Suatu siang, saat keluar dari warung makan, saya melihat seorang teman sedang berdiri di depan kios tukang stempel. Karena tertarik, saya pun mendekatinya.
“Lagi ngapain?” sapa saya saat sampai di dekat kios.
Dia menengok, dan menyahut agak terkejut, “Eh, ini, lagi pesan stempel.”
“Stempel untuk apa?”
“Untuk memuaskan kemanusiaanku.”
Saya merasa salah dengar. “Untuk... apa?”
“Untuk memuaskan kemanusiaanku,” dia mengulang.
“Uh...” saya agak bingung. “Bisa dijelaskan?”
Dia tersenyum. Dan mengajukan pertanyaan tak terduga, “Kamu percaya alam akhirat?”
“Uhm...” sekali lagi saya bingung. “Apa hubungannya itu dengan stempel yang kamu pesan?”
Sekali lagi dia tersenyum. Lalu mulai menjelaskan perlahan-lahan, “Begini. Setelah kita mati, dan sampai di akhirat, kita akan punya dua kemungkinan tempat. Bisa masuk surga, atau masuk neraka. Apakah kamu setuju?”
Saya mengangguk.
Dia melanjutkan, “Jika aku masuk surga, kemungkinan besar yang akan kulakukan adalah bersenang-senang, dugem, mojok dengan bidadari, dan lain-lain semacamnya. Ketika semua keasyikan itu terjadi, aku pasti tidak akan kepikiran untuk memesan stempel. Sebaliknya, jika aku masuk neraka, mungkin aku akan dibakar siang malam, diguyur aspal panas, dipanggang, dicambuk, disiksa, dan lain-lain. Dalam penderitaan semacam itu, aku pasti tidak akan ingat untuk pesan stempel.”
“Jadi...?”
“Jadi, mumpung sekarang aku masih hidup di dunia, dan punya waktu yang cukup, aku datang ke kios ini untuk pesan stempel.”
....
....
Lalu saya ikut pesan stempel.