Saya berkawan karib dengan Livia. Ternyata, nyokap saya juga berkawan karib dengan nyokap Livia. Saya tidak menemukan judul yang pas untuk catatan ini, jadi post kali ini tidak ada judul.
Oke, saya ulangi. Saya berkawan karib dengan Livia. Ternyata, nyokap saya juga berkawan karib dengan nyokap Livia. Saya maupun Livia sama-sama tidak tahu hubungan nyokap kami, dan nyokap kami juga tidak tahu hubungan anak-anak mereka. Ini catatan tidak jelas tentang kisah tidak jelas dari hidup saya yang tidak jelas. Bahkan judulnya pun tidak jelas.
Kisah ini dimulai tiga tahun yang lalu, di suatu tempat yang cukup jauh. Saya menghadiri suatu acara di sana, dan bertemu Livia untuk pertama kali. Ketika kami tahu sama-sama berasal dari kota yang sama, kami segera merasa dekat. Jadi, kami pun berteman. Pertemanan itu terus berlangsung hingga kami pulang, dan perjalanan pertemanan itu kini telah mencapai waktu tiga tahun.
Di mata saya, Livia mirip Claire Danes, namun dalam versi Asia. Dia selalu tertawa kalau saya ngomong begitu. Faktanya, Livia memang seorang Chinese yang cantik. Dia seusia saya, dan saya merasa cocok bersahabat dengannya. Saya tidak pernah bosan ngobrol dengannya, dan kami memang banyak menghabiskan waktu bersama. Sebagai teman. Atau sahabat. Kami sama-sama merasa nyaman.
Karena sama-sama lajang, kami menghadapi masalah yang sama, khususnya kalau mendapatkan undangan pernikahan. Dalam hukum tak tertulis, menghadiri acara pernikahan sepertinya harus bersama pasangan. Karena itu, saya sering meminta Livia menemani jika saya kondangan, dan dia pun tidak jarang minta ditemani kalau mendapatkan undangan yang sama.
Sampai sejauh itu, kami sama-sama tidak tahu bahwa ternyata nyokap kami juga saling berhubungan, sebagaimana nyokap kami sama-sama tidak tahu kalau anak-anak mereka akrab berteman.
Suatu hari, saya dolan ke rumah ortu, lalu nyokap minta diantar belanja. Sebenarnya itu hal biasa. Nyokap punya toko langganan—kita sebut saja Toko SA—tempat nyokap membeli berbagai kebutuhan sembako. Meski sangat suka belanja di Hypermart, nyokap telah berlangganan di Toko SA sejak bertahun-tahun lalu, sampai-sampai dia akrab dengan pemiliknya.
Nah, hari itu, nyokap minta diantar ke sana, dan saya pun menyanggupi. Biasanya, kalau mengantar nyokap belanja seperti itu, saya tidak ikut masuk ke toko, tapi menunggu di tempat parkir. Soalnya, nyokap sering ngobrol-ngobrol dulu dengan pemilik toko, jadi saya akan merasa dicuekin. Siang itu, saya merasa kehausan, jadi saya pun masuk ke toko, dan mengambil minuman botol. Pada waktu itulah saya melihat Livia ada di toko itu, sedang melakukan sesuatu di kalkulator.
Sedang apa cewek itu di sini, pikir saya dengan heran. Saya pun mendekatinya, dan menyapa, “Liv, kamu ngapain di sini?”
Livia menatap saya kaget, dan balik bertanya, “Lhoh, kamu yang ngapain di sini?”
“Aku nganter nyokap belanja. Nah, kamu lagi ngapain?”
Livia cekikikan. “Ya nggak ngapa-ngapain. Ini kan toko punya ortuku.”
Sejak itulah saya tahu bahwa Toko SA langganan nyokap adalah milik orangtua Livia. Hari itu, ketika menjumpai Livia pertama kali di toko tersebut, kami pun lalu asyik ngobrol. Sementara itu, seperti yang sudah saya duga, nyokap saya juga terlihat asyik ngerumpi dengan nyokap Livia setelah acara belanja selesai. Ketika mereka sama-sama sadar anak-anak mereka juga sedang ngobrol asyik, kedua nyokap itu terlihat sama-sama bengong.
Dan begitulah awalnya.
Sejak itu, hubungan saya dengan Livia jadi semakin dekat, karena kadang kami saling menyampaikan pesan nyokap kami masing-masing. Tidak jarang, kalau saya pas bertandang ke rumah Livia, nyokapnya akan menyapa saya dengan ramah dan mengajak ngobrol. Begitu pula kalau Livia dolan ke rumah saya—dan kebetulan sedang ada nyokap—Livia pun akan tampak ngobrol asyik dengan nyokap.
Oh, well, kisah ini mungkin terdengar seperti novel-novel ala Mira W atau Fredy S. Tapi jangan salah sangka. Baik saya maupun Livia sama sekali tidak punya “perasaan” apa pun, selain kenyamanan dalam berteman—setidaknya begitulah yang sama-sama kami akui.
Livia bekerja sebagai staf peneliti untuk sebuah lembaga, dan baginya ruang laboratorium adalah tempat terindah yang tidak dapat digantikan apa pun. Meneliti spesimen baru, bagi Livia, jauh lebih mengasyikkan daripada berkencan dengan cowok. Jadi, kami memiliki basic tak jauh beda, karena saya pun lebih suka bercumbu dengan buku daripada SMS-an dengan cewek.
So, kami merasa benar-benar cocok. Kadang-kadang, obrolan kami memang tidak nyambung. Tetapi saya selalu suka mendengarkannya berbicara, sebagaimana Livia adalah pendengar terbaik yang pernah saya temukan. Kau boleh menyebut ini soulmate. Atau, lebih tepat lagi, soulmate yang platonis.
Suatu malam, saya datang ke rumah Livia, karena kami sama-sama akan menghadiri undangan pernikahan. Sambil menunggu ia berdandan, saya ditemani nyokap Livia. Di sela-sela percakapan itu, nyokap Livia berkata, “Da’, Tante tuh prihatin dengan Livia. Dia tuh seperti keasyikan dengan kerjanya, sampai-sampai lupa untuk nikah. Sekali-sekali itu Livia dinasihati, biar cepet nikah.”
Saya tertawa, “Uh, bagaimana saya bisa menasihati Livia agar cepet nikah, wong saya sendiri juga belum nikah?”
Anehnya, seminggu setelah itu terjadi peristiwa yang sama. Nyokap saya berbelanja ke Toko SA, dan di sana ketemu Livia. Karena sudah saling kenal, mereka pun lalu bercakap-cakap. Kata Livia, nyokap saya berkata kepadanya, “Vi, mbok sekali-sekali Hoeda diingetin agar cepet-cepet cari pacar, biar bisa segera nikah.”
Livia cuma cekikikan.
Pada suatu hari Minggu, Livia membangunkan tidur saya ketika ia menelepon dan mengabarkan berita duka. Bu Sumirah—pembantu di keluarga Livia—meninggal dunia. Bu Sumirah telah mengabdi pada keluarga Livia hingga puluhan tahun, bahkan sejak Livia belum lahir. Karenanya, keluarga Livia pun telah menganggap Bu Sumirah sebagai bagian keluarga mereka, apalagi Bu Sumirah memang tidak memiliki keluarga.
Beberapa hari sebelumnya, saya memang mendengar Bu Sumirah masuk rumah sakit, dan keluarga Livia pun mengurusnya dengan baik. Beberapa hari dirawat di rumah sakit, Bu Sumirah kembali sehat, lalu pulang kembali ke keluarga Livia. Namun, baru empat hari di rumah, Bu Sumirah meninggal dunia.
Yang jadi masalah, keluarga Livia tidak tahu bagaimana cara memakamkan Bu Sumirah secara muslim. Mereka umat kristiani, sementara Bu Sumirah seorang muslim. Keluarga Livia menyadari Bu Sumirah tentu ingin dimakamkan secara muslim, dan karena itulah Livia lalu menelepon saya untuk minta bantuan dalam hal itu.
Sebagai muslim, saya cukup tahu bagaimana mengurus hal itu. Jadi, saya pun menghubungi petugas pemakaman, mengundang seseorang yang biasa memandikan jenazah, juga seorang ustadz untuk mengantarkan kepergian terakhir Bu Sumirah dengan doa-doa. Setelah semuanya siap, Bu Sumirah pun lalu diantarkan ke pemakaman dengan ambulan.
Dan begitulah. Acara pemakaman itu berlangsung dalam kesunyian. Yang ada hanya dua orang penggali kubur, seorang ustadz yang membacakan doa-doa, lalu saya dan seorang teman. Keluarga Livia ikut mengantarkan jenazah Bu Sumirah, dan mereka berdiri tak jauh dari acara pemakaman berlangsung, dengan mata berkaca-kaca. Dua batu nisan kemudian tertancap di atas gundukan makam Bu Sumirah, dan kami lalu beranjak pergi meninggalkan makam yang lengang.
Ketika saya melangkah meninggalkan makam itu, entah mengapa, saya merasa baru saja menguburkan diri saya sendiri.
Oke, saya ulangi. Saya berkawan karib dengan Livia. Ternyata, nyokap saya juga berkawan karib dengan nyokap Livia. Saya maupun Livia sama-sama tidak tahu hubungan nyokap kami, dan nyokap kami juga tidak tahu hubungan anak-anak mereka. Ini catatan tidak jelas tentang kisah tidak jelas dari hidup saya yang tidak jelas. Bahkan judulnya pun tidak jelas.
Kisah ini dimulai tiga tahun yang lalu, di suatu tempat yang cukup jauh. Saya menghadiri suatu acara di sana, dan bertemu Livia untuk pertama kali. Ketika kami tahu sama-sama berasal dari kota yang sama, kami segera merasa dekat. Jadi, kami pun berteman. Pertemanan itu terus berlangsung hingga kami pulang, dan perjalanan pertemanan itu kini telah mencapai waktu tiga tahun.
Di mata saya, Livia mirip Claire Danes, namun dalam versi Asia. Dia selalu tertawa kalau saya ngomong begitu. Faktanya, Livia memang seorang Chinese yang cantik. Dia seusia saya, dan saya merasa cocok bersahabat dengannya. Saya tidak pernah bosan ngobrol dengannya, dan kami memang banyak menghabiskan waktu bersama. Sebagai teman. Atau sahabat. Kami sama-sama merasa nyaman.
Karena sama-sama lajang, kami menghadapi masalah yang sama, khususnya kalau mendapatkan undangan pernikahan. Dalam hukum tak tertulis, menghadiri acara pernikahan sepertinya harus bersama pasangan. Karena itu, saya sering meminta Livia menemani jika saya kondangan, dan dia pun tidak jarang minta ditemani kalau mendapatkan undangan yang sama.
Sampai sejauh itu, kami sama-sama tidak tahu bahwa ternyata nyokap kami juga saling berhubungan, sebagaimana nyokap kami sama-sama tidak tahu kalau anak-anak mereka akrab berteman.
Suatu hari, saya dolan ke rumah ortu, lalu nyokap minta diantar belanja. Sebenarnya itu hal biasa. Nyokap punya toko langganan—kita sebut saja Toko SA—tempat nyokap membeli berbagai kebutuhan sembako. Meski sangat suka belanja di Hypermart, nyokap telah berlangganan di Toko SA sejak bertahun-tahun lalu, sampai-sampai dia akrab dengan pemiliknya.
Nah, hari itu, nyokap minta diantar ke sana, dan saya pun menyanggupi. Biasanya, kalau mengantar nyokap belanja seperti itu, saya tidak ikut masuk ke toko, tapi menunggu di tempat parkir. Soalnya, nyokap sering ngobrol-ngobrol dulu dengan pemilik toko, jadi saya akan merasa dicuekin. Siang itu, saya merasa kehausan, jadi saya pun masuk ke toko, dan mengambil minuman botol. Pada waktu itulah saya melihat Livia ada di toko itu, sedang melakukan sesuatu di kalkulator.
Sedang apa cewek itu di sini, pikir saya dengan heran. Saya pun mendekatinya, dan menyapa, “Liv, kamu ngapain di sini?”
Livia menatap saya kaget, dan balik bertanya, “Lhoh, kamu yang ngapain di sini?”
“Aku nganter nyokap belanja. Nah, kamu lagi ngapain?”
Livia cekikikan. “Ya nggak ngapa-ngapain. Ini kan toko punya ortuku.”
Sejak itulah saya tahu bahwa Toko SA langganan nyokap adalah milik orangtua Livia. Hari itu, ketika menjumpai Livia pertama kali di toko tersebut, kami pun lalu asyik ngobrol. Sementara itu, seperti yang sudah saya duga, nyokap saya juga terlihat asyik ngerumpi dengan nyokap Livia setelah acara belanja selesai. Ketika mereka sama-sama sadar anak-anak mereka juga sedang ngobrol asyik, kedua nyokap itu terlihat sama-sama bengong.
Dan begitulah awalnya.
Sejak itu, hubungan saya dengan Livia jadi semakin dekat, karena kadang kami saling menyampaikan pesan nyokap kami masing-masing. Tidak jarang, kalau saya pas bertandang ke rumah Livia, nyokapnya akan menyapa saya dengan ramah dan mengajak ngobrol. Begitu pula kalau Livia dolan ke rumah saya—dan kebetulan sedang ada nyokap—Livia pun akan tampak ngobrol asyik dengan nyokap.
Oh, well, kisah ini mungkin terdengar seperti novel-novel ala Mira W atau Fredy S. Tapi jangan salah sangka. Baik saya maupun Livia sama sekali tidak punya “perasaan” apa pun, selain kenyamanan dalam berteman—setidaknya begitulah yang sama-sama kami akui.
Livia bekerja sebagai staf peneliti untuk sebuah lembaga, dan baginya ruang laboratorium adalah tempat terindah yang tidak dapat digantikan apa pun. Meneliti spesimen baru, bagi Livia, jauh lebih mengasyikkan daripada berkencan dengan cowok. Jadi, kami memiliki basic tak jauh beda, karena saya pun lebih suka bercumbu dengan buku daripada SMS-an dengan cewek.
So, kami merasa benar-benar cocok. Kadang-kadang, obrolan kami memang tidak nyambung. Tetapi saya selalu suka mendengarkannya berbicara, sebagaimana Livia adalah pendengar terbaik yang pernah saya temukan. Kau boleh menyebut ini soulmate. Atau, lebih tepat lagi, soulmate yang platonis.
Suatu malam, saya datang ke rumah Livia, karena kami sama-sama akan menghadiri undangan pernikahan. Sambil menunggu ia berdandan, saya ditemani nyokap Livia. Di sela-sela percakapan itu, nyokap Livia berkata, “Da’, Tante tuh prihatin dengan Livia. Dia tuh seperti keasyikan dengan kerjanya, sampai-sampai lupa untuk nikah. Sekali-sekali itu Livia dinasihati, biar cepet nikah.”
Saya tertawa, “Uh, bagaimana saya bisa menasihati Livia agar cepet nikah, wong saya sendiri juga belum nikah?”
Anehnya, seminggu setelah itu terjadi peristiwa yang sama. Nyokap saya berbelanja ke Toko SA, dan di sana ketemu Livia. Karena sudah saling kenal, mereka pun lalu bercakap-cakap. Kata Livia, nyokap saya berkata kepadanya, “Vi, mbok sekali-sekali Hoeda diingetin agar cepet-cepet cari pacar, biar bisa segera nikah.”
Livia cuma cekikikan.
Pada suatu hari Minggu, Livia membangunkan tidur saya ketika ia menelepon dan mengabarkan berita duka. Bu Sumirah—pembantu di keluarga Livia—meninggal dunia. Bu Sumirah telah mengabdi pada keluarga Livia hingga puluhan tahun, bahkan sejak Livia belum lahir. Karenanya, keluarga Livia pun telah menganggap Bu Sumirah sebagai bagian keluarga mereka, apalagi Bu Sumirah memang tidak memiliki keluarga.
Beberapa hari sebelumnya, saya memang mendengar Bu Sumirah masuk rumah sakit, dan keluarga Livia pun mengurusnya dengan baik. Beberapa hari dirawat di rumah sakit, Bu Sumirah kembali sehat, lalu pulang kembali ke keluarga Livia. Namun, baru empat hari di rumah, Bu Sumirah meninggal dunia.
Yang jadi masalah, keluarga Livia tidak tahu bagaimana cara memakamkan Bu Sumirah secara muslim. Mereka umat kristiani, sementara Bu Sumirah seorang muslim. Keluarga Livia menyadari Bu Sumirah tentu ingin dimakamkan secara muslim, dan karena itulah Livia lalu menelepon saya untuk minta bantuan dalam hal itu.
Sebagai muslim, saya cukup tahu bagaimana mengurus hal itu. Jadi, saya pun menghubungi petugas pemakaman, mengundang seseorang yang biasa memandikan jenazah, juga seorang ustadz untuk mengantarkan kepergian terakhir Bu Sumirah dengan doa-doa. Setelah semuanya siap, Bu Sumirah pun lalu diantarkan ke pemakaman dengan ambulan.
Dan begitulah. Acara pemakaman itu berlangsung dalam kesunyian. Yang ada hanya dua orang penggali kubur, seorang ustadz yang membacakan doa-doa, lalu saya dan seorang teman. Keluarga Livia ikut mengantarkan jenazah Bu Sumirah, dan mereka berdiri tak jauh dari acara pemakaman berlangsung, dengan mata berkaca-kaca. Dua batu nisan kemudian tertancap di atas gundukan makam Bu Sumirah, dan kami lalu beranjak pergi meninggalkan makam yang lengang.
Ketika saya melangkah meninggalkan makam itu, entah mengapa, saya merasa baru saja menguburkan diri saya sendiri.