Pemuda itu terengah-engah bersama sepasang kakinya yang terus melangkah. Tidak, sebenarnya dia nyaris merangkak. Jalanan yang dilaluinya terus menanjak, dan tenaganya semakin terkuras. Tubuhnya diselimuti debu bercampur keringat, dan darah yang telah mengering. Duri-duri tajam dan ranting-ranting pohon yang dilewatinya telah mengoyak kulitnya sepanjang perjalanan.
Tapi dia meneruskan tekadnya.
Sesuatu itu tersimpan di sana, pikirnya. Di atas bukit. Dan ia akan menemukannya. Menyentuhnya. Memilikinya.
Ketika akhirnya ia menjejak puncak bukit, tubuhnya lunglai kehabisan energi. Ia terjatuh di atas rerumputan lembut. Ia terlalu letih untuk menyadari kesadarannya terisap lelah, dan ia jatuh tertidur. Tapi sepasang bibir yang tersenyum menghiasi wajah sekaratnya. Di sekelilingnya, terik siang mulai menyisih untuk menyambut kedatangan senja.
Pemuda itu tidak tahu berapa lama ia tertidur—atau pingsan. Entah satu jam, satu hari, satu minggu, atau bahkan satu abad. Yang ia tahu, begitu membuka mata, ia mendapati sesosok orang tua dengan rambut telah memutih semua, tengah membungkuk ke arahnya.
“Di mana aku...” rintih si Pemuda tanpa sadar.
“Kau ada di puncak bukit,” sahut si Orang Tua. Kemudian, ia mengangsurkan segelas minuman kepada si Pemuda. “Kau perlu minum, untuk mengembalikan kesadaranmu.”
Dengan susah payah, si Pemuda memaksa tubuhnya untuk bangkit, kemudian menerima gelas di depannya dengan tangan bergetar. Dengan bergetar pula ia mendekatkan minuman itu ke mulutnya, lalu menghabiskan isinya.
“Apa yang terjadi denganku?” tanya si Pemuda setelah merasakan darahnya kembali mengalir di tubuhnya.
“Kau kelelahan,” jawab si Orang Tua. “Kau telah melakukan perjalanan jauh untuk sampai di tempat ini, dan kau telah menguras semua energimu. Atau bahkan mungkin hidupmu.”
Si Pemuda mulai menyadari keadaannya. Sekelilingnya. Puncak bukit yang telah didakinya. Kemudian, dengan tergagap ia berkata, “Aku... aku perlu menemukan sesuatu di bukit ini.”
“Aku tahu, Nak, aku tahu,” ujar si Orang Tua dengan nada menenangkan. “Sebelum kedatanganmu, aku telah mendapati banyak pemuda lain yang datang ke sini untuk mencari dan mendapatkan sesuatu yang sama. Aku tahu yang kau cari.”
“Benarkah...?”
Si Orang Tua menatap si Pemuda dengan wajah prihatin. Ia mendesah perlahan, kemudian berkata lirih, “Kau akan mendapatkan yang kauinginkan.”
“Di mana aku bisa mendapatkannya...?”
Tetapi bahkan sebelum menyelesaikan kalimatnya, Pemuda itu telah tahu yang ia cari tak jauh dari tempatnya. Dengan penuh hasrat ia bangkit dari duduknya, kemudian melangkah ke tengah bukit, dan seketika terpaku di sana.
Tepat di bawah kakinya, ia menyaksikan serumpun bunga dengan ciri-ciri sempurna sebagaimana yang ia angankan. Putih, mekar, berkilau, seolah diterpa cahaya. Dengan kekhusyukan yang hening, ia mendekat dan menyentuh bunga itu dengan lembut. Mengangkat tangkainya perlahan hingga terlepas dari batang, kemudian menciumnya dengan takzim. Akhirnya kudapatkan, pikirnya dengan penuh syukur.
Ia nyaris lupa pada orang tua yang ada di belakang punggungnya. Ketika berbalik, ia mendapati orang tua itu tengah berdiri menatapnya, dengan wajah prihatin.
“Kuharap kau telah menemukan yang kau cari,” ujar si Orang Tua dengan nada lelah.
“Ya,” sahut si Pemuda sambil menunjukkan setangkai bunga di tangannya. “Aku datang dari jauh hanya untuk ini.”
Si Orang Tua menatap anak muda di depannya beberapa saat, kemudian berkata perlahan, “Boleh kutahu kenapa kau mau datang jauh-jauh ke tempat ini hanya untuk bunga itu?”
Dengan nada antusias, si Pemuda menjelaskan, “Orang-orang di tempatku memberitahu, aku akan menemukan bunga yang amat berharga di tempat ini. Bahwa kemanusiaanku akan lengkap setelah kutemukan bunga ini. Jadi kutinggalkan rumah dan kampung halamanku, lalu menempuh perjalanan jauh untuk sampai ke sini. Demi bunga yang kucari.”
“Bagaimana kalau kukatakan bahwa bunga-bunga semacam itu sebenarnya juga ada di tempatmu? Bagaimana kalau kukatakan bahwa kau bisa menemukan dan mendapatkan bunga semacam itu tanpa jauh-jauh ke sini, karena tersedia di lingkungan sekitarmu?”
“Tidak mungkin!” sahut si Pemuda spontan.
“Kenapa kau begitu yakin, Nak?”
“Karena masyarakat memberitahu bahwa bunga ini hanya bisa ditemukan di tempat ini.”
Si Orang Tua tersenyum ironis. “Bagaimana kalau umpama masyarakatmu menyatakan sebaliknya? Bagaimana kalau mereka menyatakan bahwa bunga itu juga ada di tempatmu? Apakah kau juga akan percaya?”
Si Pemuda terdiam.
“Kau tidak mencari kebenaran, Nak,” ujar si Orang Tua perlahan-lahan. “Kau hanya mempercayai—bahkan meyakini—kebenaran.”
Si Pemuda menatap Orang Tua di hadapannya. “Ya...? Dan apa bedanya itu?”
“Mencari kebenaran artinya melihat dan memeriksa apakah kebenaran yang kauterima memang benar. Mempercayai apalagi meyakini kebenaran artinya kau menerima begitu saja sesuatu yang dinyatakan kepadamu sebagai kebenaran. Mencari dan meyakini—itu perbedaan yang sangat esensial.”
“Tetapi jika masyarakat menyatakan kebenaran...”
“Masyarakat!” potong si Orang Tua dengan nada sinis yang tak disembunyikan. “Kau menyandarkan keyakinan kebenaranmu kepada masyarakat. Bagaimana kau bisa yakin masyarakatmu memang telah mencari kebenaran, dan bukan semata mempercayai atau sekadar meyakininya?”
“Maafkan aku, Orang Tua,” ujar si Pemuda perlahan, “Kupikir, jika masyarakatku menyatakan bahwa sesuatu memang benar, dan orang-orang lain juga menyepakatinya, sepertinya aku tak punya alasan untuk meragukannya.”
“Dan kau memang benar.”
“Maaf...?”
Dengan nada seperti mengumumkan, si Orang Tua berkata, “Apakah kau percaya sesuatu sebagai kebenaran atau bukan, kau benar.”
Keheningan merayapi bukit. Awan di langit bergerak perlahan, burung-burung terbang kembali ke sarang. Di kejauhan mulai terdengar cicit kelelawar keluar dari sarang kegelapan.
“Kau mau mendengar ceritaku?” ujar si Orang Tua setelah terdiam sesaat.
Si Pemuda mengangguk.
Mereka lalu duduk di atas bongkah batu besar, berhadapan, dan si Orang Tua memulai ceritanya. “Aku telah menjalani hidup di puncak bukit ini selama puluhan tahun, dan mungkin sesaat lagi aku harus pergi selamanya. Selama hidup di sini, aku mendapati para pemuda sepertimu meninggalkan tempat ini untuk turun, menyeberangi laut, pergi ke tempatmu. Mereka memiliki alasan sepertimu—menemukan bunga yang kauinginkan. Sebagaimana kau meninggalkan kampung halamanmu untuk mendaki bukit demi bunga itu, para pemuda di sini pun rela menyeberangi laut untuk datang ke tempatmu, untuk alasan yang sama.”
“Tapi di tempatku tidak ada bunga seperti ini,” ujar si Pemuda.
“Sayangnya,” sahut si Orang Tua, “para pemuda di sini meyakini bunga semacam itu hanya ada di tempatmu—tepat sama seperti kau dan masyarakatmu meyakini bunga semacam itu hanya ada di sini.”
Si Pemuda tercengang. “Itu... itu tidak mungkin!”
Si Orang Tua menyahut perlahan, “Itu pula yang dikatakan para pemuda di sini, ketika kuberitahu bahwa bunga yang mereka cari jauh-jauh itu sebenarnya ada di sini. Orang-orang di tempatmu berdatangan ke sini, dan orang-orang sini berdatangan ke tempatmu, untuk mencari dan menemukan benda yang sama. Kedengarannya memang tidak mungkin, Nak. Sangat tidak mungkin! Bagaimana bisa manusia dibutakan oleh keyakinannya sendiri...?”
Si Pemuda menimang-nimang bunga indah di tangannya, kemudian dengan ragu berkata perlahan-lahan, “Tetapi... kalau memang begitu kenyataannya, kalau memang bunga seperti ini bisa ditemukan di tempatku, hingga aku tak perlu pergi jauh ke sini untuk mendapatkannya, mengapa masyarakatku menyatakan aku harus mendaki bukit ini untuk menemukannya?”
Si Orang Tua tersenyum lelah. “Seperti yang kubilang tadi. Mencari dan meyakini kebenaran adalah dua hal yang berbeda.”