Kamis, 30 Januari 2014

Pentingnya Mbakyu Dalam Peradaban Umat Manusia

Mbakyuuuuuuuuuuu, mbakyu!
@noffret


Saya tidak suka menghadiri acara-acara sosial, karena hampir bisa dipastikan acara semacam itu akan penuh basa-basi. Dan saya kurang memiliki keterampilan dalam acara-acara sosial, sekaligus agak sulit berbasa-basi. Tapi kemarin malam saya diajak wanita ini untuk mengunjungi suatu acara yang harus dihadirinya, dan saya pikir tak ada salahnya menjadi pendamping.

Sesampai di tempat acara, orang-orang tampak berkumpul ramai, saling berceloteh membahas hal-hal tidak penting bagi umat manusia. Sesekali terdengar tawa haha hihi di berbagai sudut, dengan suara gelas-gelas berdenting.

Tepat seperti yang telah saya duga, saya merasa tidak nyaman di tempat itu. Sesekali saya tengak-tengok ke sana kemari, mencari-cari wajah yang mungkin saya kenal.

Untungnya, wanita yang mengajak saya tahu betul yang saya rasakan, dan dia pun membawa saya ke tempat yang agak sepi. Di salah satu sudut ruangan, dia berkata, “Sementara aku mengikuti acara yang penuh omong kosong ini, kamu bisa duduk di sini. Kamu tidak keberatan?”

Saya mengangguk dengan patuh, lalu duduk di sebuah sofa yang lengang. “Oke, kamu bisa pergi,” ujar saya kepadanya setelah duduk dengan nyaman.

Dia berdiri sesaat menatap saya, memastikan saya benar-benar nyaman. “Kamu ingin dibawakan sesuatu?”

Saya menengok meja di sebelah tempat duduk, dan tampak beberapa gelas minuman serta keranjang anggur, juga beberapa kue di atas nampan. Sepertinya tidak ada yang saya butuhkan. Jadi saya pun berkata, “Ya, bawakan aku cewek cakep. Please!”

Dia melotot. Lalu pergi.

Setelah dia pergi, saya mengambil sepotong pie bertabur gula di atas meja, dan meneguk minuman. Yang menyenangkan dalam acara seperti ini, makanan dan minuman yang dihidangkan selalu lezat. Bocah-bocah glamor itu memang tahu cara berpesta, pikir saya. Setelah cukup puas menikmati hidangan di atas meja, saya menyulut rokok, dan duduk termenung.

Tempat duduk saya relatif jauh dari kerumunan orang dalam acara itu. Jadi, sementara mereka asyik membahas hal-hal tidak penting bagi kemajuan nusa dan bangsa, saya duduk sendirian memikirkan hal-hal penting bagi kemaslahatan dunia. Dan, entah bagaimana asal usulnya, tiba-tiba saya kepikiran untuk merenungkan pentingnya mbakyu dalam peradaban umat manusia.

Apa jadinya dunia ini tanpa mbakyu, pikir saya dengan masygul. Bersama asap rokok yang mengepul, saya membayangkan dunia yang kita tinggali ini pasti sangat suram dan menyedihkan jika tidak ada mbakyu. Neil Armstrong tidak akan sampai di Bulan, Bill Gates tidak akan menemukan Windows, bahkan Thomas Edison tidak akan menemukan bola lampu.

Tunggu, tunggu, apa hubungannnya orang-orang itu dengan mbakyu?

Saya tidak tahu! Tapi waktu itu saya berpikir semua berhubungan dengan mbakyu. Tanpa mbakyu, peradaban umat manusia pastilah masih berada di zaman prasejarah, dan kita semua masih telanjang sambil berlari-lari di hutan liar untuk berburu binatang. Tanpa mbakyu, kita pasti masih tinggal di gua-gua, membahas hal-hal tidak penting, dan mencoret-coret dinding dengan batu.

Lamunan saya terhenti ketika seseorang menepuk pundak saya, dan menyapa dengan akrab. Saya menengok, dan melihat wajah yang saya kenal.

“Apa kabar?” sapanya ramah, sambil duduk di samping saya. “Tampaknya serius sekali. Lagi mikir apa?”

“Lagi mikir mbakyu,” jawab saya jujur.

Dia tertawa. “Kamu tuh, tidak di tulisan, tidak di obrolan, yang dibahas selalu itu.”

“Memangnya aku harus membahas apa lagi? Itu memang sesuatu yang harus dipikirkan dengan penuh kesungguhan. Barusan aku malah berpikir betapa pentingnya peran mbakyu dalam peradaban umat manusia.”

Dia menatap saya serius. “Coba ceritakan.”

Saya mengambil gelas minuman, membasahi kerongkongan, kemudian berkata perlahan-lahan, “Kamu tahu mengapa Neil Armstrong sampai di Bulan?”

Dia mengeleng. “Tidak.”

“Kamu tahu mengapa Bill Gates menemukan Windows?”

“Tidak.”

“Kamu tahu mengapa Thomas Alva Edison menemukan bola lampu?”

“Tidak.”

“Kamu tahu mengapa Einstein menemukan rumus E sama dengan Em-Ce kuadrat?”

“Tidak.”

Saya menatapnya dengan prihatin, kemudian berbisik, “Semua itu terjadi karena mbakyu.”

Dia menatap saya dengan tercengang. “Kamu sudah minum obat?”

“Kamu pasti menganggapku melantur!” ujar saya dengan jengkel.

“Uhm... aku tidak tahu harus menganggapmu bagaimana.” Dia berkata serius. “Yeah, aku kenal siapa kamu. Tapi, uhm... aku tidak paham bagaimana semua hal yang kamu jelaskan itu berhubungan dengan mbakyu.”

“Aku juga tidak paham.”

“Sori?”

“Aku juga tidak paham bagaimana semua itu berhubungan dengan mbakyu.”

Dia menatap saya sungguh-sungguh, memastikan saya benar-benar waras. “Apa yang kamu minum barusan?” tanyanya kemudian.

“Ini sama sekali tidak berhubungan dengan minuman apa yang aku minum,” jawab saya dengan jengkel. “Percayalah, aku tidak mabuk, dan penjelasanku tadi benar-benar dilandasi akal sehat.”

Dia tampak ragu-ragu. “Uhm... iya sih, tapi... uhm, coba jelaskan dari awal secara masuk akal, bagaimana kamu bisa menyimpulkan semua hal tadi terjadi karena mbakyu.”

Saya mengisap rokok sesaat, kemudian berujar, “Kamu tahu mengapa Adam keluar dari surga?”

Tiba-tiba dia ngakak sejadi-jadinya. Entah kenapa.

 
;