***
Pemerintah kebingungan. Sekarang, yang dihadapi pemerintah mungkin bukan hanya dilema, tetapi bahkan telah menjadi trilema. Di satu sisi, mereka tahu warung-warung tenda itu melakukan kesalahan. Di sisi lain, mereka tidak mampu menindak para pelaku kesalahan tersebut karena menyadari warung-warung itu bisa ada di sana karena sempitnya lapangan kerja. Di sisi lain lagi, masyarakat luas juga membutuhkan warung-warung itu untuk makan.
Jika warung-warung tenda ditindak tegas dan dihilangkan, pemerintah tentu melakukan hal yan benar. Tetapi implikasinya akan berat sekali. Warung-warung itu telah menjadi mata pencaharian jutaan orang. Menghilangkan mereka sama artinya menghilangkan nafkah sekian juta keluarga, dan itu tentunya akan menimbulkan dampak yang sangat besar. Akhirnya, alih-alih melarang dan menindak keberadaan warung-warung tenda, pemerintah justru memanfaatkannya dengan menarik retribusi.
Karena menyadari tidak mungkin menghilangkan warung-warung itu, pemerintah mengambil jalan yang mungkin mereka anggap cantik—membiarkan mereka beroperasi, sekaligus menambah jumlah pajak pendapatan. Dengan langkah itu, semua pihak merasa senang. Para pemilik warung tenda bisa terus berdiri, masyarakat bisa makan dengan mudah, sementara pemerintah daerah mendapatkan tambahan pemasukan melalui retribusi. Semuanya senang, tidak ada yang dirugikan.
Tetapi benarkah tidak ada yang dirugikan…?
Berkaitan dengan trotoar yang disalahgunakan, secara langsung ada pihak yang telah dirugikan. Yaitu para pejalan kaki. Pemerintah mengabaikan hak para pejalan kaki, karena mungkin dalam pertimbangan mereka para pemilik warung makan lebih layak dibela dibanding para pejalan kaki yang tak memberikan kontribusi apa-apa.
Padahal, kalau saja semua trotoar bebas dari gangguan, dalam arti tidak ada warung-warung tenda yang didirikan di sana, maka trotoar akan lebih bersih dan lebih sehat. Apalagi jika dihiasi tanaman dan pohon-pohonan. Jika trotoar bersih dan sehat, kita pun dapat membayangkan para pejalan kaki bisa jalan-jalan dengan santai tanpa terganggu, mungkin sepasang remaja yang saling bergandengan, mungkin sekeluarga yang refresing dengan cara murah, mungkin pula sepasang manula yang berjalan perlahan sambil bernostalgia.
Tetapi bayangan indah semacam itu tidak terjadi, karena trotoar telah dipenuhi para pencari rezeki. Saya sendiri, dalam konteks masalah ini, kebingungan untuk menyalahkan siapa. Saya tidak berani menyalahkan pemerintah, karena menyadari dilema atau bahkan trilema yang dihadapinya. Saya juga tidak berani menyalahkan para pemilik warung tenda, karena menyadari mereka tentu butuh menafkahi keluarga, anak dan istrinya. Lebih dari itu, saya sendiri juga sering makan di warung-warung semacam itu.
Karenanya, sekarang mari kita masuk lebih dalam lagi ke persoalan ini.
Berdasarkan pemaparan di atas, kita melihat bahwa salah satu faktor pemicu munculnya warung-warung tenda di pinggir jalan karena sempitnya lapangan kerja. Karena kesulitan mencari pekerjaan, orang-orang pun mencari alternatif lain yang salah satunya mendirikan warung tenda, untuk mendapatkan uang, untuk mengais nafkah, untuk menghidupi keluarga. Pemerintah memahami dan memaklumi itu, dan membiarkannya.
Pertanyaannya sekarang, mengapa lapangan kerja menyempit?
Lapangan kerja menyempit, setidaknya karena dua faktor. Pertama, karena adanya mesin dan robot-robot yang telah menggantikan tenaga manusia. Bersama dunia yang makin maju, teknologi pun semakin modern, dan mesin serta robot-robot mengambil alih tenaga manusia. Karena keberadaan mereka, sekian banyak pekerjaan yang semula dilakukan manusia terpaksa dihilangkan, dan akibatnya lapangan kerja menyempit.
Lanjut ke sini.