Jumat, 21 Februari 2014

Pedang Setan Mantili

Ada orang yang bercermin, dan melihat bayangan
dirinya begitu buruk. Kemudian, dia menghancurkan
cermin itu, bukannya memperbaiki diri.
@noffret 


Dalam kisah Saur Sepuh yang legendaris, diceritakan bahwa sang raja agung Brama Kumbara memiliki adik wanita yang cantik sekaligus jago tarung, bernama Dewi Mantili. Selain pintar berkelahi, Mantili memiliki senjata hebat yang membuatnya ditakuti banyak musuh. Senjata itu bernama Pedang Setan.

Niki Kosasih, pengarang serial Saur Sepuh, mengisahkan Pedang Setan dengan kalimat seperti ini, “Ketika Pedang Setan dikeluarkan dari sarungnya, seketika muncul bau busuk di udara—mirip bau bangkai yang membuat muntah orang-orang yang menghirupnya.”

Jadi, ketika bertarung dengan musuh-musuhnya di rimba persilatan, dan sang musuh tidak bisa ditaklukkan dengan “jurus-jurus standar”, Mantili pun akan menggunakan senjata pamungkasnya. Ia akan mengeluarkan Pedang Setan untuk mengalahkan sang musuh. Ketika Pedang Setan itu keluar dari sarungnya, musuh-musuh Mantili akan lari kocar-kacir, muntah-muntah, atau tetap mampu bertarung tapi tak bisa lagi berkonsentrasi akibat bau busuk menyerang pernapasannya.

Meski pedang itu menguarkan bau busuk amat memualkan, Mantili sama sekali tidak terpengaruh. Artinya, dia tidak mencium bau busuk Pedang Setan. Hal itu tentu karena Mantili pemilik sah pusaka tersebut, sehingga kutukan yang ditimbulkannya tidak menyerang dirinya. Karena kenyataan itu pula, Mantili bisa leluasa menggunakan Pedang Setan untuk menyerang musuh-musuhnya tanpa harus repot menutup hidung.

Karena kemampuan dan kesaktiannya, Pedang Setan pernah menjadi rebutan para pendekar di rimba persilatan. Tapi tentu saja tidak mudah merebut pusaka itu dari tangan Mantili. Banyak pendekar dari berbagai tempat menantang Mantili bertarung demi bisa menguasai pedangnya, namun para pendekar itu justru menemui ajalnya. Pedang Setan tetap di tangan Mantili, dan dengan pedang itu ia tetap sakti. Tak terkalahkan. Tak bisa ditaklukkan.

Sampai kemudian, muncul tiga pendekar murid Panembahan Pasopati. Tiga pendekar itu bernama Kijara, Lugina, dan Mariba. Tiga pendekar itu bersatu untuk mengeroyok Mantili dalam pertarungan maut, demi merebut Pedang Setan. Maka pertarungan dahsyat pun terjadi. Mantili, dengan Pedang Setan di tangannya, diserang tiga pendekar sakti dengan senjata mereka.

Sehebat apa pun, Mantili tetap kepayahan diserang tiga pendekar sekaligus. Di akhir pertarungan yang berdarah-darah itu, Mantili tak sadarkan diri. Mariba—satu-satunya orang yang masih cukup kuat setelah pertarungan—segera merampas Pedang Setan dari tangan Mantili. Kelak, perebutan kembali Pedang Setan akan membutuhkan waktu amat panjang, dengan serangkaian pertarungan menggetarkan, melibatkan puluhan pendekar di rimba gelap persilatan.

Karena orang yang mengambil pedang pusaka itu Mariba, maka Mariba pula yang dianggap sebagai pemiliknya. Tapi ia bukan pemilik sah. Bagaimana pun, Mariba mendapatkan Pedang Setan dengan cara merampas, setelah Mantili tak sadarkan diri. Karenanya, meski telah memilikinya, meski Pedang Setan ada di tangannya, Mariba tetap menghadapi masalah yang sama—ia tidak kuat menghadapi bau busuk yang dikeluarkan Pedang Setan.

Niki Kosasih menjelaskan dalam naskahnya, “Untuk menghalau bau busuk pedang itu, Mariba harus menggunakan kapas dan sabut kelapa untuk menutupi daerah hidungnya.”

Jadi begitulah. Dengan kapas dan sabut kelapa menutup hidung, plus bantuan tenaga dalam untuk menghalau bau busuk, Mariba kini menguasai Pedang Setan. Dengan senjata hebat itu, ia menjadi pendekar yang dapat mengalahkan banyak musuh. 

Tetapi kisah itu belum selesai. Begitu para pendekar mengetahui Pedang Setan kini di tangan Mariba, mereka pun memburu Mariba demi bisa merebut pedang itu. Begitu pula Mantili. Ia tidak tinggal diam melihat pedang andalannya dirampas. Ia pun memburu Mariba... dan rimba persilatan menjadi arena berdarah-darah.

Kelak, pada puncaknya, bahkan Brama Kumbara—kakak Mantili—ikut turun ke arena, dan bertarung dengan Panembahan Pasopati, guru Mariba. Itu salah satu pertarungan paling dahsyat di dunia Saur Sepuh, karena Brama Kumbara harus adu kesaktian dengan Panembahan Pasopati yang sama-sama sakti. Dalam satu sesi pertarungan, Brama Kumbara mengerahkan Ajian Bayu Bajra yang menciptakan badai berkekuatan Skala Richter, hingga mengobrak-abrik seluruh tempat pertarungan mereka.

Jeng-jeng-jeng...!

Lalu muncul iklan Procold.

Oh, well, serial Saur Sepuh—yang dulu rutin muncul di radio setiap hari—memang disponsori obat flu Procold. Jadi, biasanya, kalau jalan cerita sedang sampai di puncak klimaks, iklan Procold akan muncul untuk membuat para pendengar radio “rileks sejenak”, dan kembali ke “alam nyata”.

So, sekarang kita kembali ke alam nyata. Di alam nyata, maksud saya di dunia kita, sepertinya tidak ada orang yang memiliki Pedang Setan. Dan kita patut bersyukur. Pasti akan sangat meresahkan kalau ada orang yang memiliki Pedang Setan, kemudian tiap hari menenteng-nenteng pedang itu untuk menakut-nakuti orang lain.

Tetapi, di dunia kita, ada orang-orang yang memiliki sesuatu tak jauh beda dengan Pedang Setan. Ketika orang itu muncul, biasanya orang-orang lain akan menjauh, karena tidak mampu menahan “bau busuk” yang ditimbulkannya.

Yang saya maksud bukan bau badan atau bau mulut. Itu memang masalah, dan masalah semacam itu kadang tidak disadari orang bersangkutan. Untuk masalah semacam itu, kita bisa menegurnya dengan cara halus, dan biasanya si orang bersangkutan akan sadar, lalu berusaha mengatasi masalah tubuhnya. Sekali lagi, itu memang masalah, tapi masalah itu setidaknya bisa diselesaikan baik-baik.

Tetapi ada masalah serupa—tak jauh beda dengan bau badan atau bau mulut—dan kali ini masalahnya jauh lebih parah. Yakni orang yang ucapan atau perilakunya selalu menyakiti orang lain.

Entah ada apa dengan orang-orang itu, yang jelas mereka seperti selalu berusaha menyakiti orang lain. Jika berinteraksi dengan orang lain, gayanya cenderung merendahkan. Jika bercakap dengan orang lain, ucapannya menyakitkan, atau setidaknya menjengkelkan. Sama seperti Mantili, orang itu juga punya “Pedang Setan” yang berbau busuk. Bedanya, Mantili menggunakan pedangnya untuk melawan penjahat, sementara orang-orang di sekitar kita menggunakan lidahnya untuk menyakiti sesama.

Orang semacam itu punya ciri khas yang mudah dikenali. Kalau kita bercakap dengannya, dia seperti berusaha menjatuhkan kita—dengan ucapan, atau pun dengan perbuatan. Menggunakan perspektif psikologi, orang-orang semacam itu adalah orang yang membenci dirinya sendiri. Karena dia tidak mungkin menjelek-jelekkan diri sendiri, maka dia pun menjelek-jelekkan orang lain.

Orang semacam itu ada di mana-mana, di dunia nyata maupun di dunia maya. Dan di mana pun berada, orang semacam itu cenderung dijauhi orang lain akibat perilaku dan ucapannya. Mungkin dia sadar orang lain menjauhinya, mungkin pula tidak sadar, karena tidak punya kepekaan. Yang jelas, tidak ada pendekar yang tahan mencium bau busuk Pedang Setan, pun tak ada orang yang tahan berhadapan dengan orang yang sikap dan ucapannya selalu sok dan suka merendahkan.

Umar bin Khattab yang bijaksana menyatakan, “Sebelum mencari-cari kelemahan orang lain, carilah terlebih dulu kelemahanmu sendiri.”

Kalimat itu sangat istimewa, karena diucapkan Umar bin Khattab. Bagi yang mungkin belum tahu, Umar bin Khattab adalah “pendekar” paling ditakuti di tanah Arabia. Tidak ada orang yang berani terang-terangan menantangnya. Tetapi Umar yang galak dan beringas itu pun tahu arti muhasabah—koreksi diri—sehingga perilakunya tidak sampai menyakiti orang lain. Dia memang orang yang disegani, tetapi “disegani” jauh berbeda dengan “dibenci”.

“Sebelum mencari-cari kelemahan orang lain,” kata Umar, “carilah terlebih dulu kelemahanmu sendiri.”

Itu nasihat yang tetap relevan sejak zaman Jahiliyah sampai di abad internet. Koreksi diri adalah pelajaran yang seharusnya dipelajari setiap orang yang gemar bersikap merendahkan orang lain, atau suka mencari-cari kelemahan dan kesalahan orang lain. Sebagaimana kita tidak suka direndahkan, orang lain pun sama. Jika kita sepertinya suka merendahkan orang lain, artinya ada yang salah dengan diri kita.

Di dunia Saur Sepuh, ilmu kesaktian tertinggi adalah Ajian Lampah Lumpuh. Ilmu itu hanya dimiliki satu orang, yakni Brama Kumbara, sang pendekar sakti mandraguna, sekaligus Raja Madangkara yang arif bijaksana. Intisari Ajian Lampah Lumpuh adalah “menang tanpa mengalahkan, digdaya tanpa merendahkan”.

Di dunia kita, juga ada “ilmu kesaktian tertinggi” semacam itu. Siapa pun yang memilikinya, dia akan menjadi orang sakti mandraguna, yang akan disegani semua manusia. Siapa pun yang memilikinya, dia akan dapat meraih hati siapa saja—tanpa paksaan, tanpa kekuatan. Siapa pun yang memilikinya, dia akan menjadi manusia yang dicintai dan dihormati orang-orang lainnya.

Ilmu kesaktian tertinggi itu bernama “sikap hormat kepada orang lain”.

 
;