Bukan mata yang menjadikan kita melihat,
tapi kemauan kita menggunakan mata
yang memungkinkan melihat.
—@noffret
tapi kemauan kita menggunakan mata
yang memungkinkan melihat.
—@noffret
Sudah sejak lama saya menyadari mata saya minus. Saya tidak tahu minus berapa, karena tidak pernah memeriksakannya, yang jelas mata saya sudah minus. Tetapi, selama ini, saya tidak terlalu menghiraukan. Saya pikir, selama masih bisa membaca buku atau koran dengan baik, maka artinya mata saya “baik-baik saja”. Jadi, selama waktu-waktu itu, saya pun enjoy menjalani hidup tanpa terlalu merasa terganggu, dan bersikap seolah semuanya “baik-baik saja”.
Padahal, pada waktu-waktu tertentu, saya kadang menyadari ada yang tidak beres dengan hidup saya—lebih khusus dengan mata saya. Seperti yang pernah saya ceritakan di sini, saya kerap kesulitan jika membaca teks film di monitor. Untuk bisa membaca teks film dengan baik, saya harus mendekat. Selain itu, saya juga sering mengalami masalah penglihatan jika malam hari. Saat gelap, atau penerangan cahaya kurang, saya sering kesulitan mengenali wajah orang.
Tetapi sampai begitu pun, saya masih tetap menganggap semua itu bukan masalah. Dan saya tetap tidak tergerak untuk memakai kacamata, agar penglihatan lebih baik. Jangankan memakai kacamata, bahkan untuk memeriksakan mata pun saya malas.
Mengapa saya sampai keras kepala seperti itu?
Jujur saja, saya malu mengakuinya. Kekeraskepalaan saya untuk tidak mau memakai kacamata didasari kesombongan.
Teman-teman saya tahu, saya kutu buku yang menghabiskan hidup hanya untuk berkutat dengan buku. Dan mereka sering heran melihat saya yang tidak (belum) memakai kacamata, padahal mereka—yang bukan kutu buku—sudah minus dan harus memakai kacamata. Jadi mereka pun sering memuji mata saya, karena menganggap mata saya lebih baik dan lebih sehat dari mata mereka.
Dan pujian itu, perlahan-lahan, meracuni saya.
Begitulah kesombongan dimulai dan dibangun—perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, tak terasa, hingga kemudian membentuk dinding besar keangkuhan. Ketika dinding itu mulai terbentuk, kesombongan pun meracuni kita tanpa disadari.
Saya sengaja tidak mau memakai kacamata. Karena sombong. Karena angkuh. Karena menganggap mata saya lebih baik dibanding mata teman-teman saya, lebih sehat dari mata orang-orang lain. Kesannya sepele, tapi itu telah membuat saya menanggung sakit yang seharusnya telah mulai diobati. Kalau saja saya tidak angkuh, dan mau menerima kenyataan bahwa mata saya minus, mestinya sudah sejak lama saya memeriksakan mata, dan mulai memakai kacamata.
Tapi tidak. Saya tidak mau memakai kacamata. Dengan memakai kacamata, pikir saya, maka secara tak langsung saya telah mengakui bahwa ada yang tidak beres dengan diri saya. Dan tidak setiap orang mau mengakui atau menyadari dirinya tidak beres. Demi Tuhan, mengakui atau menyadari bahwa diri kita tidak beres, sungguh membutuhkan kerendahan hati... atau keajaiban. Mungkin “keajaiban” pula yang akhirnya mendorong saya untuk memeriksakan mata, dan mulai memakai kacamata.
Suatu hari, saya sedang surfing di internet, dan mendapati sebuah foto yang tampak artistik. Foto itu memperlihatkan sebuah kacamata tergeletak di atas keyboard laptop yang menyala, dan di layar monitor tampak beberapa baris kalimat yang sepertinya sengaja ditulis dengan puitis.
Dalam beberapa hal, saya sangat impulsif. Ketika memandangi foto itu, saya tidak hanya menyukai kalimat yang tertera di sana, tetapi juga tiba-tiba terpikir, “Aku mau beli kacamata kayak gitu, aku mau beli kacamata kayak gituuuuuuuuuuhhh...!”
Jadi begitulah. Beberapa hari kemudian, bersama seorang kawan, saya memeriksakan mata, sekaligus mencari kacamata yang saya inginkan. Ketika diperiksa, ternyata mata saya sudah minus 1,5. Itu cukup serius untuk ukuran mata minus, karena bahkan minus 1 pun sebenarnya sudah membuat mata kita agak kabur dalam melihat sesuatu.
Kacamata yang saya inginkan bisa ditemukan—persis seperti yang saya lihat dalam foto. Berbingkai hitam agak kotak, dengan wujud elegan.
Ketika saya mulai memakai kacamata itu, tiba-tiba saya merasa dilahirkan kembali. Maksud saya, tiba-tiba pandangan saya begitu jelas ketika melihat segala sesuatu. Tulisan-tulisan di kejauhan yang semula tampak kabur sekarang jadi jelas, hal-hal yang semula tak terlihat kini jelas tampak. Alangkah berbedanya—dan saya menyadari perbedaan itu. Ketika kesadaran itu muncul, saya pun akhirnya mengakui bahwa selama ini memang ada yang tidak beres dengan mata saya.
Karena baru memakai kacamata, saya masih merasa kurang nyaman. Rasanya seperti geli-geli gimanaaaa gitu. Seperti ada yang mengganjal di dekat mata, dan perasaan itu membuat tidak nyaman. Ketika saya katakan hal itu, teman saya bilang, “Kalau masih pertama emang gitu, agak geli-geli gimanaaaa gitu, tapi lama-lama biasa, kok...”
Dia berani menyatakan hal seperti itu, karena telah memakai kacamata sejak SMP. Jadi dia benar-benar berpengalaman dalam hal kacamata, karena telah memakainya bertahun-tahun. Maka saya pun percaya bahwa, “Kalau masih pertama emang gitu, agak geli-geli gimanaaaa gitu, tapi lama-lama biasa, kok...”
Begitu pun hal lainnya, pikir saya. Segala hal yang pertama memang sering membuat tidak nyaman, dan ketidaknyamanan itu akan terus berlangsung sampai kita benar-benar terbiasa.
Jika dipikir-pikir, segala hal yang kita lalui dalam hidup pun mengalami siklus semacam itu—mula-mula terasa tidak nyaman, lalu kita membiasakan diri, dan perlahan-lahan ketidaknyamanan itu hilang berganti kebiasaan. Bangun pagi, membaca buku, rutin berolahraga, atau kebiasaan apa pun, sering kali dimulai dari perasaan tidak nyaman atau rasa terpaksa, hingga kemudian kita membiasakannya dan rasa tidak nyaman itu pelan-pelan menghilang.
Begitu pun dengan mengakui serta menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan diri kita, itu pun dimulai dengan ketidaknyamanan. Khususnya pada diri sendiri.
Ketika kita telah merasa hebat, merasa unggul, merasa pintar, sering kali berat sekali untuk menyadari dan mengakui bahwa ada orang lain yang lebih hebat, lebih unggul, lebih pintar, dari kita. Dan itu, disadari atau tidak, meracuni diri kita perlahan-lahan. Kita menjadi sosok angkuh yang menganggap diri sempurna, meski kita kemudian membusuk perlahan-lahan.
Seperti saya yang terlalu angkuh untuk mengakui bahwa mata saya minus. Karena saya terlalu tinggi hati untuk mengakuinya, minus mata saya bukannya sembuh tapi semakin parah. Kesombongan tidak membawa saya kemana-mana, selain hanya berkutat dalam penipuan diri bahwa saya “baik-baik saja”. Keangkuhan telah merusak mata saya perlahan-lahan, hingga berbagai hal yang sebenarnya jelas jadi tampak kabur dalam pandangan saya.
Perbaikan diri selalu dimulai dari kesadaran dan pengakuan bahwa ada yang tidak beres dengan diri kita. Dan cara mudah untuk melihat adanya ketidakberesan itu adalah jika kita merasa telah menjadi yang paling unggul, paling hebat, paling pintar, atau paling segalanya. Kapan pun kita merasa diri “paling”, dalam hal apa pun yang kita anggap kelebihan, maka saat itu pula kita diberitahu ada yang tidak beres dengan diri kita.
Ketika itu terjadi, langkah terbaik adalah mencari “kacamata” untuk memperjelas pandangan kita. Agar kita melihat dengan jernih hal-hal yang sebelumnya tampak kabur, agar kita lebih menyadari dunia sekeliling kita. Dalam hal memakai kacamata—seperti bentuk perbaikan diri lainnya—kita perlu mengingat bahwa, “Kalau masih pertama emang gitu, agak geli-geli gimanaaaa gitu, tapi lama-lama biasa, kok...”