Rabu, 02 Januari 2013

Akar Kesalahan (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Karena keberadaan warung-warung itu, para pejalan kaki harus mengalah. Mereka harus melangkah ke tengah jalan, yang tentunya bisa mengancam keselamatan jika kebetulan ada pengendara motor atau mobil yang kebetulan lengah. Bahkan kecelakaan yang menimpa Doni juga terjadi, salah satunya disebabkan keberadaan warung tenda itu.

Jadi, apakah warung tenda yang bersalah atas kecelakaan yang menimpa Doni? Jika kita menyalahkan warung tenda atas kecelakaan itu, pemilik warung kemungkinan besar tidak terima. Mereka bisa saja menyatakan, “Kalian saling menabrak, dan sekarang malah menyalahkan kami? Yang benar saja!” Artinya, meski mungkin ikut andil dalam terjadinya kecelakaan itu, warung tenda di sana belum tentu merasa bersalah.

Sekarang, mari kita masuk ke persoalan ini lebih dalam lagi. Mengapa ada banyak warung makan tenda di pinggir jalan, di atas trotoar? Dengan kata lain, mengapa ada kesalahan yang terus dibiarkan di sekeliling kita?

Jika kita mengacu pada peraturan formal, kita sama-sama tahu bahwa keberadaan trotoar ditujukan untuk para pengguna jalan, khususnya para pejalan kaki. Artinya, jika kita menggunakan trotoar untuk tujuan lain, kita telah melakukan kesalahan. Karena warung-warung tenda didirikan di atas trotoar sehingga mengganggu para pejalan kaki, maka tentu mereka dapat dianggap telah melakukan kesalahan, karena menyalahgunakan fasilitas umum. Pertanyaannya, mengapa kesalahan itu sampai terjadi?

Jawaban yang muncul dalam kepala kita, mungkin karena tidak adanya ketegasan pemerintah—khususnya masing-masing pemerintah daerah—dalam memberlakukan peraturan. Pemerintah tidak tegas dalam memberlakukan peraturan menyangkut trotoar, sehingga fasilitas umum itu disalahgunakan untuk kepentingan pribadi (mendirikan warung tenda).

Jika pemerintah tegas, mereka tentu bisa melarang siapa pun mendirikan warung tenda di atas trotoar, dan menindak atau bahkan menghukum siapa pun yang mencoba melanggarnya. Jika pemerintah tegas memberlakukan peraturan yang telah dibuatnya sendiri, maka warung tenda tidak akan ada lagi di trotoar, para pejalan kaki dapat menggunakannya dengan lebih baik, dan kecelakaan semisal yang menimpa Doni bisa diminimalisasi.

Kenyataannya, pemerintah tidak tegas dalam peraturan menyangkut trotoar dan penggunaannya. Sehingga penyalahgunaan trotoar pun terus terjadi, bahkan bisa dibilang semakin lama semakin banyak.

Mengapa pemerintah tidak bisa tegas dalam hal itu? Mungkin karena pemerintah terjebak dalam dilema yang tak bisa diselesaikannya sendiri. Pemerintah tahu warganya butuh pekerjaan agar dapat menghasilkan uang untuk menghidupi keluarga. Sedangkan lapangan kerja sulit diperoleh, sehingga sebagian warga pun mencari alternatif, yang salah satunya membuka warung tenda. Karena tidak mampu membeli tanah atau menyewa ruang di mall, mereka pun mendirikannya di atas trotoar.

Pemerintah tahu itu kesalahan. Pemerintah menyadari bahwa mendirikan warung tenda di atas trotoar adalah penyalahgunaan fasilitas umum, dan pelakunya dapat ditindak. Tetapi, seperti yang disebutkan di atas, pemerintah menghadapi dilema. Jika mereka memberlakukan peraturan secara tegas menyangkut trotoar dan menindak siapa pun yang menyalahgunakannya, maka artinya akan ada sekian ribu atau bahkan sekian juta orang yang akan kehilangan mata pencahariannya.

Mungkin, warung tenda yang ada di atas trotoar semula hanya sedikit. Karena pemerintah tidak segera menindak yang sedikit itu, lama-lama warung tenda semacam itu pun semakin banyak. Pemerintah masih diam, dan jumlahnya semakin banyak lagi. Akhirnya, seperti yang kita saksikan sekarang, hampir sepanjang trotoar dihiasi warung-warung tenda. Dan pemerintah pun kebingungan.

Lanjut ke sini.

 
;