Post ini adalah lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.
***
Nah, Westerling melanggar aturan kode etik itu. Ketika dia memerangi rakyat Sulawesi Selatan, dia menggunakan caranya sendiri yang jelas-jelas jauh berbeda dari buku pedoman yang seharusnya ia gunakan. Langkah awal ini saja sudah cukup untuk melemparkan Westerling ke Pengadilan Militer.
Lanjut. Setelah menyusun strateginya, Westerling bersama pasukannya mulai melakukan operasi mereka pada tengah malam, 11 Desember 1946. Sasaran mereka waktu itu adalah desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar, seperti desa Borong dan Patunorang.
Jadi, pada pukul 4 pagi itu, wilayah desa-desa tersebut telah dikepung, dan kemudian Westerling bersama pasukannya melakukan penggeledahan ke rumah-rumah penduduk. Semua orang digiring ke desa Batua. Pada waktu itu, 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Sekitar pukul 8.45, seluruh penduduk dari desa-desa lain telah dikumpulkan di desa Batua. Tidak jelas berapa jumlah pastinya. (Kelak, Westerling menyatakan bahwa jumlah orang yang ia kumpulkan waktu itu antara 3.000 sampai 4.000 orang).
Setelah semua orang desa itu berkumpul, Westerling mulai mencari “kaum ekstremis, perampok, penjahat, dan pembunuh”. Westerling sendiri yang memimpin aksi itu, dan ia berbicara kepada penduduk di sana dengan bahasa Belanda, yang diterjemahkan ke bahasa Bugis.
Hasilnya, 35 orang yang dituduh langsung dibunuh di tempat. Metode yang digunakan Westerling itu disebut “Standrecht”, yang secara harfiah berarti pengadilan dan eksekusi di tempat. Dalam laporannya sendiri, Westerling menyebutkan jumlah yang ia bunuh waktu itu adalah 11 ekstremis, 23 perampok, dan 1 orang pembunuh.
Setelah itu, Westerling dan pasukannya melanjutkan pola yang sama di tempat-tempat lain di seluruh Sulawesi Selatan. Di desa Tanjung Bunga, pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946, mereka membunuh 61 orang. Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.
Berikutnya, pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, mereka melakukan sweeping di desa Kalukuang yang terletak di pinggiran kota Makassar, dan sebanyak 23 orang ditembak mati. Di tempat inilah Wolter Monginsidi dan Ali Malakka disiksa, hingga kemudian tewas terbunuh. Selanjutnya, pada malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 Desember, desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran, dan memakan korban tewas sebanyak 33 orang.
Pembantaian itu belum berhenti. Pada 19 Desember 1946, Westerling dan pasukannya memasuki desa Polobangkeng yang terletak di selatan Makassar, juga ke desa Renaja dan Ko’mara. Di sana mereka membantai 330 orang. Setelah itu, pada 26 Desember 1946 sampai 3 Januari 1947, wilayah Gowa di-sweeping, dan korban yang tewas sebanyak 257 orang.
Memasuki pertengahan Januari 1947, Westerling melakukan pembantaian di Parepare, Madello, Abbokongeng, Padakkalawa, Suppa, Enrekang, Talabangi, Soppeng, Barru, Malimpung, dan sebuah desa yang tak dikenal. Memasuki Februari, giliran pesisir Tanete yang di-sweeping, termasuk desa Taraweang dan Bornong-Bornong.
Setelah itu mereka masuk ke desa Mandar, membunuh 364 orang, lalu pindah ke desa Kulo, Amparita, dan Maroangin, dan kembali membunuh 171 penduduk—semua pembunuhan ini tanpa bukti atau dasar kejahatan apa pun. Setelah itu, Westerling dan pasukannya semakin haus darah. Mereka membunuh dan membantai siapa pun yang mereka inginkan.
Jadi, bagi Westerling dan konco-konconya, acara pembantaian ini seperti permainan gundu. Mereka mengumpulkan sejumlah orang di lapangan, lalu Westerling menyeringai senyuman iblis sambil menembakkan pistolnya ke kepala orang-orang tak berdosa itu, dan pasukannya akan mengikuti dengan memberondongkan senapan mesin mereka.
Peristiwa pembantaian paling mengerikan terjadi pada 2 Februari 1947, di Galung Lombok. Di tempat ini, jumlah korban kebiadaban Westerling dan pasukannya jauh lebih banyak dibanding di tempat-tempat sebelumnya. Pada peristiwa itu, orang-orang berpengaruh di Galung Lombok dibaringkan di lapangan, kemudian ditembak serentak dengan disaksikan para penduduk lainnya. Kemudian, Westerling juga menangkap orang-orang lainnya—lelaki dan perempuan—untuk ditahan dan disiksa, digantung dan dibunuh.
Pada 21 Februari 1947, keadaan di Sulawesi Selatan dianggap “telah aman dan terkendali”, dan pasukan Westerling pun kembali ke markas mereka di Jakarta sebagai pahlawan. Koran mingguan Belanda, Het Militair Weekblad, menyanjung mereka sebagai “Pasukan Turki yang Kembali”. Dan, berkat “prestasinya”, Westerling pun naik pangkat dan memegang komando pasukan yang lebih besar.
Pertanyaannya sekarang, berapa jumlah total orang yang menjadi korban kebiadaban Westerling? Masih simpang siur, tidak jelas. Pada tahun 1947, delegasi Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, bahwa korban pembantaian terhadap penduduk yang dilakukan Raymond Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.
Pihak Belanda “tidak terima” dengan jumlah itu. Pada tahun 1969, pemerintah Belanda melakukan “pemeriksaan”, yang pada akhirnya menghasilkan kesimpulan bahwa korban yang tewas selama aksi Westerling di Sulawesi hanya sebanyak 3.000 orang. Westerling sendiri, dengan gebleknya mengaku kalau dia “cuma” membunuh 600 orang. Dan, yang paling penting diperhatikan di sini, pemerintah Belanda tidak pernah menjatuhkan sanksi apa pun atas tindak indisipliner Westerling selama menjalankan operasinya.
Berdasarkan data-data otentik yang dapat diambil dari sejarah, pembantaian Westerling dan pasukannya di Sulawesi Selatan dapat digolongkan sebagai kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Artinya, kasus kejahatan ini sampai sekarang tetap dapat diajukan ke pengadilan internasional, karena kejahatan kemanusiaan—termasuk pembantaian etnis (genocide)—tidak memiliki masa kadaluwarsa.
Lalu adakah upaya pemerintah Indonesia atas hal itu? Jangan mimpi! Pemerintah kita sepertinya sudah terlalu sibuk mengurusi dirinya sendiri, juga terlalu asyik mengurusi persoalan-persoalan tidak jelas yang membelit seperti gurita yang sepertinya tidak ada habisnya, hingga mungkin bagi mereka ribuan nyawa tak berdosa di Sulawesi Selatan hanyalah bagian dari sejarah nina bobo.
Jangankan untuk korban di Sulawesi Selatan yang terjadi pada masa lampau, bahkan korban-korban lain yang terjadi di era sekarang pun sepertinya pemerintah kita tak terlalu peduli atau pura-pura lupa. Dan, setiap kali diingatkan, mereka biasanya akan menjanjikan, menjanjikan, menjanjikan, dan tersenyum. Padahal, kata Iwan Fals, kalau hanya senyum yang engkau berikan, Westerling pun tersenyum.
*) Semua data historis dalam catatan ini dapat diverifikasi ke semua sumber yang valid.