Kamis, 21 Februari 2013

Gaul itu Mahal, Jenderal!

“You know how I define ‘idealism’? Youth’s final luxury.”
@klaravirencia


Seminggu kemarin saya dolan ke rumah Jonah, sohib saya, karena cukup lama tidak bertemu dengannya. Kebetulan pas malam Minggu. Saya dan Jonah ngobrol-ngobrol di teras rumah. Sekitar jam sembilan malam, adik Jonah datang bersama teman-temannya, menaiki beberapa sepeda motor yang tampak gaul.

Si Rendi, adik Jonah, baru kuliah semester awal, jadi masih tergolong remaja. Sewaktu datang, ia mengendarai Suzuki Satria FU 150 CC, yang tampak masih baru. Seperti umumnya remaja gaul yang lain, motor Rendi yang aslinya sudah bagus itu “dimodifikasi” biar tampak gaul. Ban-bannya diganti yang berukuran kecil, joknya dipapras hingga rata, dan setangnya dibengkokkan ke arah dalam.

Sewaktu motor gaul itu diparkir di halaman, saya memperhatikannya. Saya juga punya Suzuki Satria FU di rumah, namun masih orisinal, dalam arti tidak saya ubah sedikit pun tampilannya. Saya sudah suka wujudnya yang asli, dan sama sekali tidak ingin “menodai” keindahannya. Motor itu sudah hebat tanpa harus “diacak-acak” lagi, bahkan bisa dipacu hingga kecepatan 150 kilometer per jam dengan mulus di jalanan yang ramai—khususnya kalau kau cukup sinting untuk melakukannya.

Melihat saya asyik memperhatikan motor adiknya, Jonah bertanya, “Kamu pengin motormu digituin, Da’?”

“Nggak!” jawab saya spontan. “Cuma lagi mikir, apa motor yang udah diacak-acak gitu masih enak dinaiki?”

Jonah tertawa. “Kenapa nggak dicoba aja? Siapa tahu kamu jadi pengin ngacak-acak motormu biar gaul gitu.”

Saya pun jadi tertarik. Lalu bilang pada adik Jonah, “Ren, boleh pinjam motormu, dong.”

Rendi memberikan kunci kontak. Saya menaiki motor itu, menghidupkan mesinnya, lalu membawanya ke jalan raya. Dasar motor hebat, motor itu bisa melaju dengan kencang dan mulus seperti yang saya kenali selama ini. Namun, karena bodinya telah “diacak-acak”, rasanya tidak senyaman motor yang masih orisinal.

Karena joknya yang empuk telah dipapras hingga rata, saya tidak bisa duduk dengan nyaman. Setiap kali melakukan pengereman mendadak, posisi duduk saya akan bergeser, karena jok tidak lagi “menggigit”. Rasanya seperti sedang duduk di atas papan keras. Jauh beda dengan jok asli yang masih empuk dan nyaman.

Kemudian, karena ukuran ban-bannya diperkecil, kelenturan motor itu pun berkurang ketika melaju di jalanan tidak rata. Jika ban yang asli berukuran besar dapat menahan benturan lubang di jalanan dengan halus, ban-ban kecil ini terpaksa harus menahan benturan dengan kasar.

Di atas semuanya itu, yang paling parah adalah setangnya. Setang motor gaul ini ditekuk ke dalam. Akibatnya, jika tidak terbiasa, kita jadi kikuk saat akan membelok, khususnya di tikungan tajam. Berbeda dengan setang yang masih orisinal, setang model gaul ini benar-benar tidak fleksibel. Kita harus terbiasa dulu menggunakannya jika tidak ingin menabrak sesuatu gara-gara kikuk mengendalikan setang.

Kesimpulannya, motor gaul ini benar-benar tidak nyaman dinaiki, bahkan relatif tidak aman. Rasanya jauh lebih nyaman mengendarai motor yang masih orisinal.

Sewaktu saya kembali, Rendi menyambut saya sambil senyum-senyum. “Gimana, Bang?” tanyanya. Mungkin dia berharap saya akan memuji motor gaulnya.

“Uh... kurang nyaman dinaiki, Ren,” jawab saya jujur. “Mungkin karena kurang biasa naik motor gaul kayak gini.”

“Ya emang enak motor yang asli, sih,” sahut Rendi sambil masih senyum-senyum.

Saya kaget. “Lhah, kamu tahu gitu, kenapa motormu diacak-acak gini?”

“Kan, biar gaul, Bang.”

Biar gaul. Itu jawaban jujur, kalau tak mau dibilang lugu. Jadi, Rendi menyadari bahwa motor yang masih orisinal lebih enak dan nyaman dipakai daripada motornya yang diacak-acak itu. Tetapi dia sengaja “merusak” motornya sendiri demi identitas gaul. Waktu saya bilang kepadanya kesimpulan ini, Rendi menjawab dengan jujur, “Ya kira-kira gitu deh, Bang.”

Ya, kira-kira begitu pula ketika saya remaja dulu. Tak jauh beda dengan Rendi, saya pun dulu butuh identitas gaul, agar tak dibilang kampungan, agar tak dibilang ketinggalan zaman. Sama seperti Rendi, dulu pun saya mengacak-acak motor saya sendiri, berpenampilan seperti umumnya remaja gaul, demi tidak berbeda dengan kebanyakan teman sebaya.

Jadi, ketika teman-teman menonton konser musik anu, saya pun akan ikut menonton konser itu. Bukan karena saya suka konsernya atau menggilai group yang tampil, tapi semata-mata karena “tuntutan gaul”. Ketika teman-teman menonton film anu, saya pun ikut-ikutan menonton film anu. Tak peduli saya muak melihat filmnya, yang penting saya nyambung ketika diajak ngobrol. Oh, well, gaul itu penting.

Sekarang, ketika saya telah dewasa dan mengingat yang telah lalu, saya menyadari alangkah sia-sianya semua itu. Sekarang, jika saya bertanya pada diri sendiri tentang manfaat ikut-ikutan semacam itu, saya pun dengan jujur mengakui bahwa kebiasaan ikut-ikutan yang dulu saya lakukan tak memiliki manfaat sama sekali. Nothing! Yang jelas, saya tidak menjadi hebat karena ikut-ikutan.

“Elang terbang sendirian,” kata Soekarno, “tapi bebek berjalan berbondong-bondong.”

Sayangnya, ketika masih remaja dulu, saya tidak tahu kalau presiden pertama Indonesia memiliki kata-kata sehebat itu. Akibatnya, alih-alih menjadi elang yang berani menunjukkan jati diri, saya ikut-ikutan membebek seperti yang lain-lain. Ketika yang lain-lain memakai sepatu boot model Docmart, saya ikut-ikutan. Ketika yang lain-lain menyobek celana jins agar tampak belel, saya ikut-ikutan. Ketika yang lain mengacak-acak motornya, saya ikut-ikutan. Demi dibilang gaul.

Dan sekarang, “tuntutan gaul” yang dihadapi remaja masa kini sepertinya lebih berat dibanding yang dihadapi remaja zaman saya. Segaul-gaulnya remaja zaman saya, tingkatannya cuma “gitu-gitu aja”. Tapi kini, remaja zaman sekarang menghadapi banyak tuntutan yang luar biasa, dari seberapa mahal ponselmu, sampai berapa banyak follower-mu di Twitter.

Itu baru sebagian kecil dari “tuntutan gaul” abad ini. Di luar urusan ponsel dan Twitter, remaja zaman sekarang juga dituntut hal lain demi identitas gaul. Dari kepemilikan pacar agar tidak dibilang jomblo, sampai aneka macam hiburan yang harus diikuti demi tidak dibilang kampungan atau ketinggalan zaman. Yang mengerikan, ada pula remaja yang menjadikan narkoba sebagai identitas gaul. Bagi mereka, seseorang belum bisa dibilang gaul kalau belum pernah ngerasain sakaw.

Maka remaja zaman sekarang pun sibuk, bahkan luar biasa sibuk, memenuhi semua tuntutan itu. Dari buku apa yang harus kaubaca, musik apa yang harus kaudengar, film apa yang harus kautonton, acara teve apa yang harus kausembah, sampai nama-nama siapa saja yang harus kauhafalkan. Kau menguasai semuanya, kau layak dianggap gaul. Jika tidak, oh well, pergi saja ke laut.

Ketika remaja, hasrat untuk sama dengan orang lain memang sangat besar, hingga untuk itu kadang-kadang kita mengorbankan kenyamanan diri sendiri. Misalnya saya yang bela-belain nonton film tertentu padahal tidak menyukainya, hanya karena teman-teman saya bilang film itu layak tonton. Atau Rendi yang terpaksa mengacak-acak motornya meski tidak nyaman menaikinya, demi bisa sama seperti teman-temannya.

Saya dan Rendi sama saja. Bedanya, saya telah melewati masa-masa itu, sementara Rendi baru menjalaninya. Dan kelak, setelah dewasa, mungkin Rendi pun akan berpikir seperti saya, bahwa semua upaya untuk sama dengan orang lain adalah pelajaran hidup yang sangat mahal. Bahwa perbedaan bebek dan elang adalah keberanian untuk terbang sendirian. Karena pada akhirnya setiap orang akan sampai pada kesadaran, bahwa hidup adalah soal pilihan.

 
;