jatuh cinta pada seseorang, dan—seperti saya—mereka juga tidak tahu alasan mengapa jatuh cinta pada orang itu. Yang mereka tahu, mereka hanya jatuh cinta—tanpa alasan, tanpa butuh pertanyaan dan jawaban.
Sewaktu SMP, hubungan pertemanan saya makin luas—tidak hanya teman sekelas. Saya pun menyaksikan teman-teman saya yang mulai saling jatuh cinta, lalu pacaran. Kadang, kalau ada teman yang baru punya pacar, saya bertanya, “Kenapa kamu pacaran sama dia?” Biasanya, teman saya akan menjawab karena pacarnya ganteng atau cantik. Rupanya, di masa SMP, cinta mulai memiliki alasan, setidaknya penampilan fisik.
Bocah SMP pasti belum bisa dibilang dewasa. Tapi bukan berarti kami waktu itu tidak mengenal ketertarikan pada lawan jenis. Alam menumbuhkan hormon pada tubuh kami, dan hormon itu menggerakkan kami untuk saling tertarik satu sama lain. Dalam proses ketertarikan itulah benih cinta tumbuh di hati. Tetapi, kali ini, cinta mulai menuntut alasan logis, jawaban yang masuk akal.
Jadi itulah yang kemudian terjadi. Seorang cowok teman saya pacaran dengan seorang cewek dari kelas lain, dengan alasan cewek itu cantik—dan kenyataannya memang begitu. Sementara cewek teman saya yang lain berpacaran dengan cowok sekelas dengan alasan karena cowok itu pintar—lagi-lagi kenyataannya memang begitu. Berbeda dengan masa SD yang dapat jatuh cinta tanpa alasan, di masa SMP kami mulai memiliki alasan untuk jatuh cinta. Dari alasan fisik sampai soal kepintaran.
Lalu alasan untuk jatuh cinta semakin berkembang di masa SMA. Ketika duduk di bangku SMA, persaingan untuk mendapatkan pacar semakin ketat. Di masa SMA, hormon-hormon tubuh sedang bekerja dengan giat, dan perasaan cinta lebih mudah membara. Karenanya, kompetisi untuk mendapatkan pacar pun menjadi semacam perlombaan, dan kau akan dianggap kurang gaul kalau tidak punya pacar.
Yang jadi masalah, cinta kali ini lebih membutuhkan banyak alasan.
Di masa SD, kau dapat jatuh cinta pada seseorang tanpa alasan, dan teman-temanmu tidak akan menertawakannya. Di SMP, kau mulai memahami bahwa cinta membutuhkan alasan, setidaknya ia menarik secara fisik. Di SMA, persyaratan cinta mulai rumit. Pada waktu itulah saya mulai menyaksikan teman-teman cewek di sekolah memilih pacar tidak hanya karena alasan fisik, tetapi juga kendaraan apa yang dipakainya.
Ada cowok-cowok ganteng di sekolah saya yang sulit mendapatkan pacar, karena tiap hari naik angkot. Sementara cowok-cowok lain yang kurang menarik secara fisik tampak lebih mudah mendapat pacar karena motornya keluaran baru, atau setidaknya ia populer di sekolah—entah karena pengurus OSIS, atau jago dalam olah raga. Di SMA, tampang menarik saja tidak cukup. Untuk dapat membuat lawan jenismu jatuh cinta, kau harus punya motor yang gaul, atau harus populer di antara kawan-kawanmu.
Dan persyaratan cinta itu makin lama makin rumit seiring usia yang menanjak dewasa. Di masa kuliah, syarat untuk cinta semakin banyak—dari soal tampang dan penampilan, popularitas di kampus, kemampuan otak dalam bidang akademis, latar belakang sosial, sampai kendaraan apa yang kaumiliki. Semakin banyak kualifikasi yang kaumiliki, semakin mudah bagimu mendapatkan pacar. Begitu pula sebaliknya.
Fenomena itu terjadi di mana-mana. Artinya, kita tidak bisa pindah kampus hanya untuk mendapatkan cinta yang tanpa alasan. Tak peduli kau kuliah di kabupaten terpencil atau di kota metropolitan, persyaratan cinta sama saja. Kau harus punya tampang menarik, penampilan yang enak dipandang, otak yang bisa dibanggakan, latar belakang yang tidak memalukan, dompet yang cukup tebal, serta kendaraan yang bisa dipamerkan. Kau memiliki semuanya, oh well, kau bisa memilih siapa saja.
Ralph Waldo Emerson menyatakan, “Cinta pertama itulah cinta sejati, dan hanya datang satu kali. Selanjutnya adalah cinta yang lahir karena perhitungan-perhitungan.”
Mungkin Emerson terlalu skeptis. Tetapi, saya juga sulit membantah pernyataan itu, karena kenyataan yang saya saksikan memang menunjukkan kecenderungan semacam itu. Di masa dewasa, orang tak bisa lagi jatuh cinta seperti di masa kanak-kanak. Seiring nalar yang makin matang, orang semakin sulit jatuh cinta karena menuntut alasan dan perhitungan. Jika di masa kecil kita bisa jatuh cinta tanpa syarat, di masa dewasa kita menuntut banyak syarat.
Sekarang, setelah saya tidak lagi kuliah dan menjalani hidup sebagai orang dewasa, saya pun melihat bahwa persyaratan untuk jatuh cinta semakin berat. Di masa kuliah, kau mungkin cukup mengendarai motor sport atau mobil bagus ke kampus, dan lawan jenis akan mengerubungimu. Tetapi, setelah lulus kuliah, orang tidak jatuh cinta semata-mata pada kendaraanmu, tetapi juga dengan melihat apa pekerjaanmu, seberapa besar penghasilanmu, seperti apa latar belakangmu, hingga sebagus dan semewah apa rumah kediamanmu.
Di waktu kecil, kita mungkin tidak tahu bagaimana cara menyatakan cinta. Tetapi, di masa itu, kita mungkin mengenal cinta yang benar-benar tulus, tanpa alasan, tanpa perhitungan macam-macam. Di masa dewasa, kita mungkin sangat fasih menyatakan cinta. Tetapi, mungkin pula, kita perlu belajar untuk kembali jatuh cinta seperti di masa kanak-kanak. Untuk jatuh cinta tanpa alasan, untuk jatuh cinta tanpa harus tahu mengapa kita mencintainya.