Salah satu kenikmatan hidup adalah menikmati makanan
yang benar-benar kita suka. Kebalikannya adalah siksa.
—@noffret
yang benar-benar kita suka. Kebalikannya adalah siksa.
—@noffret
Salah satu makanan favorit saya adalah soto ayam. Karena itu pula, saya menjadi pelanggan sebuah warung soto, yang saya anggap sebagai “soto paling enak sedunia akhirat”. Tentu saja anggapan saya berlebihan. Tapi saya belum menemukan warung lain yang mampu menyediakan soto ayam lebih enak dibanding warung itu. Yang lebih menyenangkan, nasi yang disajikan warung itu juga memenuhi kualifikasi saya—keras, butiran nasinya tidak lengket, tapi empuk. Perfect!
Karena jaraknya cukup jauh dari rumah, saya tidak bisa sering ke sana. Namun, kapan pun saya sedang stres dan ingin makan enak, saya akan meluangkan waktu ke sana. Warung itu hanya buka siang hari. Di sana, soto disajikan dalam mangkuk bersama piring kecil berisi irisan jeruk nipis. Sementara nasinya disajikan di piring tersendiri, bersama gorengan usus kering. Biasanya, saya akan menikmati sajian lezat itu dengan emping. Tiap kali menikmati itu semua, saya merasa sedang mencicipi hidangan surga.
Nah, pas Valentine kemarin, saya keluyuran bersama wanita ini, menemaninya shopping. Setelah puas berbelanja, dia mengajak makan siang di warung soto langganan saya. Maka kami pun pergi ke sana, dan memesan nasi beserta soto ayam.
Seusai makan, sambil menikmati perut yang kenyang, kami bercakap-cakap membicarakan soto yang baru kami nikmati. Dia bertanya, “Da’, dari mana asal soto?”
Saya mengisap rokok, dan balik bertanya sambil tersenyum, “Kenapa kamu nggak tanya dari mana datangnya cinta?”
Dia tertawa. “Itu sih aku tahu—pantun yang kacau. Dari sawah turun ke kali, dari mata turun ke hati. Nggak nyambung! Jadi, dari mana asal soto?”
“Coba tebak?”
“Hmm... Madura?”
“Salah.”
“Kudus?”
“Masih salah. Soto berasal dari Cina.”
Dia menatap saya, dan bertanya, “Yang bener? Kirain soto berasal dari Madura.”
“Nggak,” saya menjawab. “Orang yang ngenalin soto ke Indonesia adalah orang-orang Cina yang datang kemari.”
....
....
Seratus empat puluh tahun yang lalu, Indonesia masih menjadi jajahan Belanda. Waktu itu negeri kita tercinta masih bernama Hindia Belanda. Pada 1870, pemerintah Hindia Belanda melaksanakan politik keterbukaan imigrasi yang memungkinkan warga asing untuk masuk dan menetap di Hindia Belanda. Pada waktu itulah orang-orang Cina dan Arab mulai masuk ke negeri ini dalam gelombang para imigran. Orang Belanda menyebut mereka “Vreemde Oosterlingen” atau “penduduk timur asing”.
Masuknya gelombang imigran Arab dan Cina ke Hindia Belanda menambah preferensi selera makan penduduk lokal. Salah satunya adalah masakan bernama “caudo”. Masakan itu dikenalkan orang-orang Cina Selatan yang bermukim di wilayah Lamongan dan Kudus. Meski namanya “caudo”, tapi lidah orang Jawa—khususnya Lamongan dan Kudus—kesulitan melafalkannya, hingga menyebutnya “soto”.
Pada waktu itu, caudo atau soto yang dibuat orang Cina memiliki kuah bening—tanpa kecap atau bumbu lain seperti yang kita kenal sekarang. Caudo bening itu merefleksikan filsafat Jawa, “wening ing ati”, atau “bening di hati”.
Karena masakan itu banyak disukai penduduk lokal—khususnya Lamongan dan Kudus—orang-orang di sana pun kemudian menambahkan bumbu-bumbu khas mereka, hingga lama-lama caudo atau soto tidak sebening awalnya. Orang Kudus menambahkan bumbu khas Kudus, sementara orang Lamongan menambahkan bumbu khas Lamongan.
Tambahan bumbu itu menjadikan caudo atau soto semakin “maknyus” ketika dinikmati lidah orang di sana. Soto yang kita nikmati sekarang adalah hasil akulturasi yang bermula lebih dari seratus tahun yang lalu, ketika orang-orang Kudus dan Lamongan melengkapi hal baru yang dikenalkan orang-orang Cina.
Sampai kemudian, pecah perang yang—dalam sejarah—disebut Perang Diponegoro. Perang itu berlangsung dari 1825 sampai 1830. Perang dahsyat antara pasukan Diponegoro dengan Belanda itu melibatkan banyak orang, termasuk para pejuang dari Lamongan dan Kudus. Orang-orang itu pula yang kemudian mengenalkan masakan caudo atau soto ke orang-orang dari wilayah lain yang bergabung dalam pasukan Diponegoro.
Setelah perang usai, dan para pejuang kembali ke daerahnya masing-masing, masakan soto semakin dikenal luas, terutama di pesisir Jawa. Karena mereka mengenal soto dari orang-orang Kudus dan Lamongan, mereka pun menyebut masakan itu sesuai bumbunya, yakni soto Kudus dan soto Lamongan.
Masakan soto semakin fenomenal, dan mencapai puncaknya pada 1932, ketika terjadi pemogokan buruh kerata api di Surabaya. Pada waktu itu, orang-orang dari berbagai daerah bekerja di Surbaya, dan—karena suatu insiden—mereka melakukan pemogokan. Aksi itu diikuti banyak orang, sampai ke kampung-kampung di Surabaya, semisal Gundih, Darmo, Waru, Ambengan, dan lainnya.
Orang-orang yang mogok kerja itu butuh makan, dan waktu itu masakan yang bisa dibuat dengan mudah sekaligus enak, serta dapat dinikmati selera banyak orang, adalah soto. Maka orang-orang di sana pun menyajikan masakan soto dengan ciri khasnya masing-masing. Dari situlah kemudian lahir soto Waru, soto Sulung, soto Ambengan, dan—yang paling fenomenal—soto Madura.
Bagaimana bisa soto Madura lahir di Surabaya? Semula, masakan soto Madura dibuat orang Cina peranakan yang tinggal di Surabaya. Dia memiliki juru masak yang berasal dari Madura. Ketika juru masak itu pulang ke Madura, dia membawa resep soto itu ke sana. Karena masakan itu digemari banyak orang, sajian itu pun lalu terkenal dengan sebutan “soto Madura”.
Menyaksikan soto digemari orang-orang di berbagai daerah Nusantara, orang-orang Cina pun bersuka hati, karena sesuatu yang mereka bawa bisa diterima, dikembangkan, dan dinikmati bersama. Caudo atau soto yang semula masakan asing bisa menyatu padu dalam kehidupan orang-orang yang semula tak mengenalnya, bahkan melahirkan berbagai jenis soto yang memperkaya masakan aslinya.
Karena sukacita itu pula, Kong Koan (perkumpulan elite Cina peranakan) mengadakan acara masak besar-besaran pada suatu perayaan Cap Go Meh di Semarang. Dalam acara itu, mereka mengundang para ahli masak Cina untuk berlomba, agar berbagai masakan Cina bisa semakin dikenal luas seperti soto.
Dalam lomba masak itu, bahan dasar yang digunakan di antaranya mian (mie) berbahan dasar tepung terigu dan tepung beras, mifen (bihun), mian xian (misoa), lumian (lomi), guotiao (kwetiau), juga ravioli atau bianshi, yang kemudian populer kita sebut pangsit. Selain bahan berbasis tepung beras, lomba itu juga menyajikan lomba masak jenis-jenis tim sum (dim sum), seperti ruo bao (bapao), ruo zong (bacang), dan nunbing (lumpia).
Seorang Cina peranakan dari Batavia kemudian memenangkan lomba untuk kategori masakan berbahan dasar terigu dan tepung beras, sementara pemenang kategori tim sum adalah seorang wanita dari Bandung. Karena itulah, makanan berbahan dasar tepung terigu dan beras di kemudian hari dikuasai oleh Jakarta, sementara tim sum—yang melahirkan jenis makanan fenomenal bernama siomay—dikuasai orang Bandung.
Dalam semangkuk soto yang kita nikmati, ada perjalanan panjang sejarah yang mengendap di sana... sejarah yang bermula dari akar lahirnya bangsa ini, ketika penduduk pribumi menyambut para pendatang dengan keramahan dan hati lapang, ketika dua hal yang semula tak saling kenal bisa saling melengkapi, ketika kegembiraan sebagai manusia menjadi sesuatu yang tak tepermanai.
....
....
“Jadi,” saya berkata kepadanya, “dari mana datangnya cinta?”
Dia tersenyum. “Dari soto turun ke hati?”
“Sometimes,” saya menyahut. “Tetapi, sering kali, dari hati sampai ke hati.”