Jumat, 17 Februari 2012

Beautiful Butterfly

Kita harus tahan terhadap ulat jika ingin dapat melihat kupu-kupu.
Antoine De Saint Exupery


Dalam film Captain America, kita menyaksikan seorang bocah kurus kering berubah menjadi sosok perkasa dalam waktu singkat. Dengan sebuah mesin aneh dan formula ajaib, bocah tak dikenal itu bisa berubah menjadi pahlawan dalam waktu semalam.

Ketika menyaksikan film itu, saya teringat pada tetangga saya, Mursidi. Sekarang Mursidi sudah punya anak-istri dan hidup di daerah lain, sehingga kami jarang ketemu. Tetapi dulu, sewaktu saya masih kuliah, kami sangat akrab dan sering menghabiskan waktu bersama. Pada waktu itu, kami memiliki kesamaan—sama-sama kurus.

Suatu hari, Mursidi mengajukan ide untuk ikut program fitnes di sebuah gim yang baru dibuka. Gim itu tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kami, sehingga Mursidi pun tertarik ingin gabung ke sana. “Biar badan kita jadi gede,” ujar Mursidi waktu itu.

Sejujurnya, saya tidak terlalu tertarik. Membayangkan tubuh kami yang kurus bisa berubah menjadi besar, terdengar mustahil bagi saya waktu itu. Jadi, ketika Mursidi memutuskan untuk gabung di gim itu, saya hanya bilang, “Ntar deh, aku lihat-lihat dulu. Kalau kamu sukses, ntar aku ikut.”

Dan program itu pun dimulai. Setiap sore, Mursidi berangkat ke gim untuk berlatih, di bawah pengawasan seorang instruktur. Satu bulan semenjak ia berlatih di gim itu, saya menemuinya, dan melihat tubuhnya masih biasa-biasa saja—maksudnya tetap kurus seperti semula. Bahkan, waktu itu, Mursidi sempat mengeluh badannya capek dan pegal-pegal karena latihan yang harus dijalaninya.

Menyaksikan kenyataan itu, saya makin yakin kalau mengubah tubuh kurus kering menjadi besar dan kekar memang mustahil.

Tapi Mursidi percaya dengan tujuannya. Ia percaya latihan-latihan yang dijalaninya akan mengubah tubuhnya. Ia percaya pada instrukturnya, ia percaya pada kemungkinan impiannya. Maka ia pun terus berlatih, berlatih, dan berlatih, meski tiap malam harus merasakan capek dan pegal-pegal. Ia bahkan rela mencampakkan rokok yang biasa diisapnya setiap hari, demi terwujudnya tujuannya.

Seiring dengan itu, kami mulai jarang ketemu. Jam-jam latihan Mursidi semakin panjang, dan saya pun makin sibuk karena banyaknya tugas kuliah. Ketika Mursidi sedang mengangkat barbel di gim, saya sedang mengerjakan makalah di depan komputer. Ketika Mursidi sedang push up, saya sedang merokok. Ketika Mursidi sedang diteriaki instrukturnya, saya sedang pacaran.

Sekitar sepuluh bulan kemudian, saya ketemu Mursidi di sebuah resepsi pernikahan. Dan… well, saya nyaris tak mengenalnya!

Teman saya yang dulu kurus kering itu, sekarang benar-benar telah mencapai impiannya—tubuhnya terlihat besar, kekar, dan berisi. Hampir dapat dikatakan kalau ukuran tubuhnya sekarang lebih besar tiga kali lipat dari ukuran tubuhnya dulu. Bayangkanlah Doyok atau Aming berubah menjadi Arnold Schwarzenegger.

“Wah, hebat!” puji saya padanya waktu itu.

Mursidi cengengesan. Faktanya, dia memang tampak hebat. Kalau saja saya bukan temannya sejak dulu, saya pasti tidak percaya kalau cowok yang besar dan kekar itu dulunya kurus kering. Tapi itulah yang terjadi—yang benar-benar terjadi. Dengan latihan yang gigih, dia berhasil mengubah dirinya yang kecil dan kurus menjadi besar dan kuat.

“Kamu masih latihan kayak dulu?” tanya saya tertarik.

“Masih,” jawab Mursidi. “Tapi udah nggak seberat dulu. Sekarang cuma latihan untuk menjaga kebugaran aja.”

“Masih terasa capek dan pegal-pegal?”

Dia tertawa. “Nggak lagi. Capek dan pegal-pegal itu hanya terasa sekitar sebulan. Setelah itu, karena udah biasa, capek dan pegalnya hilang sendiri.”

Mendengar cerita-ceritanya, saya jadi benar-benar tertarik. Saya ingin mengikuti jejak Mursidi, biar saya juga memiliki tubuh yang besar dan kekar. Maka kami pun kemudian mulai membicarakan hal itu.

Besoknya, di kampus, saya membicarakan rencana itu dengan pacar. Waktu itu, saya pacaran dengan perempuan ini. Saya bilang padanya kalau saya akan ikut fitnes, biar badan saya tidak kurus lagi. Saya juga menceritakan perubahan yang terjadi pada Mursidi, serta keinginan saya untuk memiliki tubuh besar seperti dirinya. Di luar dugaan, pacar saya melarang.

“Jangan!” ujarnya waktu itu. “Kamu jangan ikut fitnes kayak gitu!”

“Lho, kenapa?” tanya saya heran.

“Nanti kamu nggak keren lagi!”

Hohoho, ternyata, bagi pacar, saya terlihat keren justru karena kurus. Mungkin itu terdengar aneh, tapi pacar saya benar-benar melarang—pokoknya saya tidak boleh membesarkan tubuh, karena dia lebih suka diri saya yang kurus seperti sekarang ini.

Akhirnya, demi membahagiakan pacar, saya pun tidak jadi ikut program fitnes di gim tempat Mursidi berlatih. Namun, meski begitu, saya mendapat pelajaran besar dari teman saya itu, bahwa tidak ada apa pun di dunia ini yang sanggup mengalahkan kegigihan dan ketekunan. Kalau seorang yang kurus kering bisa berubah menjadi besar dan kekar karena ketekunan dan latihan tak kenal lelah, begitu pun semua yang terjadi pada lainnya.

Sebodoh apa pun, orang bisa mengubah dirinya menjadi cerdas dan pintar. Semiskin apa pun, orang bisa mengubah dirinya menjadi kaya dan berkelimpahan. Segelap apa pun, kita selalu bisa menyalakan cahaya dan melahirkan terang. Seperti kepompong yang bermetamorfosa menjadi kupu-kupu, takdir masing-masing manusia ada di tangannya sendiri. Dan… dalam ketekunan dan kegigihan, tidak ada kemustahilan.

….
….

Suatu siang di bulan Mei, bertahun-tahun lalu, saya mendapatkan kiriman paket dari pos. Ketika saya buka, isinya t-shirt dari Tabloid Gaul—salah satu bacaan remaja paling terkenal di Indonesia. T-shirt itu berwarna merah, dan di bagian dada tertera logo “Gaul”. Besoknya saya pakai t-shirt itu ke kampus, dengan kemeja lengan panjang yang tidak dikancingkan—itu style saya waktu masih kuliah.

Teman-teman di kampus melongo melihat saya—maksudnya melihat t-shirt yang saya pakai—karena mungkin mereka pikir cuma para artis dan model iklan yang bisa memiliki t-shirt Gaul. Dan, yang tak bisa saya lupakan, pacar saya terlihat sumringah ketika kami bertemu hari itu. Dia berkata, “Nah, coba bayangkan kalau kamu berbadan besar kayak Arnold, pasti kamu nggak akan bisa sekeren ini lagi!”

Dia tersenyum.

Dalam ingatan saya, itu senyum paling bersinar yang pernah saya saksikan.

 
;