Sabtu, 26 Januari 2013

Farhat Abbas, Masalah Konteks, dan Lainnya (1)

Bahasa yang berantakan mencerminkan
isi kepala yang berantakan.
Putu Wijaya


Farhat Abbas menjadi trending topic bagi sebagian pengguna Twitter, karena tweet-tweet-nya yang menimbulkan kehebohan, bahkan sempat menjadi bahan berita beberapa kali di situs Detik.

Meski tidak menjadi follower-nya di Twitter, saya juga kadang stalking ke timeline Farhat Abbas untuk membaca update tweet-nya. Sepertinya seru. Satu kali Farhat menulis tweet baru, tweet itu biasanya akan di-retweet dan dibalas (mention) cukup banyak orang—kebanyakan kontra. Dan, biasanya pula, Farhat akan me-retweet beberapa mention yang diterimanya.

Tapi Farhat cukup “adil”. Maksudnya, dia tidak hanya me-retweet mention yang mendukungnya, tetapi juga me-retweet mention yang jelas-jelas menentang bahkan menghujatnya. Perilaku itu layak dipuji, karena kebanyakan orang terkenal di Twitter biasanya hanya me-retweet mention yang memuji dirinya, namun pura-pura tak tahu jika ada yang menentang apalagi menghujatnya. Jangankan me-retweet mention yang menentang, bahkan membalasnya pun kadang ogah.

Ada apa dengan Farhat? Saya tertarik menulis catatan ini, bukan karena saya pengagum Farhat Abbas. Juga bukan karena mendukung dia untuk menjadi presiden Indonesia di masa depan sebagaimana yang sekarang dikampanyekannya. Saya tertarik membahas Farhat Abbas melalui catatan ini, karena Farhat mengingatkan saya pada rumitnya masalah teks dan konteks dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam dunia akademisi, teks dan konteks adalah elemen penting, karena penilaian atas bagus tidaknya sebuah teori akan ikut ditentukan oleh sinkronisasi antara teks dan konteks. Artinya, bagi seorang akademisi, suatu teori (teks) harus sesuai dengan konteksnya. Tak peduli sehebat atau sebenar apa pun sebuah teori, ia tak bisa diaplikasikan jika tidak sesuai konteks.

Menggunakan analogi yang mudah, ketidaksesuaian antara teks dan konteks sama halnya dengan memberikan dongkrak mobil kepada juru masak untuk membuat telur mata sapi. Dongkrak mobilnya memang benar—sebagai alat, sebagai dongkrak mobil. Tetapi pemberian dongkrak mobil kepada juru masak untuk membuat telur mata sapi tentu saja tidak benar, alias salah konteks. Karena yang dibutuhkan juru masak untuk membuat telur mata sapi tentu bukan dongkrak mobil, melainkan wajan dan kompor.

Jadi, sebagai sebuah alat, dongkrak mobil adalah alat yang benar. Tetapi benar bagi mobil yang perlu didongkrak. Dan alat yang benar bagi mobil yang perlu didongkrak belum tentu benar pula bagi juru masak yang perlu membuat telur mata sapi. Sebuah alat baru berguna untuk kebutuhan yang sesuai. Karenanya, teks hanya akan bermanfaat jika sesuai konteks. Karenanya pula, dalam dunia akademisi, sebuah teks harus memiliki hubungan jelas dengan konteks. Jika tidak, teks itu hanya omong kosong.

Urusan teks dan konteks memang tidak atau kurang familier bagi orang awam atau non-akademisi. Sehingga, sering kali masalah ini disalahpahami, disalahpahami, dan disalahpahami. Tidak jarang, seseorang menyatakan suatu teks yang benar untuk suatu konteks. Namun, teks yang benar itu kemudian diserang habis-habisan gara-gara para penyerangnya tidak memahami keterkaitan antara teks dan konteks. Karena tidak paham antara teks dan konteks, para penyerang itu pun menyerang di luar konteks.

“Musuh besar orang-orang besar,” kata para filsuf, “adalah orang-orang kecil dengan pikiran kerdil.” Dalam dunia akademisi, musuh besar teks yang benar adalah teks yang keluar dari konteks, alias teks yang keliru konteks, akibat orang-orang tidak paham pentingnya hubungan antara teks dengan konteks. Sekali lagi, teks yang benar namun tidak sesuai konteks adalah omong kosong, alias tidak berguna. Meminjam istilah anak muda zaman sekarang, “Nggak nyambung!”

Lanjut ke sini.

 
;