***
Jadi, teks yang benar saja tidak cukup. Teks yang benar harus sesuai dengan konteksnya. Artinya, teksnya benar, juga konteksnya benar. Jika salah satunya tidak benar, namanya salah konteks. Kalau salah konteks, tolong tidak usah ngotot!
Seperti yang disebutkan tadi, urusan teks dan konteks memang tidak atau kurang familier bagi masyarakat awam. Akibatnya, sering kali terjadi kerancuan antara teks dan konteks karena ketidaktahuan. Yang jadi masalah, kekisruhan antara teks dan konteks tidak jarang menimbulkan perselisihan, kebencian, bahkan permusuhan. Di dunia nyata maupun di dunia maya, terjadi banyak permusuhan dan orang saling membenci karena—jika ditelusuri pangkal pokoknya—akibat kekeliruan orang dalam meletakkan teks pada konteks.
Nah, Farhat Abbas mengingatkan saya pada topik yang rumit ini. Ketika berita mengenai Farhat muncul ke permukaan, berita itu sempat menjadi bahan obrolan saya dengan Livia, sohib saya yang beretnis Cina. Livia bilang, “Apa si Farhat nggak khawatir dituntut karena nulis tweet yang rasis kayak gitu?”
Saya bilang pada Livia, Farhat Abbas bukan orang tolol. Sebagai pengacara, dia tentunya tahu hukum. Dan justru karena tahu hukum itulah dia jadi terkesan seenaknya dalam menulis tweet, tanpa terlalu khawatir dituntut secara hukum. Meski tweet-tweet-nya kadang menyerang seseorang secara langsung (Farhat sering menulis nama secara langsung dalam tweet-nya), dia tahu sebatas mana hukum dapat menjangkaunya.
Sebagai contoh, salah satu tweet-nya yang menimbulkan polemik, kalau tidak keliru, berbunyi, “Apa pun platnya, Ahok tetap Cina.”
Tweet itu tentu saja dianggap rasis oleh banyak orang. Dalam konteks sosial (perhatikan, dalam konteks sosial) mungkin Farhat dapat dianggap bersalah. Tetapi, dalam konteks hukum, Farhat sulit dituntut. Kenapa? Karena tweet itu tidak salah secara hukum. Yang dikatakan Farhat dalam tweet-nya adalah benar, atau sesuai kenyataan, meski masyarakat menganggapnya salah.
Dalam konteks hukum, hakim di pengadilan hanya berdasar dan bersandar pada fakta, bukan pada interpretasi orang per orang. Karenanya, jika faktanya memang benar, maka seseorang tidak bisa didakwa bersalah. Dalam konteks hukum, tweet Farhat tidak salah, karena Ahok memang Cina. Karenanya, menuntut Farhat secara hukum gara-gara tweet tersebut tentu salah konteks, meski dalam konteks sosial Farhat dapat disangka rasis.
Saya bilang ke Livia, “Liv, kalau aku bilang kamu tetap Cina meski berteman denganku, ucapanku benar atau salah?”
Livia menggeleng, dan tersenyum. Dia mulai memahami maksudnya.
Karenanya pula, ketika wartawan mengonfirmasikan polemik Farhat Abbas ke Ahok, wakil gubernur Jakarta itu hanya tertawa, dan tidak mempermasalahkannya. Sejujurnya saya kagum pada jiwa besar Ahok dalam merespon masalah itu. Alih-alih jadi marah akibat serangan Farhat di Twitter, Ahok justru bersikap santai. Bahkan, ketika Farhat meminta maaf kepadanya, Ahok dengan rendah hati menyatakan bahwa Farhat tidak bersalah. Ahok tahu, Farhat memang tidak bisa dituntut secara hukum, karena—berdasar konteks hukum—teks yang ditulis Farhat memang tidak dianggap salah.
Nah, berdasarkan contoh tweet Farhat Abbas, kita melihat betapa satu teks bisa berhadapan dengan beberapa konteks yang bisa benar, bisa pula salah. Meski dalam konteks sosial Farhat Abbas bisa dinilai bersalah karena dia terkesan rasis, namun secara hukum Farhat sulit dituntut karena tweet itu. Karenanya, ngotot agar Farhat dituntut secara hukum gara-gara tweet tadi tentu sia-sia, karena salah konteks.
Lanjut ke sini.