Kamis, 16 Januari 2014

Penjual Gorengan yang Sangat Tidak Akademis

Gorengan panas, cabai, teh hangat, dan rokok,
adalah kombinasi orgasmic yang melampaui fisika.
@noffret


Setiap Sabtu sore, ada pasar tiban yang lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat saya tinggal. Saya tidak akan menjelaskan apa itu “pasar tiban” di sini, karena ada hal lain yang lebih asyik untuk diceritakan, yaitu tentang penjual gorengan yang sangat tidak akademis.

Di pasar tiban itu—di antara para penjual lain yang menjajakan dagangan—ada penjual gorengan yang menyediakan gorengannya di sebuah gerobak sederhana. Penjual gorengan itu membuat bakwan, singkong goreng, dan tahu yang mirip tahu Tegal tapi bukan tahu Tegal. Jadi, bentuknya seperti tahu Tegal, tapi campuran bahannya berbeda—entah apa, saya tidak tahu. Yang jelas tahu itu enak, dan biasanya dimakan dengan saus.

Saya suka gorengan. Jadi, setiap Sabtu sore, saya sengaja datang ke pasar tiban tersebut untuk membeli gorengan. Biasanya, saya akan membeli bakwan dan tahu-yang-mirip-tahu-Tegal, kemudian menikmatinya di rumah dengan segelas teh hangat manis, dan rokok. Itu saat-saat yang menyenangkan bagi saya. Gorengan, kau tahu, adalah karunia alam semesta.

Meski suka gorengan, saya hanya suka gorengan yang masih panas. Jika sudah tidak panas, saya tidak doyan. Karena itu, ketika datang ke tempat penjual gorengan di pasar tiban, saya harus memastikan penjual gorengan itu baru saja mengangkat gorengannya dari wajan, sehingga gorengan buatannya benar-benar masih panas. Nah, dalam hal itulah sesuatu yang sangat menjengkelkan terjadi.

Penjual gorengan itu sangat tidak akademis. Juga sangat tidak ilmiah. Maksudnya, dia tidak pernah tepat waktu kapan mulai membuka dagangannya, sehingga saya harus sering jengkel setiap kali ke sana. Kadang-kadang, dia buka sebelum jam lima, kadang jam lima lebih, kadang jam lima tepat, kadang bahkan menjelang maghrib.

Suatu sore, saya datang ke sana jam lima tepat, dan penjual gorengan itu baru siap-siap buka, hingga belum sempat mencemplungkan apa pun ke wajan. Di lain waktu, saya datang ke sana jam setengah enam sore, dan bakwan serta tahu-yang-mirip-tahu-Tegal buatannya sudah habis. Di lain waktu lagi, saya datang ke sana jam lima seperempat, dan gorengannya sudah dingin semua, hingga saya tidak punya selera menyantapnya.

Ya Tuhan, saya kudu piye, ya...???

Tetapi meski sering dibuat jengkel, saya tetap merasa perlu datang ke tempat penjual gorengan itu, karena menyadari gorengan buatannya tergolong enak. Jadi, kalau sedang horny—maksudnya sedang ingin menikmati gorengan—saya akan datang ke sana jam lima tepat. Jika ternyata penjual gorengan itu belum sempat menggoreng apa-apa, saya akan menunggunya.

Ternyata, yang merasa “serba salah” seperti saya cukup banyak. Suatu sore, ketika saya merelakan diri menunggu penjual gorengan itu menyelesaikan gorengannya, saya mendapati ada beberapa orang yang juga rela menunggu demi bisa menikmati gorengan buatan orang itu. Artinya, orang-orang itu juga sama seperti saya—penggemar gorengan yang menyukai gorengan di tempat itu.

Sayang sekali penjualnya tidak akademis, pikir saya. Sore itu, sambil menunggu gorengan matang di tempat tersebut, saya berpikir bahwa sebenarnya penjual gorengan itu memiliki potensi besar untuk sukses. Dia memiliki produk (gorengan) yang disukai banyak orang. Dia memiliki tempat usaha yang telah dihafal para pelanggannya. Dia bahkan telah berhasil menanamkan rasa cinta di hati banyak orang, hingga mereka rela menunggunya selesai menggoreng.

Tetapi apa yang diperbuatnya? Dia tidak pernah tepat waktu!

Bukannya berusaha menyenangkan para pelanggannya dengan tepat waktu agar mereka tidak menunggu, penjual gorengan itu justru bersikap seolah dia tidak butuh pelanggan, hingga bisa seenaknya sendiri. Penjual gorengan itu pasti tidak pernah mempelajari makalah manajemen, tidak pernah membaca buku yang menyebutkan “time is money”, tidak pernah mengikuti seminar bisnis yang memberitahu bahwa memuaskan pelanggan adalah hukum nomor satu dalam setiap usaha.

Oh, well, mungkin saya terdengar berlebihan. Tetapi bukankah memang seperti itu yang terjadi? Membuka usaha apa pun, produk yang disukai adalah faktor penting. Tetapi faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah memuaskan pelanggan! Tak peduli sehebat apa pun produk yang kita hasilkan, pelanggan akan pergi dan memilih tempat lain jika kita tidak bisa memuaskan mereka.

Begitu pula penjual gorengan itu. Saat ini, dia mungkin bisa mempertahankan dagangannya laris, karena belum memiliki pesaing. Artinya, secara tidak langsung, dia masih memegang monopoli, sehingga bisa berlaku seenaknya sendiri. Tetapi, kelak, ketika muncul penjual gorengan lain yang bisa menghasilkan produk yang sama—atau bahkan lebih enak—dan penjual baru itu bisa lebih memuaskan pelanggannya, maka penjual gorengan yang tidak akademis itu pun pasti akan tersingkir.

Itu hukum alam. Lebih spesifik lagi, hukum bisnis—apa pun bisnisnya.

Ketika memikirkan semua ini, sejujurnya saya tidak marah pada penjual gorengan tersebut. Sebaliknya, saya merasa kasihan. Bagaimana pun, kita tidak bisa berharap penjual gorengan memiliki nilai SDM yang sangat tinggi. Bagaimana pun, kita tidak bisa mengharapkan wanita sederhana penjual gorengan mau membaca buku-buku manajemen, atau mempelajari makalah bisnis, atau mengikuti seminar tentang kepuasan pelanggan.

Tidak—maksud saya bukan itu. Yang saya maksudkan adalah, orang-orang sederhana itulah yang kelak, sering kali, menjadi korban dari kemajuan dan kekejaman zaman yang menggilas.

Lihatlah di sekelilingmu. Perhatikanlah berapa lama lagi warung-warung makan sederhana tersingkir perlahan-lahan setelah munculnya restoran dan kafe yang jauh lebih mewah dan higienis. Perhatikan berapa lama lagi toko-toko sederhana di sekelilingmu sanggup bertahan setelah digempur berbagai waralaba terorganisasi. Lebih spesifik lagi, perhatikanlah diri kita sendiri. Hitunglah seberapa lama kita mampu mempertahankan pesona dan kelebihan yang kita miliki, sementara setiap hari lahir orang-orang baru dengan pesona dan kelebihan yang jauh lebih hebat dan lebih segar.

Orang paling bodoh di zaman ini adalah orang yang menganggap dirinya paling hebat dan tak terkalahkan. Begitu pula dengan warung, toko, sampai penjual gorengan.

Warung yang merasa dirinya paling laris hingga merasa tak perlu memperbaiki diri, akan segera ditinggalkan pelanggannya. Toko yang merasa paling lengkap hingga merasa tak perlu meningkatkan kualitas layanan, akan segera disalip para pesaingnya. Penjual gorengan yang merasa paling istimewa hingga berlaku seenaknya, juga tinggal menunggu waktu gulung tikar.

Begitu pun manusia, orang per orang. Orang yang merasa dirinya paling hebat hingga mudah membanggakan diri juga perlu siap-siap nangis darah, karena akan selalu muncul orang-orang lain dengan kehebatan yang jauh lebih mempesona. Tolol adalah merasa paling hebat, paling unggul, paling pintar, paling istimewa, dan merasa tak terkalahkan. Oh, well, itu bahkan tolol di atas tolol di atas tolol di atas tolol.

Di zaman yang melesat dengan cepat ini, dunia tidak membutuhkan orang-orang yang merasa dirinya hebat. Dunia membutuhkan orang-orang yang justru merasa dirinya kurang, hingga tak pernah berhenti belajar, tak pernah berhenti memperbaiki dan memperbarui diri. Opsinya cuma dua, dan tak bisa ditawar-tawar lagi—perbaiki diri, atau mati. Beradaptasi dengan kemajuan, atau menjadi orang yang merasa hebat tapi terbelakang.

Kita tidak bisa mengubah laju peradaban, sama halnya kita tak bisa mengubah kemajuan zaman—sekejam apa pun, sekeras apa pun. Tetapi, kita selalu bisa mengubah diri kita sendiri. Dan cara paling ilmiah sekaligus paling akademis dalam hal mengubah diri sendiri adalah meninggalkan kebodohan dalam apa pun bentuknya, dan menggantinya dengan pembelajaran sampai tutup usia.

 
;