***
Karena telah menjadi anggota MLM ABC, saya pun mulai mengonsumsi produknya, dan terus membelinya setiap bulan. Konon, pembelian produk yang saya lakukan itu memberikan point reward untuk Rifki sebagai upline, namun saya tidak mengurusi hal-hal semacam itu. Kalau Rifki senang dengan aktivitas pembelian yang saya lakukan, itu sudah cukup. Saya ikut senang.
Beberapa bulan berjalan. Semula, Rifki memenuhi janjinya untuk tidak lagi “mengganggu” saya dengan aktivitas di MLM-nya. Saya sudah ikut MLM ABC, saya sudah menjadi downline-nya, saya pun sudah rutin membeli dan mengonsumsi produknya. Bagi saya sudah cukup. Tapi bagi Rifki rupanya itu saja belum cukup. Kali ini, dia menginginkan saya ikut aktif dalam bisnis MLM tersebut—mengikuti acara-acaranya, juga meminta agar saya juga mencari downline.
Dia memang tidak meminta hal itu secara terang-terangan, karena mungkin tidak enak. Tetapi, yang jelas, sejak itu topik pembicaraan kami hanya seputar MLM ABC. Setiap kali bertemu, kami tidak punya waktu mengobrolkan banyak hal seperti dulu, tetapi hanya seputar MLM ABC. Rifki sepertinya telah terobsesi dengan MLM tersebut, dan kapan atau di mana pun yang ia bahas hanya MLM ABC. Di mata saya, MLM ABC jadi menyerupai semacam agama bagi Rifki.
Semula, saya berusaha “improvisasi”. Bagaimana pun, dia teman baik saya. Jika dia menyukai sesuatu, apalagi jika sesuatu itu positif, saya tidak berhak melarang apalagi menyalahkannya. Jadi, setiap kali dia membahas MLM ABC, saya mengikuti pembicaraannya, meski setengah hati. Dan Rifki mungkin salah paham. Dikiranya saya juga tertarik dengan MLM ABC. Lalu “rayuannya” semakin menjadi-jadi.
Jika semula dia hanya meminta secara halus agar saya ikut aktif dalam MLM ABC, lama-lama dia mulai meminta secara terang-terangan. Saya menjawab, sejak semula saya sudah memberitahu bahwa tujuan saya bergabung dengan MLM ABC hanya untuk mengonsumsi produknya. Saya tidak punya waktu untuk mencari downline atau memprospek orang, karena saya punya kesibukan sendiri dan waktu saya sudah habis untuk mengurusi pekerjaan saya.
Tapi Rifki tidak patah semangat. Mengulangi janji surga yang mungkin dikatakan upline dan mentornya, Rifki mencoba mengiming-imingi saya dengan macam-macam hal yang ditawarkan MLM ABC—dari kendaraan dan rumah, sampai wisata ke luar negeri. Mula-mula saya berusaha merespon semua itu dengan sopan. Tapi lama-lama—karena bosan campur muak—saya pun jadi kesal. Kesabaran saya seperti terkuras. Dan setiap kali Rifki membicarakan MLM ABC, dia terus menguras kesabaran saya.
Sampai suatu hari, karena tidak tahan lagi mendengarkan dia berbusa-busa membicarakan MLM ABC dan menjanjikan kepada saya setumpuk impian muluk, saya pun berkata kepadanya, “Selama aktif dalam MLM ABC bertahun-tahun ini,” saya bertanya, “apa yang sudah kamu dapatkan, Rif?”
Semula, Rifki mencoba berkelit dengan tidak secara langsung menjawab pertanyaan itu. Dia menyatakan tentang mobil dan rumah dan wisata dan penghasilan besar yang akan didapatkannya beberapa tahun mendatang, juga tentang macam-macam hal yang dijanjikan MLM ABC. Saya tegaskan pertanyaannya, “Yang kumaksud, apa yang sudah kamu dapatkan, bukan apa yang akan kamu dapatkan?”
Akhirnya, Rifki pun jujur. Satu-satunya hal jelas yang telah didapatkannya adalah sebuah sepeda motor yang diperolehnya dari fasilitas kredit. Itulah yang diperolehnya setelah bertahun-tahun aktif dalam MLM ABC, hingga dia rela meninggalkan pekerjaan tetapnya. Saya miris mendengarnya.
Saya pun berkata kepadanya, “Sekarang, coba kita lihat. Selama dua atau tiga tahun kamu aktif dalam MLM ABC, sibuk memprospek dan mencari orang kesana kemari, dan hasilnya adalah sepeda motor kredit. Sekarang kamu berusaha memintaku agar ikut aktif dalam MLM sepertimu. Tanpa bermaksud sombong, aku bisa membeli motor seperti punyamu sekarang juga, tanpa harus kredit. Jadi kenapa aku harus mengikutimu, kalau hasilnya cuma seperti itu?”
“Tapi,” sahut Rifki dengan gigih, “kalau kamu mau aktif dalam MLM ABC, bertahun-tahun mendatang kamu akan bisa memiliki rumah, wisata dan umroh, penghasilan yang lebih besar…”
“Bertahun-tahun mendatang,” sela saya. “Kenapa kamu menjanjikan sesuatu yang bahkan telah kumiliki dan bisa kuperoleh sekarang? Sekali lagi, tanpa bermaksud sombong, aku telah memiliki semua yang kamu janjikan. Jadi kenapa aku harus menunggu bertahun-tahun mendatang…?”
Lanjut ke sini.
Beberapa bulan berjalan. Semula, Rifki memenuhi janjinya untuk tidak lagi “mengganggu” saya dengan aktivitas di MLM-nya. Saya sudah ikut MLM ABC, saya sudah menjadi downline-nya, saya pun sudah rutin membeli dan mengonsumsi produknya. Bagi saya sudah cukup. Tapi bagi Rifki rupanya itu saja belum cukup. Kali ini, dia menginginkan saya ikut aktif dalam bisnis MLM tersebut—mengikuti acara-acaranya, juga meminta agar saya juga mencari downline.
Dia memang tidak meminta hal itu secara terang-terangan, karena mungkin tidak enak. Tetapi, yang jelas, sejak itu topik pembicaraan kami hanya seputar MLM ABC. Setiap kali bertemu, kami tidak punya waktu mengobrolkan banyak hal seperti dulu, tetapi hanya seputar MLM ABC. Rifki sepertinya telah terobsesi dengan MLM tersebut, dan kapan atau di mana pun yang ia bahas hanya MLM ABC. Di mata saya, MLM ABC jadi menyerupai semacam agama bagi Rifki.
Semula, saya berusaha “improvisasi”. Bagaimana pun, dia teman baik saya. Jika dia menyukai sesuatu, apalagi jika sesuatu itu positif, saya tidak berhak melarang apalagi menyalahkannya. Jadi, setiap kali dia membahas MLM ABC, saya mengikuti pembicaraannya, meski setengah hati. Dan Rifki mungkin salah paham. Dikiranya saya juga tertarik dengan MLM ABC. Lalu “rayuannya” semakin menjadi-jadi.
Jika semula dia hanya meminta secara halus agar saya ikut aktif dalam MLM ABC, lama-lama dia mulai meminta secara terang-terangan. Saya menjawab, sejak semula saya sudah memberitahu bahwa tujuan saya bergabung dengan MLM ABC hanya untuk mengonsumsi produknya. Saya tidak punya waktu untuk mencari downline atau memprospek orang, karena saya punya kesibukan sendiri dan waktu saya sudah habis untuk mengurusi pekerjaan saya.
Tapi Rifki tidak patah semangat. Mengulangi janji surga yang mungkin dikatakan upline dan mentornya, Rifki mencoba mengiming-imingi saya dengan macam-macam hal yang ditawarkan MLM ABC—dari kendaraan dan rumah, sampai wisata ke luar negeri. Mula-mula saya berusaha merespon semua itu dengan sopan. Tapi lama-lama—karena bosan campur muak—saya pun jadi kesal. Kesabaran saya seperti terkuras. Dan setiap kali Rifki membicarakan MLM ABC, dia terus menguras kesabaran saya.
Sampai suatu hari, karena tidak tahan lagi mendengarkan dia berbusa-busa membicarakan MLM ABC dan menjanjikan kepada saya setumpuk impian muluk, saya pun berkata kepadanya, “Selama aktif dalam MLM ABC bertahun-tahun ini,” saya bertanya, “apa yang sudah kamu dapatkan, Rif?”
Semula, Rifki mencoba berkelit dengan tidak secara langsung menjawab pertanyaan itu. Dia menyatakan tentang mobil dan rumah dan wisata dan penghasilan besar yang akan didapatkannya beberapa tahun mendatang, juga tentang macam-macam hal yang dijanjikan MLM ABC. Saya tegaskan pertanyaannya, “Yang kumaksud, apa yang sudah kamu dapatkan, bukan apa yang akan kamu dapatkan?”
Akhirnya, Rifki pun jujur. Satu-satunya hal jelas yang telah didapatkannya adalah sebuah sepeda motor yang diperolehnya dari fasilitas kredit. Itulah yang diperolehnya setelah bertahun-tahun aktif dalam MLM ABC, hingga dia rela meninggalkan pekerjaan tetapnya. Saya miris mendengarnya.
Saya pun berkata kepadanya, “Sekarang, coba kita lihat. Selama dua atau tiga tahun kamu aktif dalam MLM ABC, sibuk memprospek dan mencari orang kesana kemari, dan hasilnya adalah sepeda motor kredit. Sekarang kamu berusaha memintaku agar ikut aktif dalam MLM sepertimu. Tanpa bermaksud sombong, aku bisa membeli motor seperti punyamu sekarang juga, tanpa harus kredit. Jadi kenapa aku harus mengikutimu, kalau hasilnya cuma seperti itu?”
“Tapi,” sahut Rifki dengan gigih, “kalau kamu mau aktif dalam MLM ABC, bertahun-tahun mendatang kamu akan bisa memiliki rumah, wisata dan umroh, penghasilan yang lebih besar…”
“Bertahun-tahun mendatang,” sela saya. “Kenapa kamu menjanjikan sesuatu yang bahkan telah kumiliki dan bisa kuperoleh sekarang? Sekali lagi, tanpa bermaksud sombong, aku telah memiliki semua yang kamu janjikan. Jadi kenapa aku harus menunggu bertahun-tahun mendatang…?”
Lanjut ke sini.