Kamis, 11 Desember 2014

Soal Mantan, dan Beberapa Hal yang Perlu Kita Bicarakan

Aneh, ya. Tiap kali aku nyebut “luka”,
orang mengasumsikannya ke “cinta”. Kok sempit amat?
Aku bahkan tidak punya masalah atau luka cinta.
@noffret 


Rencana semula, catatan yang sebenarnya akan saya unggah hari ini adalah post berjudul Rachel, Sang Mbakyu (plus dua catatan lain sebagai pengiring). Catatan itu mengulas sosok Rachel Dawes dalam film Batman Begins dan The Dark Knight, khususnya seputar hubungannya dengan Bruce Wayne dan Harvey Dent. Namun, posting tersebut terpaksa saya tunda dulu, dan mungkin akan saya unggah setelah catatan soal mantan ini.

Well, saya terpaksa menulis catatan ini, untuk meluruskan beberapa hal yang mungkin disalahpahami sebagian orang. Di blog maupun di Twitter, saya cukup sering menyebut “luka” atau kata/kalimat sejenisnya, dan sebagian orang rupanya mengasumsikan hal tersebut dengan “cinta”. Padahal, saya sama sekali tidak memaksudkan seperti itu. “Luka” yang sering saya sebut sama sekali tidak berhubungan dengan cinta, khususnya cinta dengan (mantan) pacar.

Kenapa ini jadi penting?

Saya perlu menjelaskan hal ini, karena bagaimana pun asumsi yang keliru itu tidak adil untuk mantan (atau mantan-mantan) saya. Mereka perempuan-perempuan baik yang pernah menjalin hubungan baik dengan saya, dan tentunya asumsi yang keliru mengenai mereka secara tak langsung telah menghakimi mereka. Karena itu, saya merasa punya kewajiban moral untuk menjelaskan dan meluruskan, agar mereka tidak dicederai asumsi yang salah. Itu tidak adil untuk mereka.

Ada mantan saya yang cukup aktif di Facebook. Kami memang tidak lagi berhubungan, tapi selalu ada kemungkinan dia juga membaca blog ini, dengan alasan apa pun. Tempo hari, seorang teman memberitahu bahwa mantan saya “direcoki” beberapa orang di Facebook yang ingin tahu hubungan kami di masa lalu, dan bertanya-tanya mengapa saya tampaknya sangat terluka akibat cinta.

Terus terang saya ingin ngakak campur nangis mengetahui hal itu. Oh, well, rupanya orang bisa salah memahami sesuatu hanya karena merasa sok tahu.

Untuk itulah, saya merasa perlu menulis catatan ini, untuk menjelaskan beberapa hal yang telah menyesatkan asumsi sebagian orang, serta untuk membicarakan beberapa hal lain seputar mantan.

Mari kita mulai dari awal.

Seperti yang pernah saya tulis di catatan-catatan terdahulu, seumur-umur saya hanya pernah pacaran dua kali. Dan keduanya adalah perempuan yang baik, bukan sosok yang telah melukai saya hingga meninggalkan luka dan trauma. Meski sekarang tidak lagi berhubungan dengan mereka, saya tetap mengenang mereka sebagai orang-orang baik, dan bersyukur karena pernah mengenal serta menjalin hubungan dengan mereka.

Pacar pertama saya berawal dari pertemanan. Kami telah saling kenal dan sama-sama merasa nyaman sebelum menjadi pacar. Dari hubungan pertemanan, kami menjadi pacar. Dia maupun keluarganya sangat baik. Saya akrab dengan ayah dan ibunya, juga adik dan kakaknya. Waktu itu mereka bahkan sangat merestui hubungan kami.

Namun, singkat cerita, kami kemudian putus. Dia pergi ke tempat jauh, dan saya melanjutkan hidup. Sejak itu kami berpisah, tapi kami tidak punya masalah apa pun. Saya bahkan masih cukup sering bertemu adik atau kakaknya, dan kami biasa saling sapa dengan ramah seperti dulu.

Jika sekarang ditanya seperti apa pacar pertama saya, maka saya akan menjawab jujur bahwa dia perempuan yang baik—seseorang yang pernah menjalin hubungan indah, sesuatu yang saya syukuri dalam hidup. Dia tidak hanya baik sebagai pacar, namun juga baik sebagai teman. Fakta bahwa kami kemudian putus tidak akan membutakan mata dan hati saya dari kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukannya. Saya bahkan mendoakan semoga dia dikaruniai hidup yang baik dan bahagia, di mana pun kini berada.

Kemudian, pacar kedua, adalah teman kuliah—seorang perempuan yang pernah saya ceritakan di sini. Seperti yang terjadi pada pacar pertama, hubungan yang saya jalin dengan pacar kedua juga berawal dari pertemanan. Kami telah kenal dan akrab jauh-jauh hari sebelum kemudian memutuskan untuk pacaran. Memang sejak awal saya telah menyadari dia perempuan yang sangat indah, tetapi saya mulai jatuh cinta kepadanya setelah hampir dua tahun bersama sebagai teman.

Kami berpacaran selama kuliah, seperti umumnya teman-teman yang lain. Ketika saya drop out dari kampus, kami tetap menjalin hubungan. Di sela-sela kesibukan, saya masih sering antar-jemput dia kuliah, dan seisi kampus tahu dia pacar saya. Oh, pacar saya ini kembang kampus—dari para mahasiswa, dosen-dosen, sampai staf akademik, mengenalnya. Karenanya, ketika kami pacaran, semua orang pun tahu saya pacarnya.

Namun, karena waktu itu saya sudah sangat sibuk mengurusi kerja, hubungan kami bisa dibilang kurang lancar. Waktu dan pikiran saya banyak tersita untuk pekerjaan, dan kadang kami tidak bertemu sampai berminggu-minggu karena saya harus pergi ke tempat jauh. Puncaknya, ketika dia KKN (Kuliah Kerja Nyata), saya hanya sempat menjenguknya satu kali, padahal rata-rata cowok lain menjenguk pacarnya di tempat KKN seminggu sekali.

Bahkan sampai seperti itu pun, pacar saya tidak pernah marah—setidaknya, dia tidak pernah menunjukkan kemarahannya terang-terangan. Dia berusaha memaklumi kesibukan saya, memaafkan waktu dan pikiran saya yang terlalu tersita oleh kerja, toh itu juga demi hidup kami di masa depan. Sebenarnya, waktu itu saya menyadari telah menjadi pacar yang tidak baik, karena kurang memperhatikannya. Tapi tuntutan pekerjaan tak bisa ditawar-tawar. Makin lama, hubungan kami pun mulai renggang.

Sampai kemudian, pacar saya lulus kuliah. Seusai wisuda, banyak teman kami mulai mengukuhkan hubungan mereka ke tahap yang lebih serius, dari sekadar mempertemukan masing-masing keluarga/orangtua, sampai pertunangan, bahkan ada yang segera menikah. Pacar saya tentu juga memikirkan hal yang sama. Namun, waktu itu, saya tidak/belum bisa memberi kepastian apa pun, karena seluruh pikiran, waktu, dan konsentrasi saya masih tercurah untuk pekerjaan.

Mula-mula, hal itu belum jadi masalah. Tetapi, lama-lama, keluarga/orangtua pacar saya tentu mulai ikut memikirkan hubungan kami yang tidak jelas. Singkat cerita, kami putus.

Saya harus mengakui, bahwa saya sangat sedih kehilangan dirinya, bahkan pernah berduka sampai lama akibat putusnya hubungan kami. Tetapi, saya juga harus mengakui, bahwa keputusan itu juga terjadi karena salah saya sendiri.

Pacar saya—dengan segala kesabaran yang dimilikinya—telah berusaha memaklumi kesibukan saya yang nyaris tanpa henti, telah berusaha memaafkan saya yang sering lama tidak menghubungi. Tetapi, bagaimana pun, dia tentu memiliki batas kesabaran. Ketika hubungan kami tidak juga memiliki kepastian, dia tentu punya pilihan untuk tidak melanjutkan.

Meski sangat berduka atas putusnya hubungan kami, tapi saya tidak terluka. Perhatikan perbedaan kenyataan itu. Bahwa saya berduka karena kami putus—ya. Tapi saya tidak sampai terluka, karena bagaimana pun saya bisa memahami kenyataan itu secara dewasa, dan kenyataannya pacar saya memang tidak meninggalkan luka apa pun. Saat kami berpisah, saya bisa memahami kenyataan itu.

Sekarang, jika ditanya apakah saya telah “move on” dari mantan, terus terang saya cuma bisa senyum. Sejujurnya, saya bingung memahami maksud atau definisi “move on” yang absurd itu. Apakah yang dimaksud “move on” adalah “melupakan”? Jika ya, maka terus terang saya belum melupakan. Oh, saya bahkan tidak bermaksud melupakan mantan-mantan saya! Mereka perempuan-perempuan baik, dan bagaimana pun saya ingin tetap mengenang mereka sebagai orang-orang baik yang pernah ada dalam hidup saya. Persetan dengan move on!

Tetapi, meski masih mengingat mereka, bukan berarti saya masih punya perasaan cinta yang sama seperti dulu. Saya mengenang mereka sebagai orang baik yang pernah ada dalam hidup saya, tapi bagaimana pun kami telah memiliki jalan hidup sendiri-sendiri. Saya kadang ketemu mantan di resepsi perkawinan teman, dan kami pun saling sapa sambil tersenyum. Mungkin pula mantan saya kadang membaca blog ini, dan bisa jadi dia membatin, “Lelaki ini dulu pernah menjadi pacarku.”

Tidak masalah—itu perasaan manusiawi.

Sampai di sini, kita lihat bahwa saya sama sekali tidak punya masalah apa pun dengan mantan yang mana pun. Dalam hubungan cinta dengan mereka, kami sama-sama tidak meninggalkan luka. Alih-alih terluka oleh mereka, saya bahkan mensyukuri karena pernah mengenal dan menjadi pacar mereka.

Jadi, “luka” apa sebenarnya yang saya maksud dalam banyak catatan dan tweet itu? Sama sekali bukan luka yang berhubungan dengan cinta atau mantan pacar!

“Luka” yang sering muncul dalam tulisan-tulisan saya lebih berhubungan dengan kehidupan saya sebagai pribadi, khususnya yang berhubungan dengan masa kecil, yang kemudian menimbulkan trauma berkepanjangan. Saya tidak akan menjelaskannya secara spesifik di sini. Jika kalian rutin membaca catatan-catatan di blog ini, kalian pasti bisa memahami yang saya maksudkan. Yang jelas, saya tidak punya luka, masalah, atau trauma apa pun, yang berhubungan dengan cinta dan (mantan) pacar.

Jika sampai sekarang saya tetap tidak pacaran, itu bukan karena trauma atau semacamnya. Tapi lebih karena kesadaran pribadi, bahwa saya belum tentu dapat menjadi pacar yang baik. Putusnya hubungan dengan pacar kedua memberi pelajaran kepada saya bahwa perempuan tidak hanya menginginkan kasih sayang, tapi juga membutuhkan kepastian. Mungkin saya bisa memberikan kasih sayang, tapi untuk kepastian... saya tidak bisa menjanjikan. Karenanya, daripada pacaran dan kemudian berakhir sama seperti dulu, lebih baik saya menikmati kesendirian.

Tetapi bukan berarti saya memutuskan untuk tidak akan pacaran selamanya. Kita tahu, orang selalu bertumbuh, dan hati manusia kadang berubah. Saat ini mungkin saya mampu menahan diri untuk tidak pacaran, tapi siapa tahu yang akan terjadi di masa depan?

Di suatu waktu, mungkin saya akan menemukan seorang perempuan yang baik, yang dewasa dan bijaksana, yang mampu menerbitkan senyum di bibir dan di hati, yang membuat saya nyaman dan tenteram bersamanya, yang menyediakan pelukan dan pangkuannya untuk saya beristirahat... seorang perempuan yang membuat saya menyadari dengan penuh kepastian, “Inilah mbakyu yang kurindukan dalam hidup dan mimpiku.”

Ya, well, siapa tahu...?

 
;