Kita tak pernah tahu sebesar apa dampak yang
ditimbulkan dari perbuatan kita yang mungkin kecil.
—@noffret
ditimbulkan dari perbuatan kita yang mungkin kecil.
—@noffret
Kalau sedang asyik mengerjakan sesuatu, saya sering lupa segalanya, termasuk lupa makan. Sering kali saya baru sadar belum makan seharian setelah merasakan perut yang tiba-tiba keroncongan di tengah malam. Biasanya, kalau sudah begitu, saya agak panik. Karenanya pula, saya pun selalu berusaha menyiapkan makanan—aneka roti sampai mie instan—untuk jaga-jaga kalau muncul “keadaan darurat” semacam itu.
Suatu hari, saya asyik mengerjakan sesuatu, dan sama sekali tak sadar kalau seharian belum makan. Sejak bangun tidur sampai malam datang, saya hanya ngemil, minum teh, dan merokok. Saat pekerjaan selesai sekitar pukul 1 dini hari, tiba-tiba saya sadar belum makan seharian. Kesadaran itu memicu kesadaran lain—perut yang tiba-tiba terasa sangat kelaparan.
Maka, dengan agak buru-buru, saya pun mengeluarkan motor, dan ngebut mencari warung makan. Dini hari seperti itu sudah jarang warung makan yang masih buka, tapi saya tahu ada warung makan yang biasa buka sampai larut malam di depan tempat billiar. Lokasinya agak jauh, tapi sepertinya cuma warung makan itu yang bisa saya andalkan. Jadi saya pun menuju ke sana.
Tepat seperti yang saya harapkan, warung makan itu masih buka. Biasanya, bocah-bocah yang capek main billiar akan masuk ke warung itu, untuk minum dan ngobrol dengan teman-teman mereka. Ketika saya sampai, warung itu cukup sepi. Saya pun segera memarkir motor, lalu masuk warung dan memesan nasi.
Ketika sedang makan dengan lahap akibat kelaparan, tukang parkir di sana masuk ke warung, dan berkata pada saya, “Mas, uh... itu motornya menghalangi mobil yang akan keluar.”
Karena tadi buru-buru, saya memang memarkir motor agak sembarangan. Tapi sekarang saya tidak mungkin memutus makan hanya untuk membetulkan parkir motor. Maka saya pun memberikan kunci motor pada si tukang parkir, dan memintanya untuk mengurus parkir motor saya. Dia menerima kunci itu, dan segera keluar untuk mengerjakan tugasnya.
Seusai makan, saya merokok sambil memegangi perut yang kenyang. Rasanya nikmat sekali kalau kau kelaparan, kemudian menemukan warung yang tepat, dan bisa makan sampai kenyang. Setelah merasa cukup duduk di sana, saya pun bangkit untuk beranjak keluar warung. Waktu itu, bertepatan dengan gerimis yang mulai turun dari langit.
Pada saat itulah saya baru sadar kunci motor tidak di tangan. Kunci itu tadi saya berikan pada tukang parkir, dan dia belum mengembalikannya!
Dengan agak panik, saya buru-buru keluar warung. Waktu itu saya mengendarai Satria FU, yang baru saya beli dua minggu! Saya sedang cinta-cintanya pada motor itu! Dan sekarang kunci motor itu dipegang orang lain yang sama sekali tidak saya kenal! Berbagai pikiran buruk segera melintas di pikiran. Bagaimana kalau motor yang masih baru itu dibawanya pergi...?
Dengan bergegas, saya menuju ke tempat tadi memarkir motor. Dan... omigod, motor itu tidak ada di sana!
Bagimana ini bagaimana ini bagaimana iniiiiihh...???
Sambil kebingungan, saya berdiri di tempat tadi memarkir motor, dan mengedarkan pandangan ke sana kemari dengan jantung berdebar. Pada waktu itulah kemudian seseorang mendekati saya, dan mengacungkan sesuatu. Tukang parkir yang tadi!
Dengan muka agak bingung, tukang parkir itu mengacungkan kunci motor saya, dan berkata, “Maaf, Mas, motornya saya pindahin ke sana, biar nggak kehujanan. Saya mau ngembaliin kunci ini, tapi nggak enak, situ masih makan.”
Bersama perasaan yang lega tiba-tiba, saya tak mampu berkata apa-apa, selain, “Ya, nggak apa-apa.”
Saya pun menuju tempat parkir motor, yang kini telah dipindahkan di bawah atap. Setelah memberikan uang pada tukang parkir itu, saya segera melaju menembus gerimis yang masih turun.
Sebenarnya, kisah ini sudah selesai, kalau saja hal yang sama tidak terulang.
Sekitar dua minggu setelah kejadian itu, saya kembali lupa makan karena asyik mengerjakan sesuatu. Larut malam, saya baru menyadari perut keroncongan, dan segera mengeluarkan motor untuk mencari makan. Seperti dua minggu sebelumnya, waktu itu pun saya langsung menuju warung yang ada di tempat billiar. Dalam keadaan kelaparan, saya tentu tidak mungkin keluyuran ke sana kemari hanya untuk mencari warung makan yang masih buka.
Sesampai di sana, saya memarkir motor di tempat yang aman, di bawah atap, seperti yang dilakukan tukang parkir dua minggu sebelumnya. Waktu itu masih musim hujan, jadi gerimis sering kali turun sewaktu-waktu. Setelah memastikan motor aman dan tidak akan mengganggu lalu lintas kendaraan lain, saya pun melangkah masuk warung untuk makan.
Seusai makan dan menikmati rokok secukupnya, saya memutuskan untuk pergi. Pada waktu keluar dari warung dan sedang melangkah menuju tempat motor, hujan turun dari langit. Tanpa gerimis. Air seperti tiba-tiba dicurahkan dari atas. Saya pun berlari-lari kecil menuju tempat parkir motor, berharap bisa berteduh di sana.
Harapan saya terwujud. Tempat parkir motor agak lengang, dan atap di atasnya cukup mampu melindungi dari curah hujan. Ketika saya sampai di tempat itu, si tukang parkir juga tampak sedang berteduh. Ia berdiri menyandar tembok, sambil menyedekapkan tangan, seperti kedinginan. Dia tersenyum waktu melihat saya datang, dan saya pun membalas senyumnya.
Kami berdiri bersisian. Sepertinya dia sebaya dengan saya, tapi mungkin kerasnya hidup menjadikannya tampak lebih dewasa. Semula, kami hanya diam, menatap hujan yang turun. Lalu saya mengeluarkan rokok, menyulut sebatang, dan menawarinya. Dia mengambil sebatang, menyulutnya, lalu kami mulai bercakap-cakap.
Percakapan kami waktu itu hanya basa-basi antar dua lelaki yang tak saling kenal. Dia bertanya apakah saya pelanggan warung itu, karena dia mendapati saya dua kali makan di sana. Saya menjawab, teman-teman saya biasa main billiar di tempat itu, kadang saya menemani mereka, dan saya pun tahu masakan di warung itu cukup enak. Apalagi kalau sedang kelaparan. Jadi kalau sewaktu-waktu butuh makan di larut malam, warung itulah yang segera terbayang di benak saya.
Hujan masih turun. Sesekali kilat menerangi bumi.
Percakapan yang semula kaku lama-lama mulai mencair, bersama asap rokok yang mengepul di antara kami. Kemudian, setelah kami terdiam beberapa saat karena kehabisan bahan percakapan, tukang parkir itu menatap saya dengan bingung, lalu berkata perlahan-lahan, “Mas, sebenarnya saya harus ngucapin terima kasih.”
Saya menatapnya dengan bingung. “Untuk apa?”
“Untuk kepercayaan tempo hari.”
Saya masih belum paham.
Kemudian, dengan agak ragu, tukang parkir itu menceritakan. Dua minggu sebelumnya, ketika kami bertemu pertama kali saat saya makan di sana, dia baru lima hari keluar dari penjara. Seperti bekas narapidana lainnya, dia juga gamang menghadapi hari barunya di luar penjara. Dia merasa tidak ada orang yang akan mempercayainya.
Akibat suatu kesalahan, dia dihukum dua tahun di penjara. Saat bebas, dia kesulitan berbaur kembali dengan masyarakatnya, karena stigma bekas napi membuat orang lain memilih menjauh. Teman-teman yang dulu dikenalnya berpaling, orang di kampungnya terlihat menjaga jarak, bahkan keluarganya sendiri pun sepertinya tak bisa lagi percaya kepadanya.
Satu-satunya tempat dia bisa meneruskan hidup adalah di tempat billiar itu, karena kebetulan dia kenal dekat dengan pemiliknya. Setelah berusaha meyakinkan bahwa dia telah bertaubat, si pemilik tempat billiar memberi kesempatan padanya untuk menjaga tempat parkir. Dia baru lima hari berada di tempat itu, ketika suatu malam bertemu saya yang makan di sana.
Dan, waktu itu, saya menyerahkan kunci motor kepadanya.
Sesuatu yang tampaknya remeh itu ternyata memiliki arti besar bagi dirinya. Seseorang yang tak ia kenal mempercayakan kunci motor kepadanya—seseorang mempercayainya! Kenyataan itu seperti mengembalikan rasa percaya dirinya, bahkan memulihkan harga dirinya. Ia merasa masih layak dipercaya—setidaknya masih ada orang yang mau percaya kepadanya.
“Karena itulah saya ingin ngucapin terima kasih,” ujarnya sambil menatap saya dengan campuran bingung dan malu.
Saya tak mampu berucap apa-apa, karena tiba-tiba merasa bersalah. Saya masih ingat, dua minggu sebelumnya, saya sempat was-was begitu ingat kunci motor saya ada padanya. Tapi rupanya dia menjaga kepercayaan saya. Bukannya membawa lari motor yang tampak masih baru, dia justru memindahkannya ke tempat yang aman.
Hujan masih turun, sesekali terdengar suara petir di kejauhan.
Dini hari itu, berdiri di bawah atap bersama seseorang yang tidak saya kenal, di bawah hujan yang membekukan, tiba-tiba saya merasa mendapat pelajaran penting. Sesuatu yang tampaknya remeh yang kita lakukan, bisa jadi sangat besar artinya bagi orang lain.